Sabtu (24/1) pukul 18.45, cahaya kembang api warna-warni menghiasi kawasan Jalan Pancoran, Jakarta Barat. Inilah penanda diawalinya keramaian dan keriangan menyambut Tahun Baru Imlek di sana.
Masih di lingkungan itu, di Jalan Petak Sembilan, di sekitar Wihara Dharma Bhakti (Jin-de yuan, 1650), puluhan pedagang kaki lima menggelar dagangannya bermacam-macam bunga. Pedagang lainnya menjual pakaian tradisional dan pernak-pernik perayaan Imlek hingga larut. Toko-toko perlengkapan sembahyang pun tak kalah ramai oleh pembeli.
Bagi warga peranakan China di Jakarta dan sekitarnya, Pancoran bukan saja menjadi pusat perayaan Imlek, pusaran ekonomi, sosial, atau kebudayaan, tetapi juga menghubungkan masa lalu mereka.
Kala terjadi tragedi berdarah yang menimpa warga China di Batavia tahun 1740, sebagian warga China pindah ke kawasan pinggiran Jakarta, seperti Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang. Sebagian lainnya memilih bertahan di kawasan kota lama.
Mereka yang memilih bertahan pindah ke kawasan Glodok, termasuk Pancoran, dan melanjutkan usaha dagang mereka. Namun, masyarakat yang hidup di pinggiran memilih membaur menjadi nelayan atau petani, memeluk agama Islam, dan menikah dengan warga setempat.
Komunitas pinggiran ini lalu berakulturasi seperti tecermin dalam berbagai jenis musik, busana, kuliner, dan tradisi baru lainnya. Inilah awal terbentuknya ”etnis” Betawi. Mereka berasal dari pernikahan silang Sunda, Jawa, Bugis, Bali, India Gujarat, China, dan Portugis.
Setelah suasana politik di Batavia berangsur pulih, Pancoran dijadikan tempat pertemuan antara peranakan China (Taois dan Buddhis) dan peranakan China Betawi, terutama, saat memperingati Imlek. Pertemuan tersebut sampai sekarang masih mentradisi.
Setelah peristiwa berdarah 1740, kawasan Pancoran tumbuh menjadi pusat jajan kaki lima terbesar di Batavia. Tempatnya berdampingan dengan kawasan pusat perdagangan Glodok (Linkwatiersgracht). Karena menjadi lokasi penghubung kawasan perdagangan di Jalan Gajah Mada, Glodok, Toko Tiga, dan Pasar Perniagaan, pusat jajan Pancoran berkembang cepat.
Jalan Pancoran menjadi etalase perdagangan yang membentang sejauh 300 meter dari tepi Jalan Gajah Mada sampai ke jembatan Jalan Toko Tiga.
Nama Pancoran, seperti ditulis Herman Budhi dalam bukunya Pancoran Riwayatmu, berasal dari kata pancuran. Tahun 1670, di kawasan ini dibangun waduk atau tempat penampungan air dari Kali Ciliwung. Waduk dilengkapi dua pancuran yang mengucurkan air dari ketinggian 10 kaki.
Di sini, para penjaja mengambil air dan menjajakannya di tepian kali kanal (grachten) kota. Tempat ini juga menjadi tempat minum dan istirahat kuda-kuda yang menarik kereta.
Di tempat ini pula, para kelasi mengambil air untuk bekal perjalanan kapal-kapal mereka yang sedang sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa. Karena lama menunggu giliran, sebagian dari para kelasi itu memanfaatkan waktu menunggu dengan menjual barang-barang selundupan yang mereka bawa dari kapal.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Imhoff (1743-1750), dibangun instalasi air yang menyalurkan air dari waduk ke kastil. Ini membuat para kelasi tak perlu lagi mengambil air di pancuran. Jaringan air yang terbuat dari balok kayu persegi yang disambung-sambung dengan timah ini pun masuk ke balaikota. Sebagian air muncul dalam bentuk air mancur di halaman balaikota.
Tahun 1685, kualitas air Kali Ciliwung yang disalurkan lewat Kali Molenvliet ke waduk keruh. Air akhirnya hanya digunakan untuk air minum kuda.
Pasang surut
Awal abad ke-20, predikat Pancoran sebagai pusat kuliner di Jakarta berkembang. Tahun 1920-an, Pancoran tak hanya diwarnai tenda-tenda jajanan kaki lima, tetapi juga oleh kehadiran sejumlah restoran. Selain itu, toko-toko obat tradisional China dan ruang-ruang perawatan sinse mulai bermunculan di sana.
Restoran paling populer kala itu antara lain Restoran Zong Hua, Beng Hiong, Kamleng, Kwetiau Sapi Siay A Ciap, Tay Too Lin, dan Shi Hay Juan. Aneka masakan Betawi, seperti soto, sop, dan sate kambing pun, kian banyak disajikan di balik tenda-tenda dan gerobak kaki lima.
Namun, saat Jepang menjajah, keriuhan dan hiruk-pikuk kawasan Pancoran memudar. Pancoran sepi, tetapi pada tahun 1945, Pancoran kembali menggeliat. Restoran-restoran kembali buka.
Tahun 1960-an, suasana di Pancoran kian ingar-bingar oleh rezeki minyak. Suasana ekonomi nasional yang menggembirakan itu semakin cerah pada tahun 1970-an.
Eksotisme Pancoran tak hanya dikenal sebatas Jakarta dan sekitarnya saja, tetapi juga sudah disejajarkan dengan pusat kuliner China di Hongkong. Banyak selebritis Taiwan, Hongkong, dan Singapura ke Jakarta hanya untuk memanjakan perut dan lidah mereka di Pancoran.
Aktor film kungfu Hongkong, seperti Wang Yu dan Cheng Yun, pada tahun 1970-an datang ke Pancoran. Mereka kagum dengan interaksi masyarakat di kawasan itu. Kedua bintang film kungfu dikenal di kalangan seberitis China itu di negaranya sebagai ”juru bicara” Pancoran.
Namun, suasana menggembirakan itu kembali meredup setelah rezim Orde Baru melarang perayaan Imlek. Silaturahim antara kalangan peranakan China dan peranakan China Betawi tersendat. Tiada lagi atraksi sesingaan (barongsai) dan naga (liong) di sana. Tidak ada keramaian deretan para pedagang dan pembeli bandeng di Jalan Toko Tiga serta perdagangan ayam di Jalan Petak Sembilan. Menjelang dan semasa Imlek suasana di Pancoran justru sepi.
Akan tetapi, pada awal tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menghapus larangan itu. Pancoran pun kembali ramai, meriah, dan setiap lorong di kawasan itu seperti bersolek lampion dan lampu warna-warni. Rekonstruksi suasana pra-Imlek seperti di tahun 1960-an dilakukan Pemerintah Kota Jakbar.
Hanya dalam hitungan hari, Pancoran kembali diserbu pedagang kali lima. Suasana menjadi kumuh, tak sehat, dan tak lagi nyaman. Beruntung, Maret 2005, Wali Kota Jakbar Fadjar Panjaitan merelokasi PKL ke Pasar Jaya Glodok, Pasar Mitra Jembatan Lima, Pasar Perniagaan, Pasar Jembatan Dua, dan Pasar Pluit. Suasana di tepian Jalan Pancoran pun kembali nyaman. Lalu lintas pun lancar.
Sayang, sepeninggal Fadjar sebagai Wali Kota Jakarta Barat, jalan kembali menyempit oleh ulah para para pengendara dan juru parkir yang sengaja mengokupasi jalan untuk lahan parkir.
Padahal, di kawasan itu sudah disediakan banyak lahan parkir, baik di ruang terbuka maupun di dalam gedung. Meski demikian, hiruk-pikuk kemacetan di kawasan Pancoran tidak menghalangi kaum China peranakan dan China peranakan Betawi tetap membangun silaturahim pada Tahun Baru China. (Courtesy Kompas/Antara)
Thursday, January 29, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment