Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, March 28, 2009

Melihat Hantu di Tangkoko

Lansekap Tangkoko Duasudara (LTD) yang terletak di Kota Bitung, Sulawesi Utara, merupakan salah satu kawasan alam terakhir yang menawarkan suaka bagi penyusun alam hayati Sulawesi. Di LTD yang memiliki nilai sejarah alam penting ini, terdapat berbagai jenis satwa endemik. Endemik artinya satwa hanya dapat ditemukan di Sulawesi, tidak di temukan di tempat lain."Kawasan cagar alam Tangkoko ini harus dipertahankan terus, dan tidak boleh diganti menjadi hutan lindung atau kawasan apapun dengan target yang tidak jelas. Tangkoko adalah aset sejarah alam dunia," ujar Sulawesi Program Coordinator Wildlife Conservation Society (WCS), Indonesia Program, Johny Tasirin PhD kepada Kompas, Minggu (13/4).Menurut Johny Tasirin, LTD memiliki nilai sejarah alam yang penting, karena di LTD terdapat terdapat berbagai jenis satwa, yakni 26 jenis mamalia (10 jenis endemik Sulawesi), 180 jenis burung (59 diantaranya endemik Sulawesi dan 5 endemik Sulut), dan 15 jenis reptil dan ampibi."Manguni (Otus manadensis ) yang menjadi simbol daerah Minahasa, ditemukan di LTD bersama 7 jenis manguni lainnya. Burung malam ini harus sharing habitat dengan belasan perambah malam lainnya termasuk tarsius, 7 jenis kelelawar," ujarnya.Di LTD hutan tropis juga membentang dari tipe hutan pantai sampai hutan pegunungan dengan variasi jenis tumbuhan yang cukup kompleks. LTD adalah rumah dari monyet hitam Sulawesi (Macaca Nigra ) dan tangkasi (Tarsius Spectrum) yang adalah dua jenis primata asli Sulawesi Utara dengan nilai evolusi yang tinggi, kuskus beruang dan maleo yang berkerabat dengan satwa di Australia.Di LTD terdapat empat kawasan konservasi yakni Cagar Alam Tangkoko, Cagar Alam Duasudara, Taman Wisata Alam (TWA) Batu Putih, dan TWA Batu Angus yang semuanya dikelola oleh Departemen Kehutanan.Sehari sebelumnya, Johny hadir di Cagar Alam Tangkoko berdialog dengan Tim Ekspedisi Tangkoko, yang diprakarsasi Sulut Bosami Network. Kegiatan menjelajah sebagian Cagar Alam Tangkoko yang berlangsung selama dua hari (11-12 April 2008), diikuti sejumlah wartawan media cetak dan elektronik, peneliti, anggota Sulut Bosami Network, serta pemuda-pemuda yang tergabung dalam Kelompok Pencinta Alam Tarantula.Selama di Tangkoko, peserta ekspedisi yang didampingi Dr Saroyo Sumarto, peneliti satwa liar di Sulut yang juga pengajar Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Unsrat Manado. Kegiatan ini diawali dengan diskusi tentang Tangkoko di alam terbuka, di kawasan Taman Wisata Alam Tangkoko.Jumat (11/4) malam, Iwan Hunowu dari WCS, Indonesia Program dibantu anggota KPA Tarantula memasang jaring untuk menjerat kelelawar. Kelelawar yang tertangkap kemudian diidentifikasi bersama tim ekspedisi, kemudian dilepas kembali ke alam bebas.Melihat HantuBelum puas rasanya jika berkunjung ke Tangkoko tanpa melihat Tangkasi. Tangkasi adalah nama lokal untuk Tarsius Spectrum. Binatang ini hanya ada di Sulawesi. Binatang yang tubuhnya hanya sebesar tikus ini merupakan primadona Tangkoko.Tangkasi atau Tarsius adalah binatang nokturnal atau binatang malam. Waktu siang mereka tidur, malam-malam mereka berburu mencari makan. Oleh karena itu Tangkasi acap disebut sebagai binatang hantu. Wajahnya pun mirip hantu. Bentuk badannya kecil, mirip kera, tapi matanya besar. Saat siang, Tangkasi bersembunyi di balik dedaunan dan kerimbunan pohon. Begitu malam tiba mereka keluar dari sarangnya berburu kecoa, jenkerik, dan serangga kecil lainnnya. Matanya yang besar sangat tajam di kegelapan malam.Sabtu (12/4) subuh, tim ekspedisi mengawali petualang dengan mencari binatang hantu ini. Tim bergerak mulai pukul 04.00 pagi. Setelah mendaki sekitar satu jam, peserta berhasil melihat dari dekat beberapa keluarga Tarsius, yang kembali ke pohon tempat tinggalnya. Usai melihat Tarsius, peserta melanjutkan penjelajahan dengan mencari dan mengamati puluhan monyet yang dikenal dengan sebutan yaki.Koordinator Program Ekspedisi Tangkoko dari Sulut Bosami Network, Gina Kussoy menyatakan ekspedisi ini diharapkan dapat mendorong lahirnya pengelolaan kolaborasi kawasan konservasi Cagar Alam Tangkoko. (Courtesy Kompas/Antara)

Aset Dunia di Tangkoko

MARKING tag (penanda) berbentuk pita bertulis kode petunjuk jalur dan ketinggian itu, entah ada berapa banyaknya, tersebar di penjuru dahan pohon dalam rimbun cagar alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. "Itu tanda-tanda yang dibuat para peneliti," ujar Frangki, satu dari empat pemandu lokal yang membantu kami mencari monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) atau disebut yaki dalam bahasa lokal.
Saat matahari belum menampakkan sinarnya, saya bersama enam rekan fotografer pada kegiatan Exploring Celebes, merayakan 150 tahun Ekspedisi Wallace yang dimotori oleh National Geographic IndonesiA dan Sony Indonesia, bergerak perlahan mencari posisi kelompok yaki yang baru turun ke tanah dari peraduannya di atas pohon. Selain kami dan para pemandu, di lokasi tempat gerombolan yaki yang kami temukan tampak dua peneliti asing asyik mengikuti pergerakan yaki sambil mencatat segala polah tingkah lakunya.
"Jumlah peneliti asing? Yah, kira-kira ada enam orang pada setiap musim (per enam bulan). Kebanyakan dari Eropa," kata Simson, pemandu lainnya yang kerap dipakai para peneliti. "Kalau wisatawan asing, bisa ribuan per tahun. Mereka mau lihat yaki, tangkasi, juga burung-burung khas, satwa endemik di sini," ujarnya.
Tangkoko memang populer di kalangan ilmuwan. Di tempat inilah Alfred Russel Wallace, seorang naturalis muda Inggris, pernah menapakkan kakinya sekitar tahun 1850-an dan terpesona dengan maleo (Macrocephalon maleo) dan babi rusa (Babyrousa babyrussa). Dari penelitian lapangan di Nusantara dalam kurun 1860-1860, Wallace mengamati penyebaran satwa, lalu mengenali dua wilayah biogeografi India dan Australia yang sangat berbeda. Ia membagi dua kelompok satwa dan menarik garis batas timur-barat yang hingga sekarang dikenal sebagai garis Wallace, dimulai dari selat antara Kalimantan dan Sulawesi, terus ke selatan antara Bali dan Lombok.Pada tahun 1858, Wallace juga menulis kumpulan surat dan makalah yang memuat tentang teori evolusi melalui seleksi alam (walau tidak secara rinci disebutkan demikian) kepada Charles Darwin di Inggris (yang saat itu telah menjadi naturalis ternama di Inggris). Makalah ini kemudian memacu Darwin menerbitkan On The Origin of Species tahun 1859, yang memperkenalkan teori evolusi yang menggemparkan.
Sulawesi yang unik konon dikunjungi Wallace sebanyak tiga kali. Satwa di kawasan ini merupakan percampuran atau zona transisi dua wilayah zoogeografi, Asia dan Australia. Bagi konservasi biologi, proporsi jenis satwa endemik Sulawesi termasuk yang tertinggi di Indonesia. Cagar alam Tangkoko sendiri adalah salah satu rumah satwa Sulawesi yang sangat penting. Di kawasan konservasi seluas 8.718 hektar ini tercatat keberadaan 26 jenis mamalia (10 jenis endemik Sulawesi), 180 jenis burung (59 endemik Sulawesi dan 5 endemik Sulut), serta 15 jenis reptil dan amfibi.
Maleo dan babi rusa yang memesona Wallace kini sulit dijumpai di Tangkoko, demikian juga anoa (Bubalus depressicornis). Ketiga satwa endemik Sulawesi tersebut diduga telah punah akibat pemburuan dan perusakan habitat. Walau demikian, sejumlah satwa lainnya masih dapat ditemui di sini. Yaki, tangkasi (Tarsius spectrum), dan julang sulawesi atau rangkong (Rhyticeros cassidix) adalah tiga dari sejumlah satwa yang menjadi magnet pesona Tangkoko.
Entah telah berapa banyak ilmuwan dalam dan luar negeri yang telah datang demi kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan penelitian. Bila Tangkoko bisa dikatakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang sangat penting di dunia, jika satwa-satwa itu punah, tak hanya Indonesia, bahkan dunia pun kehilangan. (Courtesy Kompas/Antara)

Sejuta Satwa di Belantara Tangkoko

Segerombolan kera hitam khas Sulawesi berpindah dari satu dahan ke dahan lain. Ada pula yang berjalan sambil mengais makanan di tanah basah. Setidaknya sekitar 20-an kera Macaca nigra ini seperti komunitas. Sebutan untuk rombongan kera ini adalah Rambo 1, begitu menurut penuturan salah satu peneliti yang sudah hampir setahun mengikuti tingkah laku mereka. Penduduk sekitar menyebut kera itu dengan "yaki" yang hidup bebas di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih dan Cagar Alam Tangkoko. Satwa ini hanya satu jenis dari jutaan satwa yang ada di kawasan konservasi Gunung Tangkoko, Kota Bitung, Sulawesi Utara.Kawasan konservasi seluas 8.718 hektar ini meliputi empat tempat, yakni TWA Batuputih seluas 615 hektar, Cagar Alam Tangkoko-Batuangus seluas 3.196 hektar termasuk kawasan Gunung Tangkoko-Batuangus dan sekitarnya, CA Duasudara seluas 4.299 hektar termasuk Gunung Duasudara dan sekitarnya, dan TWA Batuangus seluas 635 hektar. Keempatnya berada di bawah pengelolaan Departemen Kehutanan, melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut.Di kawasan konservasi yang menjadi incaran para peneliti satwa di dunia ini terdapat 26 jenis mamalia (10 jenis endemik Sulawesi), 180 jenis burung (59 di antaranya endemik Sulawesi dan 5 endemik Sulut), dan 15 jenis reptil dan amfibi. Area konservasi ini yang paling sering dikunjungi wisatawan adalah TWA Batuputih yang dapat ditempuh dengan mobil pribadi sekitar dua jam dari Manado. Melalui TWA Batuputih ini biasanya lebih dekat menuju kawasan Cagar Alam Tangkoko. Anda dapat memakai bantuan guide sekaligus membayar donasi untuk konservasi ini minimal sekitar Rp 70 ribu. Ada beberapa guide dari penduduk lokal yang memang sudah terlatih menjelaskan dengan bahasa Inggris, terutama untuk turis mancanegara yang datang.Kebanyakan turis yang datang mengagumi keanekaragaman satwa di wilayah konservasi ini, karena konon Sulawesi ini terkenal unik sebagai percampuran atau zona transisi dua wilayah zoogeografi yakni Asia dan Australia. Bisa dikatakan cagar alam Tangkoko ini rumah satwa Sulawesi yang signifikan.Satwa yang bisa ditemukan di Tangkoko antara lain burung manguni (Otus manadensis) yang menjadi simbol daerah Minahasa, bersama tujuh jenis burung manguni lainnya. Menurut guide Tangkoko, Alfons Wodi, burung ini keluar pada malam hari dan berbagi habitat dengan hewan malam lainnya seperti tarsius, kelelawar dan musang Sulawesi.Selain monyet hitam Sulawesi dan tangkasi atau tarsius, satwa khas Sulawesi lain yang mudah dijumpai di kawasan ini adalah kuskus beruang (Ailurops ursinus), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis), julang sulawesi atau burung rangkong (Rhyticeros cassidix), dan kangkareng (Penelopides exarrhatus). Di kawasan konservasi satwa langka ini, Anda dapat melalui pos I di pintu masuk dimana Anda dapat menikmati pantai dan untuk mencapai Pos II dapat ditempuh dengan mobil. Sebelum mencapai Pos II Anda akan menjumpai hutan tropis sekunder dimana terdapat pohon dan beberapa tanaman pionir seperti sirih hutan, kayu bunga dan binunga.
Dari Pos II, Anda bisa memarkir mobil dan mulai berjalan menjelajah hutan dan akan bertemu dengan sekelompok monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra). Aneka suara burung juga akan terdengar bila semakin mendekat ke dalam hutan mulai dari Rangon, Kingfisher, merpati, dan masih banyak lagi.
Dari TWA Batu Putih ada batas untuk memasuki Cagar Alam Tangkoko, tetapi batas ini pun tak terlalu jelas karena hanya berupa dua tonggak dari pohon yang dipancangkan di kanan dan kiri.
Menurut Alfons, banyak perangkap yang ditemukan oleh petugas di kawasan konservasi itu. “Yah, kalau patroli itu dilakukan rutin pasti ada perangkap untuk kera atau pencurian kayu juga, tapi sayangnya batas cagar alam ini masih belum ada, jadi semua orang bisa keluar masuk,” ujar Alfons.
Aneka flora dan fauna yang dikagumi naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, ini seharusnya menjadi perhatian semua pihak untuk melestarikannya. Lebih baik mencegah kepunahan satwa lebih dini daripada generasi selanjutnya tak lagi bisa menyaksikan kekayaan hayati tempat ini. Semoga… (Courtesy Kompas/Antara)

Sunday, March 22, 2009

Menelusuri Eksotika Sauwandarek

EKSOTIS, mungkin itu kata yang tepat menggambarkan pesona Kampung Wisata Sauwandarek. Terletak di Distrik Meos Mansar, Raja Ampat, Papua Barat, kampung ini tak hanya menawarkan pesona bawah laut. Namun, kemolekannya semakin lengkap dengan keindahan alam di atas lautnya.

Tiba di pantai Sauwandarek, aktivitas snorkeling rasanya sayang untuk di lewatkan. Jika tak puas bersnorkeling, Sauwandrek yang berada di kawasan Selat Dampier memiliki beberapa lokasi menyelam (dive site). Berbagai jenis ikan seperti kuda laut mini (pigmy seahorse), udang mantis, blue ring octopus, ikan mandarin, kakap (schooling snapper), dan ekor kuning bisa kita jumpai. Kadang penyelam juga bisa menikmati berada dekat dengan gerombolan ikan tuna dan barakuda.

Puas dengan keindahan bawah laut, anda bisa melanjutkan perjalanan di kampung wisata. Masyarakat Sauwandarek tahu betul menjaga keunikan kampung mereka. Di sini, rumah-rumah penduduk sengaja dibiarkan dengan bentuk dan material yang masih alami.

Di kampung wisata ini, anda akan menjumpai kaum wanita khususnya ibu-ibu membuat kerajinan anyaman daun pandan. Barang yang biasa dibuat adalah noken dan topi. Kerajinan ini bisa anda beli untuk suvenir. Harga noken dan topi di Sauwadarek relatif murah, anda bisa membawa pulang berbagai kerajinan anyaman dengan harga berkisar Rp.25.000-Rp.50.000 per buah tergantung jenis dan ukurannya.

Keunikan lain di Kampung Sauwandarek adalah atraksi memberi makan ikan di pantai. Puluhan ikan liar dengan sekejap akan berkerumun saat kita menebarkan makanan di pantai. Cukup dengan menebus makanan ikan seharga Rp.50.000, rasanya sayang jika kesempatan langka ini anda lewatkan.

Bagi pecinta treking, anda bisa melanjutkan perjalanan menuju sebuah telaga. Oleh masyarakat setempat telaga ini disebut Telaga Yenauwyau. Uniknya telaga di sini berair asin. Menurut Kepala Desa Sauwandarek, Korinus Urbata, dahulu di telaga ini terdapat sebuah goa yang menghubungkan telaga dengan laut. Sebelum goa itu tertutup, tak jarang ikan lumba-lumba dari laut masuk ke telaga. Tapi sayang, pemandangan itu sekarang sudah hilang.

Bagi masyarakat Sauwandarek, telaga ini dipercaya sebagai tempat keramat yang dihuni oleh seekor penyu putih. Tidak sembarang orang bisa melihat wujud penyu tersebut. Namun jika kebetulan menjumpai penyu ini, masyarakat percaya orang tersebut akan mendapatkan keberuntungan.

Telaga ini menjanjikan panorama alami. Di tepi telaga terdapat semacam dermaga yang berfungsi untuk menikmati panorama telaga sekaligus tempat melepas lelah setelah berjalan kaki sekitar 25 menit mencapai lokasi telaga. Selain itu, anda juga bisa menyaksikan burung Maleo Waigeo (Spilocuscus papuensis), burung endemik di wilayah Sauwadarek.

Untuk mencapai Sauwandarek, anda bisa menggunakan kapal reguler dari Sorong menuju Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat, Waisai. Perjalanan ini akan ditempuh dalam waktu 2-4 jam. Tarif kapal reguler ini tergolong murah, berkisar Rp.100.000 hingga Rp.125.000 perorang, sekali jalan. Dari Waisai perjalanan lalu dilanjutkan menuju Sauwandarek dengan menggunakan long boat selama 4 jam. Biaya sewa long boat berkisar Rp.300.000, sekali jalan.

Tetapi jika ingin cepat, anda bisa juga menyewa speed boat dari Sorong. Dengan biaya sewa sekitar Rp 5 juta perhari, perjalanan Sorong-Sauwandarek hanya akan ditempuh dalam waktu 3 jam perjalanan.

Sepanjang perjalanan menuju Sauwandarek, tak jarang anda akan dimanjakan oleh keindahan karang, ikan, dan biota laut lainnya. Laut yang masih alami membuat ekosistem di wilayah Raja Ampat ini bisa dinikmati dengan mata telanjang. (Courtesy Kompas/Antara)

Sembilang, Surga Mangrove yang Terancam Rusak

Jumlah hutan mangrove (bakau) di dunia tinggal sedikit. Burung-burung migran mulai kebingungan mencari tempat singgah yang kaya akan bahan makanan. Sampai akhirnya burung-burung itu menemukan salah satu kawasan hutan mangrove terluas di dunia. Beruntungnya, hutan itu terletak di pesisir timur Sumatera Selatan, Indonesia.

Taman Nasional Sembilang namanya. Pohon-pohon bakau yang ada di sini menampung lumpur yang kaya akan makanan burung. Tak heran taman ini merupakan perwakilan hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan hutan riparian (tepi sungai) di Provinsi Sumatera Selatan.

Ribuan bahkan puluhan ribu burung migran asal Siberia, Semenanjung Korea, dan Jepang dapat disaksikan di Sembilang yang mencapai puncaknya pada bulan Oktober. Hal ini merupakan atraksi burung migran yang menarik untuk diamati karena dapat mendengar secara langsung suara gemuruh burung-burung tersebut terbang bersamaan dan menutupi suara debur ombak Selat Bangka.

Sayangnya, saat ke sana hanya menemukan burung-burung lokal, seperti blekok asia (Limnodromus semipalmatus), trinil tutul (Pseudototanus guttifer), undan putih (Pelecanus onocrotalus), bluwok putih (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dan dara laut sayap putih (Chlidonias leucoptera).

Tempat ini juga merupakan habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus), siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), kucing mas (Catopuma temminckii temminckii), rusa sambar (Cervus unicolor equinus), buaya (Crocodylus porosus), biawak (Varanus salvator), ikan sembilang (Plotusus canius), labi-labi besar (Chitra indica), lumba-lumba air tawar (Orcaella brevirostris), dan berbagai jenis burung.

Sembilang merupakan ramuan obat untuk mereka yang haus akan rekreasi alam yang berbau petualangan. Sebab, tempat ini tidak hanya mempermainkan adrenalin, tapi juga otak dan keingintahuan.

Pemandangan sepanjang sungai dan pesisir pantai sangat menyegarkan mata. Deretan vegetasi nipah, api-api, dan nibung, menjadi tempat bersarang kera ekor panjang. Satu pohon bisa dihuni oleh puluhan kera. Burung-burung beterbangan di langit. Sebagian terbang merendah ke arah lumpur dan sungai. Dalam sekejap, mereka membius dengan atraksi menangkap ikan.

Belasan elang laut, raja pemangsa perairan, terlihat melayang-layang mengintai mangsa. Kehadiran elang-elang berbulu coklat dan kepala putih itu semakin menguatkan aroma kehidupan liar di kawasan Taman Nasional Sembilang.

Kawasan ini mampu mengingatkan tentang pentingnya konservasi kawasan ekosistem pesisir, dengan menunjukkan contoh langsung peranan hutan mangrove dalam menyangga kehidupan perairan, termasuk memberi tempat berlindung untuk para burung migran.

Namun sayang, pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api tetap diteruskan. Pembangunan ini dikhawatirkan akan mengganggu ekosistem alami di Sembilang, meski lokasi ini hanya memakan sebagian kecil wilayah taman nasional.

Pertama, kapal-kapal ditakutkan akan melewati titik-titik singgah burung migran. Kedua, Hutan Mangrove akan rusak karena perekonomian sekitar pelabuhan akan hidup. Padahal, tanaman bakau sangat sensitif dengan perubahan ekosistem.

Ekosistem yang berubah akan membuat burung migran tak mau singgah. Pohon bakau yang rusak, tidak mampu menahan lumpur dan burung-burung dan hewan lain akan kehilangan makanannya. Itu berarti, akan ada banyak burung migran yang mati karena tidak bisa beristirahat dan memperoleh makanan.

Oleh karena itu, konsep Pelabuhan Tanjung Api-Api harus direncanakan dengan matang. Mulai dari jalurnya hingga pengembangan kawasan perekonomiannya. (Courtesy Kompas/Antara)

Ziarah di Pulau Kecil

Berwisata tidak harus selalu menikmati keindahan alam atau sekadar menikmati hidangan lezat. Ada bentuk wisata yang sudah sejak lama dilakukan masyarakat bahkan ada yang menjadi bagian tradisi, yakni wisata religi, seperti berziarah atau mengunjungi makam seorang tokoh, pahlawan, maupun raja-raja.

Bila mengunjungi makam raja, selain berziarah, Anda tidak hanya mendapatkan sisi religiusnya, tetapi juga mendapat kisah dan sejarah sekaligus menikmati arsitektur bangunan makam. Seperti halnya di makam Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Makam Raja Ali Haji (RAH) terdapat di Pulau Penyengat Indera Sakti, Kepulauan Riau. Pulau Penyengat merupakan pulau yang berjarak sekitar 6 kilometer di seberang kota Tanjung Pinang, ibu kota Kepulauan Riau.

Di pulau ini terdapat beberapa kampung dengan peninggalan pada masa Kerajaan Melayu Riau Lingga. Pergi ke Pulau Penyengat berjarak tempuh sekitar 20 menit dari Dermaga Tanjung Pinang menggunakan perahu motor kecil atau yang disebut dengan pompong. Untuk menaiki pompong, dikenakan biaya Rp 5.000-Rp 10.000 per orang. Atau jika ingin menyewa, dikenakan biaya sebesar Rp 80.000 per pompong yang akan membawa penumpang pergi-pulang.

Untuk mengelilingi pulau ini, pengunjung dapat menggunakan becak motor (bemor) yang dapat disewa dengan harga Rp 20.000. Di Pulau ini, pengunjung tidak akan menemukan mobil atau kendaraan sejenisnya.

Nama Pulau tempat makam RAH bernaung, Penyengat, selalu dikait-kaitkan dengan nama besar sang pujangga besar nusantara tersebut. Oleh masyarakat Melayu, khususnya di semenanjung Malaka, nama ini dianggap sebagai pahlawan besar yang layak diagungkan dan dimonumenkan.

Nama lengkap Raja Ali Haji adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah bin Opu Daeng Celak alias Engku Haji Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau. Dia dilahirkan pada tahun 1808 M/1193 H di pusat Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, dan meninggal pada tahun 1873 M di pulau itu juga.

Pulau Penyengat sebagai tempat kelahiran RAH memiliki arti khusus dalam pembentukan kepribadiannya. Di pulau inilah dia mendedikasikan pengetahuan kepada suluruh masyarakat Riau, dan kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Konon, sebelum dijadikan pusat kerajaan, Penyengat dikenal sebagai pulau yang sering dikunjungi oleh para nelayan atau pelaut yang ingin mencari air bersih. Pada suatu waktu, saat mengambil air, seorang di antara mereka dikejar-kejar oleh sejenis hewan yang punya alat sengat. Sejak saat itulah pulau ini oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Pulau Penyengat. Selain itu, Penyengat juga dikenal sebagai Pulau Mas Kawin. Menurut legenda masyarakat Melayu, pulau ini dihadiahkan Sultan Mahmud Marhum Besar, Sultan Riau-Lingga periode 1761-1812 M, kepada Engku Putri Raja Hamidah, sebagai mas kawin untuk meminangnya.

Karena jasanya yang begitu besar, maka pada tanggal 10 November 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada RAH, pada saat peringatan Hari Pahlawan 10 November di Istana Negara, Jakarta.

Pulau Penyengat yang hanya memiliki lebar sekitar satu kilometer dan panjang sekitar dua sampai tiga kilometer ini juga terdapat puluhan situs bersejarah peninggalan sultan, entah itu berbentuk istana, gedung mahkamah, tempat mandi, gedung tabib, masjid, ataupun makam termasuk di dalamnya Makam Raja Ali Haji sendiri. Beragam situs bersejarah yang menyebar di pulau ini seolah terangkai dalam satu kontinum yang menggambarkan kebesaran sejarah kerajaan Malayu Riau.

Kompleks makam Raja Ali Haji terkesan sederhana, terletak di kaki bukit kecil yang dikelilingi oleh pohon rindang ambacang, mengkudu, dan jambu. Ada beberapa bangunan di kompleks pemakaman ini, di antaranya sebuah masjid mini, berkubah, dan bermihrab. Dinding-dindingnya didominasi warna kuning dan sedikit warna hijau, dengan jendela bulat layaknya jendela kapal. Di dalam bangunan utama ini terdapat cuplikan “Gurindam Dua Belas”. Makam Raja Ali Haji sendiri terletak di luar bangunan utama dengan naungan atap berwarna hijau. Tidak adanya dinding penyekat yang menutupi makam seolah membiarkan para peziarah masuk dan melihat secara lebih leluasa. Dua nisan di atas makam ini dibungkus rapi oleh kain berwarna kuning, mirip seperti cara membungkus jenazah saat prosesi penguburan. Mengamati detail makam ini, pengamat akan segera menangkap tulisan di atas makam yang berbunyi: “Raja Ali Haji, Terkenal, Gurindam XII”.

Sebenarnya dalam kompleks ini terdapat banyak makam para Raja Kesulatanan Riau Lingga yang bersanding sisi dengan makam Raja Ali Haji. Makam permaisuri terletak di bangunan utama, sedangkan makam raja laki-laki, seperti Raja Ahamad Syah, Raja Abdullah Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IX, dan Raja Ali Haji sendiri terdapat di luar ruangan. Makam Engku Putri Raja Hamidah yang secara simbolis merupakan pemilik mas kawin Pulau Penyengat dari Sultan Mahmud Marhum Besar, terdapat di dalam ruang utama. Selain itu, masih terdapat banyak makam orang-orang yang punya hubungan kekerabatan kerajaan di luar pagar kompleks makam.

Melongok makam RAH mungkin akan menimbulkan kesan unik bagi pengunjung. Pasalnya, meski secara resmi dikenal sebagai kompleks makam Engku Putri Raja Hamidah, pengelola makam sengaja menonjolkan atribut formal untuk penghormatan terhadap Raja Ali Haji. Lihat saja, dua baliho yang merujuk pada kebesaran sang pujangga: “Raja Ali Haji Pahlawan Nasional Bidang Bahasa Indonesia” dan sebuah lagi, “Raja Ali Haji Bapak Bahasa Melayu-Indonesia, Budayawan di Gerbang Abad XX”. Mungkin hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap tokoh besar Nusantara (RAH) yang ditabalkan oleh Keppres RI Nomor 089/TK/2004 sebagai Pahlawan Nasional, tanpa menafikan penghormatan terhadap raja-raja lain dalam makam ini.

Bila masih belum puas mengunjungi makam RAH, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan wisatanya di pulau kecil ini. Di antaranya adalah Istana Kedaton tempat Sultan Riau-Lingga terakhir tinggal; Istana Bahjah tempat tinggal Raja Ali Kelana, Gedung Hakim Mahkamah Syariah Raja Haji Abdullah dengan tiang-tiang kukuh menyerupai bangunan Yunani kuno, Gedung Tabib, bekas tempat praktek Engku Haji Daud, tabib kerajaan, dan Perigi Kunci, tempat mandi putri istana. Selain situs-situs sejarah ini juga masih terdapat situs lain di antaranya makam Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji Fisabilillah, Tapak Percetakan Kerajaan, Benteng Bukit Kursi, Makam Embung Fatimah di Bukit Bahjah, dan Bukit Penggawa. Daftar situs-situs sejarah ini tercatat rapi pada katalog wisata yang dijajakan penduduk kepada para wisatawan saat mengunjungi Pulau Penyengat. (Courtesy by Kompas/Antara)

Jam Gadang, Gengsi Kota Bukittinggi

Jika ditanyakan kepada masyarakat Bukittinggi apa yang menjadi ikon dari kota berudara sejuk ini, maka dengan serempak mereka akan menjawab: Jam Gadang!

Sejak awal berdirinya, lokasi Jam Gadang merupakan jantung kota Bukittinggi. Bangunan semacam tugu setinggi 26 meter dengan bulatan jam di keempat sisi bagian atasnya ini dibangun pada tahun 1826 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur atau Sekretaris Kota Bukittinggi waktu itu, Rook Maker. Jadi, umurnya sudah lebih dari 180 tahun. Pembangunannya diselesaikan oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh dan biaya pembangunan ‘hadiah’ ini mencapai 3.000 Gulden pada saat itu.

Bentuk atap Jam Gadang telah mengalami tiga kali penyesuaian dari waktu ke waktu. Pada jaman Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di atasnya. Pada waktu Jepang berkuasa di tanah air, mereka mengganti bentuk atapnya seperti atap klenteng. Kemudian setelah kemerdekaan diproklamirkan, bentuk atapnya diubah menjadi bergonjong empat seperti atap rumah adat Minangkabau dan bermotifkan pucuk rebung. Bagian atas Jam Gadang ini masih terlihat dari kawasan Jempatan Limpapeh yang berjarak sekitar 1 km dari lokasi.

Bulatan jam yang terletak di bagian atas di keempat sisi tugu ini berdiameter 80 cm dengan latar belakang putih sementara tulisan angka dan jarumnya berwarna hitam. Terdapat keunikan penulisan angka pada Jam Gadang. Angka empat yang seharusnya dilambangkan dengan ‘IV’ dalam bentuk Romawi, dituliskan ‘IIII’.

Jam Gadang yang denah dasarnya berukuran 13x4 meter ini berdiri di atas kawasan Taman Sabai Nan Aluih di depan Istana Bung Hatta. Di kawasan ini ditanam sejumlah pohon sehingga makin terasa rindang. Pemerintah daerah juga melengkapinya dengan kursi-kursi beton untuk bersantai. Taman ini selalu ramai, mulai pagi, siang, sore hingga malam hari. Tua muda selalu memanfaatkan kawasan ini untuk bersantai. Bahkan, banyak orang tua muda membawa putra-putrinya bermain di tempat ini pada sore hari.

Di kawasan ini juga tersedia andong atau sado yang disebut Bendi untuk berkeliling-keliling di kawasan pusat kota. Untuk masyarakat biasa, tarif yang dikenakan biasanya Rp 2.500 jauh dekat. Sementara khusus untuk wisatawan, tarifnya bisa membengkak hingga Rp 25.000-Rp 50.000 sesuai negosiasi.

Di dekatnya, terdapat pula Pasar Atas yang merupakan pusat perdagangan di Bukittinggi. Pasar ini biasanya ramai pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu. Berbagai barang dijual di pasar ini, mulai dari sayur dan buah-buahan, pakaian hingga berbagai macam kerajinan tangan berupa tenun, kerajinan perak, hingga kaus dan baju yang menunjukkan citra Minangkabau. Semuanya dijual dengan harga miring.

Di Bukittinggi, banyak sekali obyek wisata yang bisa disambangi. Namun Jam Gadang biasanya menjadi sentra para wisatawan sebelum beranjak ke obyek wisata lainnya. Memilih beberapa penginapan yang berserakan di sekitar kawasan Jam Gadang juga dapat menjadi pilihan jika ingin secara leluasa melihat jam ini berpose pada waktu terang ataupun gelap, yaitu di sepanjang Jalan Laras Dt. Bandaro-jalan Soekarno Hatta-Jalan Dr. A. Rivai-Jalan Jenderal Sudirman.

Jika menengadah melihat puncak Jam Gadang pada waktu pagi hingga sore hari, kemegahannya tampak sempurna dengan didukung oleh latar belakang langit yang biru. Sedangkan pada waktu malam, temaram lampu taman yang berwarna kuning membuat taman ini tampak eksotik dan romantis. Pantang meninggalkan kawasan Jam Gadang tanpa foto. Namun, jangan khawatir, jika datang ke kawasan ini tanpa kamera, pengunjung dapat memanfaatkan jasa fotografer keliling untuk mengabadikan diri dengan latar belakang Jam Gadang. (Courtesy by Konpas/Antara)

Wednesday, March 18, 2009

"Spice Island" The Islands of North Molucas

North Maluku is a province of Indonesia. It covers the northern part of Maluku Islands, which are split between it and Maluku Province. Maluku Province used to cover the entire group. The planned provincial is Sofifi, on Halmahera, but the current capital and largest population is Ternate Island. So, the capital of North Maluku is Ternate.
In the sixteenth and seventeenth century, the islands of North Maluku were the original "Spice Islands". At the time, the region was the sole source of cloves. The Dutch, Portuguese, Spanish, and local kingdoms including Ternate and Tidore fought each other for control of the lucrative trade in these spices. Nutmeg trees have since been transported and replanted all around the world and the demand for nutmeg from the original spice islands has ceased, greatly reducing North Maluku's international importance.
In North Maluku the land makes up just 15 percent of the area's total surface. In many places the surrounding seas could be thousands of meters deep. North Maluku is in a transition zone between the Asian and Australian fauna and flora, and also between the Malay-based cultures of western Indonesia and those of Melanesia.
A great variety of endemic plant and animal species are found in the rugged forest-covered and mountainous hinterlands of most of the islands. A few of the best known are the Rucker-tailed Kingfisher, the Red-crested Moluccan Cockatoo and various brilliantly colored lorikeets and parrots.
North Maluku sits astride one of the world's most volatile volcanic belts. The region has known more than 70 eruptions in the last 400 years. Tremors and volcanic eruptions are by no means rare events at present. Many islands, in fact, look from a distance like volcanic cones rising right out of the sea.
TRANSPORTATION
Air and sea transportation are the main means, which link the islands together. Good roads on the islands provide easy access to the often-remote places of interest.
CLIMATE
here are two seasons that are suitable for sailing to these islands: February-March and October-November, when the wind and the waves are low.
DEMOGRAPHY
The population of North Maluku is 870,000 (according to the National Socio-Economic Survey, 2004, making it the least populous province in Indonesia. The Tribes are: Module, Pagu, Ternate, Makian Barat, Kao, Tidore, Buli, Patani, Maba, Sawai, Weda, Gne, Makian Timur, Kayoa, Bacan, Sula, ange, Siboyo, dan Kadai. Galela, Tobelo, Loloda, Tobaru, Sahu. The religions that had developed in Maluku are Islam, Protestant, Catholic, Buddha, etc.
GOVERNMENT ADMINISTRATIVELLY
Maluku Province has 5 Regencies, 2 city, 45 districts, 650 villages and 80 sub-districts. They are: West Halmahera Regency, Sula Islands, South Halmahera Regency, North Halmahera Regency, East Halmahera Regency, Ternate City and Tidore islands.


TERNATE
Ternate is an island and town in the Maluku Islands (Moluccas) of eastern Indonesia, located off the west coast of the larger island of Halmahera. In the pre-colonial era, Ternate was the dominant political and economic power over most of the "Spice Island” of Maluku. Today, Ternate is the largest town in North Maluku province. Ternate on the north Seram is a center of power and communication. It is the second most important town in Maluku after Ambon. Two-third of the island's people live in Ternate town, the business and market center of the whole region. A visit to the market will give an idea of some of the area's products. Fort Oranje, built by the Dutch and currently being used by the Indonesian police and military is open to the public. Ternate Island
Ternate, an island off the west coast of Halmahera, is just 15 sq. km in size but it offers a treasure of sights and experiences. There is an active volcano named Gamalama, two lakes, an old Sultan's palace, a picturesque port and several good beaches.
HISTORY
Up until the Ducth completed the colonization of Maluku in the nineteenth century, the sultans of Ternate ruled an extensive empire that at the time stretched across the archipelago, from Sulawesi to Papua. The peak of its power came near the end of the sixteenth century, under Sultan Baabullah, when it had influence over most of the eastern part of Sulawesi, Ambon and Seram area, and Papua parts. It frequently engaged in fierce competition for control of its periphery with the nearby sultanate of Tidore. According to historian Leonard Andaya, Ternate's "dualistic" rivalry with Tidore is a dominant theme in the early history of the Maluku IslandsIn part as a result of its trade-dependent culture, Ternate was one of the earliest places in the region, which Islam spread, probably coming from Java in the late fifteenth century. Initially, the faith was restricted to Ternate's small ruling family, and spread only slowly to the rest of the population. The first Europeans who stay on Ternate were part of the Portuguese expedition of Francisco Serrao out of Melake, which was shipwrecked near Seram and rescued by local residents. Sultan Abu Lais of Ternate heard of their stranding, and, seeing a chance to ally himself with a powerful foreign nation he had heard about, he had brought them to Ternate in 1512. The Portuguese were permitted to build a fort on the island, but the relations were strained from the start. Portuguese inhabitants of the fort and felt free to appropriate supplies from the Ternate population without payment, and responded violently when the local population objected. Portugal was finally expelled in 1575 amid Ternate anger with zealous Christian missionaries, and Portuguese meddling with the Ternate throne. At the time, European power in the region was very weak; after the expulsion of the Portuguese, Ternate was able to substantially increase its military reach across the region for a time.
Spanish forces to capture the former Portuguese fort in 1606 deported the Ternate Sultan and his entourage to Manila. In 1607 the Dutch came back in Ternate with Ternateans help built a fort in Malayo. The island was divided between two powers: the Spaniards were allied with Tidore and the Dutch with their Ternaten allies. For the Ternaten rulers, the Dutch were a useful, if not particularly welcome, presence that gave them military advantages against Tidore and the Spanish. Particularly under Sultan Hamzah (r. 1627-1648), Ternate expanded its territory and strengthened its control over the periphery. Dutch influence over the kingdom was limited, though Hamzah and his son and successor, Sultan Mandar Syah (r. 1648-1675) did concede some regions to the Dutch East India Company (VOC) in exchange for help the controlling rebellions there. The Spaniards remained in Ternate and Tidore until 1663. In the eighteenth century Ternate was the site of a VOC governorship, which attempted to control all trade in the northern Moluccas.
By the nineteenth century, the spice trade had declined substantially. Hence, the region was less central to the Netherlands colonial state, but the Dutch maintained a presence in the region in order to prevent another colonial power from occupying it. After the Dutch government in 1800 nationalized the VOC, Ternate became the part of Moluccas Government (Gouvernement der Molukken). British were forces to occupied Ternate in 1810 before being returned to Dutch control in 1817. In 1824 became the capital of a residency (administrative region) covering Halmahera, the entire west coast of New Guinea, and Sulawesi central east coast. By 1867 all of Dutch-occupied New Guinea had been added to the residency, but then its region was gradually transferred to Ambon (Amboina) before being dissolved into that residency in 1922.
Like the rest of Indonesia, Japanese forces occupied Ternate during World War II; the Navy governed eastern Indonesia. After Japan surrendered in August 1945 and Indonesia declared independence, Ternate was reoccupied in early November 1945 by Allied forces intending to return Indonesia to Dutch control. It became part of Maluku province when Indonesia became independent.
Tolire Besar Lake
Tolire Besar Lake is a spectacular crater lake in the north of the island. It is located in a deep crater, so the water seems just about impossible to reach, but is said to be home to crocodiles. The lake is surrounded by forest on the side towards the peak of Gamalama, and is a good area for bird watching. We can see a cockatoo here.
Mount Gamalama
On the south of Ternate City, the Portuguese built the unfinished Kayu Merah Fortress on 1510. The peak of Gamalama is 1271 meters high and can be reached by trail. It has three craters and its surrounding environment is very beautiful. Stones from Gamalama's eruption are scattered across the landscape.


TIDORE
Tidore Island is a bit larger than Ternate. Frequent boats leave Bastion to Rum, where there is a Sunday market. Tidore is dominated by Kiematubu volcano. A paved road goes around most of the island, but beyond the main tone of Soa Siu, the surface degenerates considerably. The best views of Ternate are from Tidore's north coast.
HISTORY
Tidore is an island in the eastern Indonesia of Maluku Island, just west of the larger island of Halmahera. In the pre-colonial era, Tidore was a major regional political and economic power, and a fierce rival of nearby Ternate, just to the north. The sultans of Tidore ruled most of southern Halmahera, and, at times, controlled Buru, Ambon and many of the islands off the coast of Papua. Tidore established a loose alliance with the Spanish in the sixteenth century, and Spain had several forts on the island. While there was much mutual distrust between the Tidorese and the Spaniards, for Tidore the Spanish presence was helpful in resisting incursions by their enemy Ternate, as well as the Dutch forces that had a base on that island.
As Spanish strength in the region diminished before their eventual withdrawal from the region in 1663, Tidore became one of the most independent kingdoms in the region, resisting direct control by Dutch East India Company (VOC). Particularly under Sultan Saifuddin (1657-1689), the Tidore court was skilled at using Dutch payment for spices for gifts to strengthen traditional ties with Tidore's traditional periphery. As a result he was widely respected by many local populations, and had little need to call on the Dutch for military help in governing the kingdom, as Ternate frequently did.
Tidore remained an independent kingdom, albeit with frequent Dutch interference, until the late eighteenth century. Like Ternate, Tidore allowed the Dutch spice eradication program (extirpative) to proceed in its territories. This program, indeed to strengthen the Dutch spice monopoly by limiting production to a few places, impoverished Tidore and weakened its control over its periphery.


HALMAHERA ISLAND
This island lies to the east of Ternate, separated only by a narrow strait. It is a mountainous island, still largely covered with forests. The coastlines are white sand and coral reefs are found in its waters. Offering a beautiful spectacle, Mount Mamuya (930 m) spews burning lava from time to time, adding to the allure of this island.Pearl oyster breeding farms on Mangaliho Island can be reach by motorboat.
North Halmahera regency declared on 31 May 2003 with its capital is Tobelo. It also has new districts and villages. Nine districts were developed to 22 districts and 174 villages become 260 villages. There are 76 islands, 19 islands have no named. Almost, every island has its beautiful panorama. The small islands with its white sand beach, the beautiful sea garden with its various fishes, various flora and fauna and its culture, can also find the historical sites in World War II in this region.
The number of North Halmahera regency in 2003 is 169.440 of men, 75 % is farmer and fisherman. North Halmahera is one of agarics with its nature potency that contains of field sector, gardening, plantation fish, maritime, breeding, mining, small industry, and tourism.
Tagalaya Beach
White sand and Mangroves jungles that grew around it, and become its uniquely. There is sea garden that has sea live around the area, which has various seas live and still fresh. This area is suitable for the tourists who like to dive in the sea.
Dorume Beach
This beach is famous with its big wave. If the tourists like to have surfing, they can visit this beach on December. At that time, the wave in this Dorume beach can reach a certain height. The other scenery that can enjoy is its soft sand and seems brightness. It is because the Dorume beach has iron seeds.
Talaga Biru
The society around call it as Talaga Biru, located in Mamuya village, Galela districts. It has clear water and blue colored, so that it called as Talaga Biru. Based on the legend, was said that the fairy who come from the fairyland often take a bath in this pool. The other uniquely of this pool is the leaves that down in this pool are always go to the side of the pool, so that it looks clear and clean.
Dodola Island
Dodola Island is surrounded by the wide of white sand that connect Dodola Besar Island and Dodola Kecil Island. The nature panorama around and the clear water are suitable for swimming and diving. There are also other islands that can visit by the tourists. Dodola beach is about 5 miles from Daruba, the capital of South Morotai districts.
Kupakupa Beach
The other uniquely of this beach is the strategic location that seems in the middle of bay so, it has quite seawater. It is ideal beach for sky, canoeing, swimming and fishing. Banyan tree that grow along the beach is also the panorama to be enjoyed. On Sunday, this place is very crowded, visited by a lot of visitors.
Kumo Beach
Kumo beach is located in Kumo Islands. It is the near beach from Tobelo. Its seawater is very clear and suitable for having canoeing, surfing, and swimming. From this place, you can enjoy Tobelo city face. There are small islands like Rorangane Island, Tulang Island, and Bawole Island, not far from this place. They offer the beautiful and unique panorama
Jere Canon
Beside in Morotai, the historical objects in World War II also found in Kao and Galela area. Kao was the defense base of Japan army in Pacific area. The historical objects are 4 unique canon, 2 bunker, airlines, 3 ships (in Kusu village). There is 2 canon and airlines, in Pune village, Galela district.
Luari Beach
The beach with its white sandy and interesting nature panorama is located in Luari village, North Tobelo district. The location that across of Pacific Ocean is the interesting point of Luari beach. This place of ten used as swimming area by the tourists. The location is easy to reach by land transportion, 15 minutes from Tobelo.
Zumzum Island
The island with its high historical value is located just 3 miles in front of Daruba city. Zumzum is a small island with nature panorama, white sand beach. General Douglas Mc Arthur, the division leader of Asia Pacific group in World War II ever stayed in this island. The tourist still can see the cave; which ever become the center commando and the landing of amphibious
Tobotobo Sea Garden
It is located Toboto village, Loloda district archipelago. This location has beautiful sea garden so, it very suitable location for having snorkeling or diving. In Tobotobo also has thousands bats that hang on the mangroves trees and also white and blue pigeon's bath place.
Bobale Beach
Bobale beach is located in Bobale Island, Kao district. In around it, there is natural sea garden so; it usually visited by the visitor for having diving. This island also has completed bunker that the Japan's historical object in World War II. Bobale Island can reach with speedboat from Daru village about 20 minutes.
Talaga Duma
Duma Lake is the biggest lake in North Halmahera, located in Galela districts and can reach from land about 45 minutes from Tobelo. Duma Lake offers beautiful natural panorama. The water is clear and calm, so that it suitable for having swimming, fishing and canoeing. There is also Talaga Makete, Talaga Likonano ad Talaga Kapupu, not far from this location.
Mamuya Hot Spring
Mamuya is located in Galela district. It is hot spring that comes from Mount Mamuya. The water is very hot and it's suitable for soak. The societies around believe that Mamuya hot spring can injure many kinds skin diseases. This place is about 15 km from Tobelo city.
Kapaseti
The war cap is called 'Kapasti' by society around, is a gift from Sultan Ternate to King Momole. Beside the war cap, there are also the other equipments such as; sword, bottles fill of oil and wood root that band by red stuff and shell that usually used to war. These tools can meet in Soakonora village, Galela Barat district.
Somola Bay
In Somola Bay, the tourists can found small islands that has mangroves tree on the stones and blue seawater. In this area the tourists can canoeing and enjoy the beautiful of Somola. At certain time, many fish will enter this bay and stay at this bay. This beautiful area can reach with the ship from Pune beach, Galela district.
Padi Wangoira
One of the unique point that can fid in Wangongira village, West Tobelo is the rice plant that grew in fast river. The river named Molulu means slip. Based to the legend, when a grandma was back from her garden, she brought rice plant then, the grandma was split away. The rice plant then grew in that place till now
Morotai Island
Morotai Island was the site of a major battle during World War II. The landing strips built by the Allied forces in Morotai could handle today's jumbo jet, but serve only small Twin Otters. Although much of the relics from the war were carted off to the maws if the Krakatau steel mill, in Java, there are steill remnants of war machinery. Morotai Island, lying to the north of Halmahera, was an important air-base during world War II, first for the Allies and later for the Japanese until its recapture near the end of the war. The ghosts of war still linger in this area, where many wrecks of aircraft and rusting guns lie abandoned in the bushes. The coral reefs here are not easily forgotten. Wayabula, Berebere, Busus-busu, Sangowo and Daruba are villages on the beach.
(Courtesy By Indonesia-Tourism)

West Irian Jaya

Irian Jaya is a tropical island with primeval rain forests, powerful rivers, beautiful beaches, lakes, and mountains. The highest mountain is Mount Jayawijaya, with snowcaps covering its 5,000-meter-high peaks. The area is also rich in natural resources, including fish, timber, and precious metals. These, however ever, have become a source of conflict between the central government and local peoples.
West Irian Jaya is a hot, humid island rising from the sea with some of the most impenetrable jungles in the world and yet also has snowcaps covering 5,000meter - High Mountain peaks, towering over glacier lakes. West Irian Jaya is Indonesia's largest and easternmost province and covers the western half of the world's second largest island. It is a land of exceptional natural grandeur, with beautiful scenic beaches, immense stretches of marshlands, cool grassy meadows and powerful rivers carving gorges and tunnels through dark and dense primeval forests. The most heavily populated and cultivated parts of the island are the Paniai Lakes district and the Baliem Valley to the east.
The people of the island can be divided into more than 250 subgroup, which are closely related to the islands along the southern rim of the Pacific and include among others, the Marindanim, Yah'ray, Asmat, Mandobo, Dani and Afyat. Those in the central highlands still maintain their customs and traditions and because of the terrain have virtually been untouched by outside influences. Communications hove always been difficult here and different tribes have lived, for the most part, in isolation even of each other, resulting in an incredibly diverse mixture of cultures.
The Asmat
Asmat people who live along the remote southeast coast around Agats are famed for their artistic "primitive" woodcarving. Modern civilization did not reach this area until recently. Agats has an interesting museum filled with woodcarvings and other objects. The area however is still largely untamed wilderness. Asmat crash received a boost in late 1960s under a United Nations supported project to encourage local craftsmen to keep alive their art.
The Asmat homeland comprises the rugged and isolated southern coast of Irian Jaya. It is an area of approximately 10,000 square miles and comprises mainly swamps and mangroves. Ancestor figures were traditionally made only for the festival honoring Fumer-ipits. They wear a unique costume. Tourists demand, however, is as resulted to change to this custom. Previously, after the festival, the figure is discarded into the forests near a sago tree because it was believed that as the wood of the carving is deteriorated, the power of the ancestor was transferred to the sago palm. Other ancestor carvings are designed as elements in larger carvings, such as canoe prows, paddles or ancestor poles.
The Asmat believe that all things have a spirit whether humans, animals, plants and even special locations such as a whirlpool or the bottom of a river. They also believe that the world is divided between that which can be seen and that which is unseen which is the realm of the spirits. It is considered important to maintain a proper balance between the seen and the unseen. In this respect, birth and death balanced the population between the seen and unseen realms and one cannot take place without the other. This would manifest itself in disease, hunger, death and misfortune that will be caused by the unsettled spirits.
Raja Ampat Island
The Raja Ampat Island in Irian is group spreads out over a huge area and consists of over 610 islands. The four largest islands are Waigeo, Batanta, Salawati and Misool. The area's reefs are covered in a diverse selection of both hard and soft corals. Most of the areas reefs are pristine, with mile after mile of perfect hard corals, drift after drift of soft corals of many species and colors ranging from brilliant red, to shocking yellow pretty pink and exotic purple. Most reef dives are very colorful. The tourist would be able to experience the best dives sites within those islands, which include Cape Kri, Mellisa's Garden, Sardines Reef, The Passage, Nudibranch Rock, Wai Island Night Dive.
Raja Ampat is the western island of Papua Island. The name of Raja Ampat based on the legend. This area had begun with 6 eggs that found by King Waikew in Waigeo Island. But from the 6 eggs, just 5 eggs had crack. The last was become an egg stone till now on.
From the fifth eggs that had cracked, the 4 eggs was become men who become King of four big islands that is Waigeo, Batanta, Salawati and Misool. While the one egg became a woman, had wash away and stranded in Biak Island. That woman was born a child named Gura Besi that known as the historical man of Raja Ampat, because of his heroic story.
The regency that formed based on the constitution number 26 in 2002 is the development of Sorong regency on 12 April 2003. This area has 46.000 km2. But, 85% of this area is archipelago area. There are 610 islands in this area. But most of them have no social life. This regency has 10 districts and 85 villages with about 48.707 men. Geographically, this area has strategic location. Their boundary is:
North side: Pacific Ocean
West Side: North Maluku
South side: Maluku
SeaEast Side: Sorong Regency
For the fauna sector, Raja Ampat has rarely fauna, such as; red birds of paradise (Paradise Rubra), Wilson birds of paradise (Cicinnurs Republica), Maleo Waigeo (Spilocuscus Papuensis), and rainbow fishes. Hence, for the flora, Raja Ampat has many kinds of Orchids, Waigeo palm, ironwoods or black woods, 'keruing', 'ulin' woods, etc.
Because of its various nature profit, Raja Ampat will declared by Maritime Ministry Freddy Numberi as ancient regency, based on its location that not only rich of fishes, but also its sea herb and the pearl.
Kasuarina Cape
Named of the big casuarinas trees, which grow in that area. Casuarinas Cape is just two kilometers from Sorong town on the Bird's Head peninsula of northern Irian Jaya. Good for swimming and recreation. (Cortesy by Indonesia-Tourism))

Monday, March 16, 2009

Segenggam Harapan di Bukit Kasih

UDARA siang itu terasa sangat sejuk apalagi saat melalui jalan aspal berkelok-kelok di perbukitan. Sekitar 50 kilometer telah ditempuh dari kota Manado melewati Tomohon menuju jalan di perbukitan ini. Tujuannya satu, mencapai patung salib putih yang berada di perbukitan hijau bila dilihat dari kawasan pantai Bouevard, Manado.Ternyata patung salib putih ini berada di puncak pertama obyek wisata Bukit Kasih yang berada di Desa Kanonang, Kecamatan Kawangkoan, Minahasa. Setelah tiba di areal Bukit Kasih, kabut tipis masih melingkupi daerah perbukitan di lereng Gunung Soputan tersebut.Terdapat monumen Kehidupan Bersama di halaman bawah di mana di bagian bawahnya memuat cuplikan isi kitab suci lima agama di Indonesia. Kontur tanah yang berbukit-bukit dengan vegetasi hijau khas dataran tropis menjadikan cuaca di tempat ini sejuk sepanjang hari.Berkeliling kawasan ini, pengunjung dapat menaiki anak tangga yang berada di sisi kanan maupun kiri monumen itu. Anak tangga di sebelah kiri bentuknya lebih landai dan lebih dekat menuju puncak pertama berupa salib putih setinggi kurang lebih 53 meter.Sementara itu, anak tangga sebelah kanan lebih menanjak dengan jarak antar anak tangga sangat tinggi. Ujung anak tangga ini pada puncak kedua di mana terdapat lima rumah ibadah agama di Sulawesi Utara yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Tetapi bila mau melanjutkan ke puncak pertama, ada pula jalan memutar menuju ke sana.Keberadaan lima rumah ibadah agama tersebut menjadi penanda dan alasan tempat ini diberi nama Bukit Kasih. Kelima agama dengan rumah ibadah masing-masing berdampingan dengan rukun, bersahabat dan penuh kasih. Inilah semangat yang dibawa saat pembangunan obyek wisata pada 2002 tersebut.Keistimewaan lain bukit ini, dulunya terdapat waruga atau makam batu leluhur suku Minahasa yakni Toar dan Lumimuut. Saat ini untuk menandai hal itu, dibuatlah patung bergambar wajah kedua tokoh itu di lereng Bukit Kasih, tepatnya di bawah patung salib putih.Selain itu, di kawasan ini juga terdapat kawah dengan mata air belerang di tengah-tengah bukit. Penduduk sekitar menggunakan mata air hangat ini sebagai sarana mata pencaharian yakni untuk merebus umbi-umbian, jagung manis, kacang-kacangan, dsb. Wisatawan dapat menikmati sajian hangat yang dijual di sekitar areal itu dengan harga yang cukup murah. Hidangan khas pedesaan itu bisa juga sebagai bekal untuk menaiki sekitar 2.453 anak tangga yang ada di kawasan itu. Bila tiba di puncak, bekal tersebut dapat dinikmati, apalagi udara di tempat itu tergolong dingin. Setelah berkeliling seluruh area, kaki terasa pegal, tak ada salahnya mencoba mandi air hangat di dekat mata air belerang. Dengan merogoh kocek Rp 5 ribu, khasiat air hangat yang mengandung belerang ini bisa dirasakan. Seperti melancarkan peredaran darah, menyembuhkan kram, penyakit kulit, dsb.Semua keindahan di bukit yang menjadi simbol kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara ini mulai memudar. Pasalnya, saat kunjungan ke sana minggu lalu, tiba di puncak kedua, keadaan lima rumah ibadah sangat memprihatinkan. Atap bangunan yang terbuat dari seng dan genteng sudah berserakan dan ada yang tak ada gentengnya sama sekali.Saat ditanyakan ke pengelola kawasan wisata tersebut, mereka menjawab sudah ada dana dari pemerintah daerah tetapi hingga kini belum juga cair. Menurut pengelola tempat yang enggan disebut namanya, selama ini ia hanya berharap ada perhatian dari pemerintah terhadap kondisi obyek wisata ini.Yah, semoga harapan dapat segera digenggam dan tak hanya menjadi sekadar cerita. (Courtesy Kompas/Antara)

Mitos Enteng Jodoh di Jembatan Akar Painan

MASYARAKAT di sekitar Jembatan Akar Painan meyakini barangsiapa yang penuh dengan keyakinan mandi di Sungai Batang Bayang dengan posisi tepat di bawah jembatan akan mudah mendapatkan jodoh. Benarkah?

“Banyak yang sudah membuktikan,” ujar Eri M, salah satu pengunjung yang datang ke jembatan yang berumur ratusan tahun ini.

Jembatan Akar Painan menjadi keunikan tersendiri bagi pesona alam Sumatera Barat. Jembatan sepanjang 10 meter dan lebar 1 meter ini terbuat dari pertautan akar dua pohon beringin yang berada di dua sisi tebing yang saling berhadapan.

Jembatan ini menghubungkan Dusun Pulut-Pulut dan Lubuk Silau di Koto Bayang di Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) yang terpisah oleh Sungai Batang Bayang yang permukaannya terletak sekitar 5-6 meter dari dasar jembatan. Air sungai ini berasal dari air Danau Si Kembar yang berada di kawasan Kabupaten Solok. Di tepi sungai terdapat bebatuan besar yang cocok untuk bersantai.

Menurut cerita masyarakat setempat, awalnya kedua dusun itu hanya dihubungkan dengan jembatan gantung dari bambu. Konon tokoh adat di kawasan itu yang bernama Pakih Sokan menanam dua pohon beringin di kedua tebing yang saling berhadapan. Pakih Sokan bernazar akan menggelar ritual siram darah kambing jika akar-akar kedua pohon beringin itu menyambung.

Setelah waktu berselang, entah bagaimana, akar kedua pohon beringin itu pun saling bertaut dan Pakih Sokan pun sangat bersuka cita. Lantas, Pakih Sokan menepati janjinya dan menggelar ritual potong kambing serta menyiram pertautan akar itu dengan darah kambing setiap tahunnya.

“Supaya tak angker juga, kata beliau,” ujar Ibu Darwanis sambil menyeduh kopi dan teh yang dipesan oleh pengunjung lain.

Namun, hubungan antara sejarah jembatan ini dengan mitos enteng jodoh tak terlalu jelas. Ibu Darwanis menduga, mitos tersebut timbul karena ketakjuban masyarakat terhadap pertautan akar dua pohon beringin yang terletak berseberangan bahkan menjadi sangat kokoh hingga bisa dilalui.

Ibu Darwanis sudah puluhan tahun berjualan makanan dan minuman ringan di kawasan wisata ini, tepatnya di sisi Dusun Lubuk Silau. Warung Ibu Darwanis bahkan terletak di atas bebatuan besar di tepi Sungai Batang Bayang. Sambil bersantai di warung Ibu Darwanis, pengunjung juga dapat menikmati keceriaan anak-anak kampung setempat yang sedang mandi di sungai atau berlompatan ke dalam sungai dari sisi tebing.

Menurut Ibu Darwanis pula, kawasan ini ramai dengan pengunjung pada high season. Selain ramai dengan pengunjung, kios-kios di sisi jembatan juga penuh dengan para penjual yang menjajakan berbagai cendera mata.

Kawasan yang telah ditetapkan menjadi obyek wisata ini terletak 65-70 km ke arah selatan Kota Padang tau 15 km dari Painan, ibukota Kabupaten Pessel. Perjalanan akan melewati Teluk Bayur, pelabuhan legendaris di Sumatera Barat. Dari Simpang Bayang, perjalanan diteruskan sekitar 1 km lagi untuk mendapati lokasi jembatan akar. Selain menggunakan kendaraan pribadi, lokasi ini dapat ditempuh pula dengan menggunakan angkutan. (Courtesy Kompas/Antara)

Proses dari dan menuju obyek wisata ini meninggalkan kesan yang tak mengecewakan pula. Di kiri dan kanan jalan terhampar sawah penduduk yang hijau dan terusan Sungai Batang Bayang dengan nyiur melambai di sepanjang tepinya.

Mari Sejenak Jadi Koboi

Ingin sesuatu yang berbeda di akhir pekan ini? Berkelana layaknya koboi mungkin bisa jadi pilihan. Bayangkan saja, duduk di pelana dan membiarkan seekor kuda gagah berderap membawa tuannya berkeliling di perbukitan hingga menyelinap di antara hamparan kebun teh. Hmmm, sungguh menggoda!
Tidak perlu repot ke Amerika Serikat atau ke Sumbawa di
Indonesia timur hanya untuk berkuda. Tinggal pilih saja lokasi berkuda di sekitar Jakarta dan Bogor. Di kawasan Bintaro, Tangerang (dekat bundaran Bank Permata); di Pulomas, Jakarta Timur; atau di Jakarta Perkumpulan Equstarian Center (JPEC) yang berada di kawasan Sentul City, Babakan Madang, Bogor. Bisa juga langsung ke Agrowisata Gunung Mas, Puncak, Bogor.
Jika merasa tidak memiliki kemampuan berkuda, selalu ada pengendali kuda yang akan menemani para penunggang amatir. Kalau diperlukan, pelatih profesional pun turun tangan.
Di JPEC yang berada di kawasan Sentul City, peminat berkuda dapat menyewa kuda untuk berkeliling di lintasan wisata berkuda di kawasan Sentul City atau berkeliling di kawasan JPEC. Sewa kudanya Rp 100.000 per 30 menit, belum termasuk biaya pelatih atau pendamping.
Ada puluhan kuda dapat disewa di sini. Kuda-kuda tunggangan yang ada di klub ini atau di klub-klub lain di Jakarta dan sekitarnya rata-rata didatangkan dari Eropa, Arab, Australia, Amerika, hingga beberapa daerah penghasil kuda terbaik di
Indonesia, seperti Sumbawa. Harga seekor kuda dari jutaan rupiah hingga Rp 2 miliar lebih.
”Biasanya setelah mencoba kuda poni (kuda sewaan wisata), mereka jadi tertarik untuk belajar berkuda. Di sini memungkinkan untuk itu karena JPEC memang sekolah berkuda dan tersedia juga kuda sewaan untuk pelatihannya. Jadi, untuk berkuda memang tidak harus punya kuda lebih dahulu,” kata Adi Katompo, kepala instruktur berkuda di JPEC.
Bagi mereka yang tertarik berlatih secara rutin dan ingin memiliki kuda tunggangan sendiri, JPEC menyediakan fasilitas penyewaan istal dan perawatan kuda. Tentu saja akan ada beban biaya tertentu per bulan bagi si pemilik kuda.
Namun, kalau ingin sekadar bersantai, berkuda di Gunung Mas bisa jadi pilihan sempurna. Di sini, wisatawan bisa memilih paket keliling lapangan kecil, rute 30 menit menembus perkebunan teh atau rute yang lebih panjang antara satu dan dua jam. Jika memilih rute panjang, wisatawan akan diajak menembus kebun teh, perbukitan di sekitar puncak, hingga ke Taman Safari. Harga sewa Rp 15.000-Rp 150.000 per orang untuk satu kuda.
Harus berani
Pehobi berkuda dipastikan tidak akan pernah merasa ketinggalan zaman karena olahraga ini sudah ada sejak berabad lalu dan terus diminati. Kuda memang bukan sekadar tunggangan dan pembantu petani di samping kerbau. Akan tetapi, kuda juga merupakan simbol status sosial seseorang.
Satu hal penting sebelum memutuskan berkuda adalah dengan meyakinkan diri sendiri bahwa kita berani. Pesan ini secara khusus selalu dikatakan oleh para pemilik kuda di kawasan wisata Gunung Mas, Kompleks Agrowisata Gunung Mas.
”Seperti orang, kuda kadang usil. Caranya, dia berontak untuk menguji nyali penunggangnya. Kita yang menunggangnya harus tenang. Tidak usah takut, karena kami, para tukang kuda yang menuntun, pasti selalu siaga,” kata Suwito dan Rustam, pemilik sekaligus pemandu wisata berkuda di Gunung Mas.
Sebelum berkuda sebaiknya melengkapi diri dengan helm, kaus tangan, kemeja terbuat dari katun yang bisa menyerap keringat, jaket, celana panjang dari bahan katun, dan sepatu bot. Selama berkuda harus memerhatikan keseimbangan badan dan jangan pernah merasa takut. Selain itu, perhatikan petunjuk yang diberikan oleh pendamping berkuda. Selamat mencoba! (Courtesy Kompas/Antara)

Ngarai Sianok yang Terhidang "Lezat"

Hidangan di jagat raya, kunyahlah dengan perasaan ingin tahu. Karena di baliknya terhampar perasaan yang tidak akan kau temui di meja belajar….. (The Journey, Gola Gong, 2008) Sebuah pengantar yang disampaikan Gola Gong dalam bukunya The Journey yang diterbitkan tahun lalu terngiang ketika menatap keindahan Ngarai Sianok di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Bagaimana mungkin ya Allah? Bagaimana mungkin bisa seindah ini?Ngarai Sianok adalah dua dinding bukit yang berdiri berhadapan hampir tegak lurus. Tingginya sekitar 100-120 meter dan panjang sekitar 15 km. Dindingnya membentuk semacam jurang dimana terdapat sawah yang membentang luas dan kelokan sungai di dasarnya. Di bagian atas ngarai ditumbuhi pepohonan dan rerumputan. Ngarai ini membagi lokasi menjadi dua bagian, kawasan Bukit Tinggi dan Gunung Singgalang. Jika dinikmati dari Taman Panorama yang sengaja dibangun oleh pemerintah daerah di bagian kawasan Bukit Tinggi, keindahan Ngarai Sianok tampak mencengangkan. Cadas yang sangat tangguh, tidak kunjung berubah meski panas dan hujan silih berganti.Memang di sinilah letak keistimewaan Ngarai Sianok. Apalagi pada saat matahari terbit dan hampir tenggelam. Berbagai wisatawan mancanegara bahkan mengaku tak merasa lengkap jika tidak mengunjungi Ngarai Sianok dalam jadwal perjalanan wisata mereka ke Indonesia. Selain dari Taman Panorama, keindahan Ngarai Sianok juga dapat dinikmati dengan turun langsung ke dasar jurangnya yang merupakan area pemukiman dan persawahan penduduk. Jika ingin menikmati keindahan ngarai dari Taman Panorama, pengunjung cukup membayar retribusi sebesar Rp 3.000 per orang. Di Taman Panorama, pengunjung juga dapat menikmati lokasi wisata Lobang Jepang yang berlokasi di bawah tanah kawasan Ngarai Sianok. Hanya saja perlu membayar biaya pemandu lagi sekitar Rp 20.000. Lokasi Taman Panorama Ngarai Sianok sendiri terletak di dalam kota Bukit Tinggi. Jaraknya kurang dari 1 km dari pusat kota Bukit Tinggi, yaitu kawasan Jam Gadang dan Pasar Atas. Pengunjung dapat menjangkaunya baik dengan kendaraan pribadi maupun dengan berjalan kaki sambil menikmati sejuknya udara Bukit Tinggi. Di dalam kawasan Taman Panorama, disediakan pondok-pondok bagi pengunjung untuk bersantai dan menikmati pemandangan ngarai sambil sesekali melihat kelincahan monyet-monyet ngarai yang hidup bebas di kawasan taman. Jika memiliki makanan, berbagilah sedikit kepada mereka. Tapi namanya binatang, pasti mereka akan menunggu untuk diberi makanan lagi.Di dalam kawasan taman juga terdapat sebuah panggung teater mini yang sesekali digunakan untuk pertunjukan budaya pada waktu-waktu tertentu. Jika berdiri di atas panggung batu tersebut, luas sapu mata menjadi lebih lebar dan keindahan tebing yang berderet makin membuat berdecak kagum. Keindahan ini yang memang pantang dilewatkan oleh banyak fotografer dan pelukis lokal maupun mancanegara untuk diabadikan. Begitu pula yang dipahami oleh masyarakat sekitar ngarai. Mereka menjual berbagai cendera mata yang menolong para pengunjung untuk terus mengenang keindahan ngarai dan bersyukur atasnya jika sudah pulang ke daerah asalnya. Di sebelah utara taman, terdapat kios-kios cendera mata yang menawarkan kaus, tas, rajutan, kerajinan tangan rotan hingga lukisan yang merekam kedahsyatan Ngarai Sianok. Kaus dan baju dengan motif khusus dijual dengan kisaran harga Rp 30.000-75.000. Sementara itu, lukisan di atas kanvas dengan berbagai ukuran dijual dengan harga Rp 5.000 hingga ratusan ribu rupiah.Berjalan hingga ujung utara taman, terdapat sebuah menara setinggi 20 meter. Decak kagum di atas panggung teater mini bertambah derajatnya ketika menapaki tangga menara dan mendapati bahwa fakta alam yang sedang terhampar bukanlah buatan manusia. (Courtesy Kompas/Antara)

Menanti Fajar di Papandayan

JARUM jam menunjukkan pukul 01.00 ketika rombongan Garut Fam Trip yang terdiri dari perwakilan biro perjalanan wisata dari Bandung dan Jakarta dan sejumlah wartawan dibangunkan oleh panitia. Berat rasanya membuka mata dan memaksakan kaki untuk melangkah ketika orang lain sedang nikmat-niktmatnya tidur.
Garut Fam Trip adalah sebuah kegiatan tur keliling yang diprakarsai oleh beberapa pengelola hotel dan restoran di Garut beberapa waktu lalu. Tujuannya adalah mengenalkan lebih dekat obyek-obyek wisata yang potensial di daerah kaya panas bumi itu sehingga agen perjalan wisata bisa mempromosikannya kepada wisatawan asing.
Satu kegiatan yang paling dinanti oleh semua peserta adalah menanti terbitnya sang fajar di puncak Gunung Papandayan. Untuk itu, kami harus berjuang melawan kantuk untuk bangun dan bergegas berangkat menuju gunung yang berada di Kecamatan Cisurupan itu.
Ya, menanti matahari terbit dari puncak Gunung Papandayan. Motivasi itulah yang menjadi pendorong para peserta Garut Fam Trip tetap berangkat. Ada sekitar lima kendaraan termasuk dua bus yang mengangkut para peserta.
Menurut Ketua Panitia Garut Fam Trip Goya A Mahmud, seperti halnya di Gunung Bromo, menanti matahari terbit di Gunung Papandayan juga potensial untuk dikemas dalam paket perjalan wisata. Diharapkan, ini menjadi ikon baru wisata Garut.
Perjalanan menuju Papandayan dini hari itu berjalan lancar karena memang pada jam segitu jalan raya sangat sepi. Pukul 02.30 rombongan tiba di tempat parkir obyek wisata Gunung Papandayan. Begitu keluar dari mobil hawa dingin menusuk tulang pun langsung terasa. Para peserta harus mengenakan jaket, sarung tangan, penutup kepala, dan sepatu untuk mengurangi rasa dingin.
Setelah berdoa bersama kami pun melangkahkan kaki menuju lokasi yang dituju. Berbekal lampu senter kami berjalan beriringan satu-satu. Dari kejauhan, peserta rombongan yang membawa lampu senter bagaikan kunang-kunang yang berjalan beriringan di gelapnya malam.
Di 10 menit pertama perjalanan belum berat. Semakin tinggi kita mendaki semakin berat kaki untuk melangkah. Jantung berdetak kencang dan keringat mulai bercucuran. Beberapa di antara kami harus berh enti sejenak mengumpulkan tenaga untuk melan jutkan perjalan.
Di ketinggian tertentu rombongan melewati kawah yang mengepulkan asap dan mengeluarkan suara mendesis. Bau belerang pun menyengat hidung.
Tidak terasa 45 menit telah berlalu ketika kami sampai di lokasi yang dituju. Lega rasanya rasa letih ini harus berakhir, setidaknya untuk beberapa saat. Sebabnya, kami masih harus mengeluarkan tenaga dalam perjalan pulang menuruni gunung.
Dua buah meja yang di atasnya ada dua termos air panas, gelas, kopi, susu, teh, dan gula sudah men anti kami di puncak Papandayan. Semua peserta membuat minumannya sendiri sesuai selera untuk menghangatkan badan.
Terlalu cepat kami sampai di puncak sehingga masih banyak waktu sampai matahari terbit. Sambil menunggu waktu sunrise yang pas peserta b erlindung di balik perdu untuk menghindari hembusan angin yang sangat dingin. Ada juga yang membuat api unggun. Sementara panitia sibuk memasak makanan untuk sarapan.
Semburat sinar matahari mulai terlihat. Semua peserta tur pun langsung berkumpul menghadap ke timur menanti sang surya terbit. Di kejauhan terlihat Gunung Cikuray.
Sayangnya, saat itu cuaca tidak bersahabat sehingga keindahan sinar matahari di pagi hari tidak terlihat sempurna. Bentuk matahari yang bulat yang kami nanti-nanti pun tidak nampak. Sang surya tetap tertutup awan. Hanya cahayanya saja yang perlahan menyinari bumi.
Peserta sedikit kecewa. Untuk mengobati kekecewaan kami pun berfoto bersama memanfaatkan latar keindahan Gunung Cikuray yang menyembul dari balik kabut di pagi hari.
Puas berfoto, nasi goreng sudah menanti. Kami pun sarapan nasi goreng yang cepat sekali dingin karena udara. Usai sarapan, rombongan peserta bergegas menuruni gunung menuju kendaraan. Kami pun mluncur pulang.
Ternyata sensasi wisata yang disajikan panitia kepada peserta tidak cukup sampai di situ. Ada kegiatan lain yang tak kalah menantang dari menanti fajar di puncak gunung. Di tengah perjalanan pulang tepatnya di Kecamatan Bayongbong kendaraan berhenti. Semua peserta berganti pakaian dan meninggalkan semua barang berharga di kendaraan.
Peserta pun kemudian menuju Sungai Cimanuk. Perahu karet sudah menanti di sana. Saatnya peserta mengarungi jeram Sungai Cimanuk sepanjang lebih kurang 8 kilometer menuju pusat kota Garut. Pengarungan ini membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam.
Tidak ada ruginya mencoba tur seperti itu. Menanti fajar terbit di puncak gunung, pulang sambil mengarungi jeram, dan diakhiri berendam air hangat di Cipanas Garut. Makanya, ayo berwisata ke Garut....(Courtesy Kompas/Antara)

Menyisir Pulau di Ujung Utara

Apakah Anda masih ingat dengan film The Lost World yang sempat populer beberapa waktu yang lalu? Film yang dibintangi aktor Sean Connery ini bercerita tentang sisi dunia yang hilang dan tidak terjamah dengan sejumlah potensi alamnya yang indah. Pulau Natuna mengingatkan kita akan film tersebut. Bila Anda memiliki jiwa petualang, pasti akan tertantang dan terpuaskan untuk menjelajahi pulau ini.Kepulauan Natuna merupakan bagian paling ujung utara Indonesia. Pulau Bunguran, Jemaja, dan Serasan merupakan tiga pulau terbesar di gugusan kepulauan ini. Kepulauan Natuna merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, dengan ibu kota Ranai di Pulau Bunguran, sebagai ibu kota kabupaten. Natuna dikelilingi laut dalam. Di ujung utara berbatasan langsung dengan perairan Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Singapura. Di perairan sekitar Natuna terdapat karang tak terduga yang tersebar di laut lepas. Tidak heran bila dulu banyak warga Vietnam dan Singapura yang terdampar di pulau Natuna ini.Dengan posisi dikelilingi laut luas, Natuna menjadi terpencil, serta minim fasilitas sosial dan fasilitas umum. Lautan luas seharusnya membuat Natuna menjadi penghasil laut utama. Namun, letak Natuna terlalu jauh sehingga membuat nelayan tidak mampu memasarkan ikan tangkapannya. Sementara itu, fasilitas ruang pendingin untuk mengawetkan ikan juga minim. Kekayaan laut Natuna diperkirakan dapat menghasilkan lebih dari satu juta ton ikan per tahun. Namun, saat ini baru tiga puluh enam persen saja yang termanfaatkan.Minimnya pemanfaatan potensi laut juga karena pengaruh musim yang hanya ramah selama enam bulan saja. Selebihnya, saat angin utara datang, laut di sekitar Natuna menjadi ganas dan para nelayan memilih berkebun sebagai lahan menyambung hidup.Gugusan Kepulauan Natuna juga memiliki pemandangan yang indah, dengan panorama pantai yang masih terjaga keasriannya. Natuna demikian elok dan memiliki banyak potensi.Pengunjung dapat menemukan wisata pantai, seperti Pantai Tanjung, Pantai Sebagul, Pantai Teluk Selahang, Pantai Setengar, dan sebagainya. Sejumlah lokasi bahkan menjadi tempat favorit bagi penggemar snorkling, pengamat habitat penyu, dan pecinta wisata bawah air.Pengunjung juga dapat mengunjungi Pulau Senoa dengan menggunakan pompong dan perjalanan ditempuh sekitar 30 menit. Bila dilihat dari fisiknya, bentuk Pulau Senoa menyerupai ibu hamil yang sedang berbaring di atas laut. Karena itu, Pulau ini kerap disebut dengan Pulau Ibu Hamil oleh penduduk setempat. Di Pulau Senoa, pengunjung akan menemukan penyu yang berkeliaran dengan bebas di pinggir pantai. Di Pulau ini juga terdapat sarang burung walet di sejumlah gua.Selain itu, di Natuna juga ada obyek wisata gua dan batu-batuan seperti gua Batu Sindu, Batu Kapal, Alive Stone Park, dan sebagainya. Natuna memiliki sejumlah batu-batu berukuran besar yang tersebar di seluruh pulau. Kini, oleh pemerintah setempat, batu-batu tersebut dilindungi dan dijadikan obyek wisata. Bentuk batu-batuan ini juga unik, seperti Batu Kapal berupa dua batu besar yang berjajar. Bentuknya menyerupai kapal besar yang terdampat di tepi pantai. Adapun Alive Stone Park berupa batu yang berdiri di atas serakan batu lainnya. Bentuknya menyerupai elips, dan mirip dengan batu yang ditemukan di Afrika.Di Natuna, pengunjung juga dapat menemui salah satu spesies kera langka yang biasa disebut dengan nama `kekah`. Kekah hanya hidup dan berkembang di Bunguran seperti di kawasan Gunung Sintu (Pian Tengah, Sepang, Seberang), gunung Ranai, dan Gunung Ceruk. Bentuk kekah sangat unik, tubuhnya diselimuti oleh bulu-bulu hitam tebal yang diselingi dengan warna putih pada bagian dada hingga kelihatan seperti mengenakan rompi putih dan pada bagian wajah. Mata kekah dikelilingi kulit berwarna putih dan abu-abu. Mereka terlihat seperti mengenakan kacamata.Seperti jenis-jenis kera lainnya, Kekah yang pemakan buah-buahan, dedaunan, dan umbi-umbian ini juga hidup berkelompok dan agak sulit didekati karena sifatnya yang sedikit pemalu dan takut. Namun, bila beruntung, Anda dapat menemukannya di jalan raya dalam perjalanan menuju pelabuhan Selat Lampa, Kecamatan Pulau Tiga, Natuna.Meski terpencil dan minim fasilitas, Natuna sebenarnya bukanlah kabupaten yang miskin. Di sekitar bagian utara Natuna, terpendam ladang gas d-alpha, dengan total cadangan 222 triliun cubic feet, dan gas hidrokarbon sebesar 46 triliun cubic feet. Hal ini menjadikan Natuna sebagai salah satu sumber cadangan gas terbesar di Asia.Untuk mencapai Natuna dapat menggunakan pesawat kecil dengan kapasitas sekitar 45 orang dari Bandara Hang Nadim, Batu Besar, Batam, Kepulauan Riau; atau dari Bandara Kijang, Tanjung Pinang. Perjalanan dengan pesawat memakan waktu selama kurang lebih 1 jam 30 menit.Atau dapat juga menggunakan jalur pelayaran dengan kapal Pelni dari Pelabuhan Kijang, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Kapal ini akan kembali lagi ke Natuna satu minggu kemudian. Perjalanan dengan kapal memakan waktu sekitar 12 jam.Untuk penggemar wisata kuliner, di Natuna bisa dicicipi makanan seafood, seperti sup kepala ikan yang bisa diperoleh di rumah makan di jalan H R Subrantas Ranai Darat, Natuna. Pengunjung juga bisa mendapatkan madu asli Natuna yang dijual di toko dan warung-warung di Ranai Natuna.Menjelajahi Natuna cukup menantang dan perjalanan panjang berganti transportasi menuju Natuna akhirnya akan terbayar dengan keindahan alamnya. (Courtesy Kompas/Antara)

Monday, March 9, 2009

Menyibak Misteri Lukisan Darah di Kokas

MENGUNJUNGI Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, laksana mengunjungi sebuah kota tua. Di wilayah distrik ini terdapat situs kuno yang menyimpan keajaiban dengan misteri di dalamnya. Tak hanya menarik, tapi juga mengundang orang untuk datang menjumput keelokannya.Salah satu situs kuno yang terkenal di Kokas adalah lukisan di tebing bebatuan terjal. Oleh masyarakat setempat, tebing bebatuan terjal ini biasa disebut Tapurarang. Di Distrik Kokas kekayaan peninggalan sejak zaman prasejarah ini bisa dijumpai di Andamata, Fior, Forir, Darembang, dan Goras.Lantas, apa keunikan lukisan berupa gambar telapak tangan manusia dan binatang di dinding tebing tersebut? Meski sudah berabad-abad lamanya, lukisan yang dibuat dengan pewarna dari bahan-bahan alami tersebut masih tetap terlihat jelas hingga saat ini. Warna merah pada lukisan tebing ini juga menyerupai warna darah manusia. Oleh karenanya masyarakat setempat juga sering menyebut lukisan tersebut sebagai lukisan cap tangan darah.Bagi masyarakat setempat, lokasi lukisan tebing ini merupakan tempat yang disakralkan. Mereka percaya lukisan ini adalah wujud orang-orang yang dikutuk oleh arwah seorang nenek yang berubah menjadi setan kaborbor atau hantu yang diyakini sebagai penguasa lautan paling menakutkan. Nenek ini meninggal saat terjadi musibah yang menenggelamkan perahu yang ia tumpangi.Dari seluruh penumpang di perahu itu, hanya nenek ini yang meninggal. Konon tak ada satu pun penumpang di atas perahu yang berusaha membantu sang nenek untuk menyelamatkan diri. Merasa sakit hati, arwah nenek yang telah berubah menjadi setan kaborbor mengutuk seluruh penumpang perahu yang berusaha menyelamatkan diri di atas tebing batu. Karena kutukan tersebut seluruh penumpang dan hasil-hasil laut yang dibawa seketika berubah menjadi lukisan tebing.Di lokasi lukisan tebing ini Anda juga bisa menyaksikan kerangka-kerangka tulang manusia. Kerangka ini dipercaya merupakan kerangka leluhur atau nenek moyang masyarakat Kokas. Pada zaman dahulu masyarakat di sini memiliki kebiasaan meletakkan jasad leluhur yang meninggal di tebing batu, gua, tanjung ataupun di bawah pohon besar yang dianggap sakral.Tertarik menelusuri jejak prasejarah di Kokas? Dari terminal Fakfak Anda harus menempuh perjalanan darat menuju Kokas menggunakan angkutan luar kota. Jarak Fakfak-Kokas sejauh 50 kilometer akan ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam. Anda cukup merogoh kocek sebesar Rp 25.000 per orang, sekali jalan. Tiba di Kokas, perjalanan masih harus dilanjutkan menggunakan longboat dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Jika air sedang pasang, Anda bisa naik ke tebing dan menyaksikan lukisan ini dari dekat. Namun, jika air surut, keindahan lukisan tebing ini hanya bisa dinikmati dari atas longboat. (Courtesy Kompas/Antara)