Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, January 20, 2009

Seren Taun, Rasa Syukur yang Jadi Komoditas Wisata

Masyarakat adat Sunda punya tradisi tahunan yang dinamakan Seren Taun. Beberapa wilayah di Jawa Barat, seperti Sumedang, Indramayu, dan Kuningan, selalu menggelar ritual tersebut dari tahun ke tahun. Di Kuningan, khususnya Kecamatan Cigugur, Seren Taun dirayakan setiap tanggal 22 Rayagung 1941 S. Tahun ini, perayaan digelar selama 6 hari, dari 16 Desember hingga 21 Desember 2008. Setiap tahunnya pula, ritual ini selalu mengundang para wisatawan untuk menyaksikannya. Apakah Seren Taun hanya berhenti sebagai komoditas wisata tanpa makna?

Bagi masyarakat adat Karuhun Urang Cigugur, Seren Taun merupakan Gelar Budaya Tradisional Masyarakat Agraris Sunda sebagai wujud luapan rasa syukur kepada Tuhan. Itu diartikan juga sebagai upacara penyerahan hasil panen yang baru diraih dan memohon kebaikan untuk tahun selanjutnya.

Putra sesepuh masyarakat adat Karuhun Urang, Gumirat Barna Alam, menjelaskan, Seren Taun menjadi ritual syukur masyarakatnya atas panen hasil bumi seperti padi, jagung, dan sayur-sayuran. "Nanti semua hasil panen akan dikumpulkan, dan kami melakukan serangkaian upacara sebagai wujud rasa syukur," kata Gumirat.

Mengapa digelar setiap bulan Rayagung? Rayagung secara simbolis berarti merayakan ke-Agungan Tuhan. Dimulai dengan upacara ngajayak padi pada tanggal 18 Rayagung yang kemudian dilanjutkan dengan upacara penumbukan padi sebagai puncak acara pada 22 Rayagung dengan upacara penumbukan padi oleh ratusan petani.

Tanggal 22 Rayagung bukan dipilih tanpa makna. Angka 22 terdiri dari 20 dan 2. Angka dua puluh menggambarkan badan jasmani yang secara anatomis dianggap menyatukan organ-organ dan sel-sel dengan fungsi yang beraneka ragam. Bilangan dua mengacu pada sikap dasar kesatuan yang sudah menjadi hukum adikodrati, sebagai adanya siang malam, suka duka, susah bahagia, dan pria wanita.

Membawa Hasil Bumi dari Empat Penjuru

Puncak upacara Seren Taun serupa festival. Arak-arakan masyarakat terdiri dari 4 formasi barisan muda-mudi, ibu-ibu, bapak-bapak, dan rombongan atraksi kesenian yang membawa hasil panen dari empat penjuru Cigugur. Barisan terdepan, dua orang pemudi membawa padi, buah-buahan, dan umbi-umbian yang diikuti oleh seorang pemuda membawa payung janur bersusun tiga.

Di belakangnya, ada 11 orang pemudi membawa padi bibit dengan dipayungi para jejaka. Jumlah sebelas melambangkan simbol saling mengasihi (welas asih). Baris ketiga, terdapat rombongan ibu-ibu yang membawa padi di atas kepala (nyuhun); sedangkan baris keempat, rombongan bapak-bapak memikul padi dengan rengkong dan pikulan biasa.

Empat penjuru tersebut sebagai simbol yang melambangkan cinta kasih Tuhan terhadap umatnya di 4 penjuru. Melihat berbagai bentuk dan aksesori arak-arakan yang cukup kreatif, menggambarkan antusiasme masyarakat mempersiapkan diri untuk mengikuti ritual ini. Mereka membuat berbagai bentuk kotak kayu yang digunakan untuk membawa hasil bumi. Ada yang menghiasinya dengan patung ikan Kancra yang menjadi hewan khas Cigugur dan Harimau, serta menghiasi nampan dengan janur sehingga terlihat indah.

Tahun ini, perayaan Seren Taun juga dihadiri sejumlah kelompok masyarakat adat dari seluruh Indonesia. Suka cita dan kekhidmatan Seren Taun tak hanya dirasakan oleh masyarakat asli Cigugur, namun juga dirasa memberikan makna bagi yang menyaksikannya.

Seren Taun Tak Ingin Hanya Ditonton

Keragaman budaya Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia pariwisata. Namun, sesepuh masyarakat adat Karuhun Urang Rama Djatikusumah menilai, perhatian pemerintah selama ini sangat terbatas. Ia memahami, kurangnya perhatian pemerintah karena ketidakpahaman tentang nilai-nilai luhur dari ritual budaya pada masyarakat adat.

"Ya perhatiannya begitulah, seperti kita tahu. Tapi tidak apa-apa, mungkin karena kurang paham nilai-nilai budaya," kata Rama Djati.

Pemerintah, selama ini, hanya mempromosikan ritual budaya sebagai materi promosi wisata. Sejatinya, menurut dia, pemerintah tidak hanya berorientasi mengundang wisatawan datang ke suatu daerah.

"Boleh saja budaya dikenalkan sebagai industri budaya, tapi tidak sekadar itu, lihat juga, disampaikan juga bahwa budaya itu menggambarkan karakter masyarakat Indonesia. Kita punya kekhasan tersendiri, dan apa yang dilakukan masyarakat adat juga mengandung nilai-nilai," ujar Rama Djati.

Steering Committee Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) Emmy Sahertian mengatakan, memang tak bisa mengharap banyak dari pemerintah sebab pemerintah selama ini hanya sebatas menjadikan ritual budaya masyarakat adat sebagai komoditas wisata yang dimasukkan sebagai agenda nasional pariwisata.

"Masyarakat adatnya yang dipaksa memiliki ide brilian, bagaimana memanfaatkan agenda nasional dan mengadvokasi masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Khusus di Jawa Barat, saya melihat ada sesuatu yang baik, ada upaya advokasi kepada masyarakat Sunda Wiwitan. Masyarakat Sunda juga sebenarnya punya kekuatan kearifan lokal yang bisa dibawa untuk dipertimbangkan dalam setiap kebijakan Pemda," papar Emmy. (Courtesy Kompas/Antara)

No comments: