Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, November 24, 2008

Berendam Air Panas di Rejang Lebong

Suban Air Panas yang terletak di Kabupaten Rejang Lebong, merupakan salah satu situ budaya yang juga menjadi obyek wisata andalan di daerah itu. "Kami menjadikan Suban Air Panas sebagai obyek wisata, tapi karena statusnya sebagai situ budaya maka kegiatan wisata tidak boleh mengganggu kondisi kawasan itu," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, Edi Nevian di Bengkulu, Senin (10/11). Menurut dia, Suban Air Panas saat ini cukup ramai dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, termasuk dari Kabupaten Musirawas dan Kota Lubuklinggau (Sumsel). "Para wisatawan banyak berkunjung ke lokasi itu, karena selain bisa menikmati keindahan alam yang sejuk juga bisa ’memanjakan’ diri dengan berendam di air panas," ujarnya. Suban Air Panas merupakan kawasan pemandian alam yang bersumber dari mata air panas. Guna memberikan pelayanan bagi para wisatawan, pemerintah daerah telah membangun sarana penunjang di lokasi itu di antaranya kolam renang, tempat peristirahatan dan rekreasi keluarga. Di kawasan ini juga terdapat dua buah air terjun yang mengalir dari bukit dengan ketinggian masing-masing 75 meter dan 50 meter. Air terjun ini juga merupakan sumber air alam pegunungan yang sejuk dan jernih serta sehat untuk mandi. Tak jauh dari lokasi tersebut juga terdapat perkebunan stroberi milik masyarakat setempat dan obyek wisata Danau Mas Harun Bestari (DMHB) yang memberikan layanan wisata keliling danau menggunakan perahu dan motor boat. "Panorama alam yang indah dan elok di sepanjang perjalanan menuju lokasi membuat pengalaman tersendiri bagi liburan keluarga yang indah," kata Edi Nevian. Lokasi ini mudah dijangkau dan hanya 15 menit perjalanan atau enam kilometer dari kota Curup dan 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan roda empat atau sekitar 90 Km dari Bandara Fatmawati Kota Bengkulu. "Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke lokasi itu sangat mudah, karena ada kendaraan angkutan umum dari Kota Bengkulu, yang siap mengantar setiap saat," ujarnya. Menurut Edi, bagi wisatawan yang ingin membeli oleh-oleh khas Rejang Lebong juga banyak terdapat di sekitar kawasan itu, mulai dari sale, kacang dan marning (jagung goreng) serta jenis penganan lainnya. (Courtesy Kompas/Antara)

Lava Merapi Membawa Berkah

Sisa-sisa lava Gunung Merapi yang meletus pada tahun 2006 lalu ternyata membawa berkah. Wisatawan berbondong-bondong mengunjungi objek wisata alam Kaliadem dan Kalikuning di lereng Gunung Merapi. Kawasan itu dipromosikan sebagai objek wisata "Tour Lava Merapi". "Selepas bencana erupsi Gunung Merapi yang terjadi 2006 lalu, objek wisata alam Kaliadem dan Kalikuning semakin diminati wisatawan khususnya yang ingin melihat sisa lahar yang menerjang kawasan tersebut," kata Ketua Paguyuban Pondok Wisata Kaliadem-Kalikuning, Bejo Mulyo, Jumat (21/11). Menurut dia, masyarakat di wilayah Kaliadem dan Kalikuning kembali bergairah menekuni sektor pariwisata. Lava merapi kini membawa berkah. "Sejak dicanangkan sebagai objek wisata ’Lava Tour Merapi’ atau wisata erupsi Gunung Merapi, semakin banyak wisatawan yang datang untuk melihat secara langsung kondisi setelah erupsi yang ternyata tidak kalah menariknya dibandingkan kondisi semula," katanya. Ia mengatakan, wisatawan yang datang ke wilayah Kaliadem tidak hanya sekadar melihat pemandangan alam yang menakjubkan, tetapi banyak dari mereka yang melakukan kegiatan berkemah dan penelitian. "Karena semakin banyak wisatawan nusantara dan mancanegara yang berkunjung ke objek wisata Kaliadem dan Kalikuning, kami juga terus berbenah bersama para pengelola pondok wisata untuk meningkatkan kualitas pelayanan," katanya. Bejo mengatakan untuk semakin memperkenalkan kawasan wisata ini diharapkan pemerintah daerah meningkatkan promosi sehingga tidak tertinggal dari daerah wisata lainnya. "Meskipun wisatawan saat ini mulai ramai, namun kami tetap mengharap pemerintah daerah gencar melakukan promosi karena semakin banyak wisatawan yang datang akan semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar," katanya. Sementara itu, Kepala Seksi Pemasaran Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, Shavitri Nurmala Dewi mengharapkan masyarakat Kaliadem-Kalikuning dan sekitarnya tetap mempertahankan keaslian wilayahnya. "Objek wisata yang ada di Kaliadem dan Kalikuning ini memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri dibandingkan dengan objek wisata lainnya, sehingga harus dipertahankan sebagai daya tarik kunjungan wisatawan," katanya. Ia mengatakan, komunitas pariwisata Kaliadem dan Kalikuning diharapkan turut mengamati segmentasi dan karakteristik konsumen atau wisatawan. "Berdasarkan pengamatan tersebut akan dievaluasi arah pengembangan dan perencanaan pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan," katanya. (Courtesy Kompas/Antara)

Melongok Anak Krakatau

Awan putih menggantung di langit Selat Sunda yang terlihat biru bersih, Sabtu akhir pekan lalu. Samar-samar terlihat gunung berwarna kelabu yang berdiri kokoh di tengah laut, diapit tiga bukit hijau.
Para wisatawan berhamburan keluar dari dalam Kapal Motor Penumpang Jatra III dan memenuhi geladak kapal. ”Waw,” decak kagum para wisatawan saat melihat gugusan gunung di tengah laut yang semakin dekat. Dari pengeras suara kapal terdengar pemandu menunjukkan gunung berwarna abu-abu itu adalah Gunung Anak Krakatau.
Wisatawan pun berlomba untuk mengabadikan kemegahan gunung berapi di tengah laut. Sebagian berpose di tepi kapal dengan Gunung Anak Krakatau sebagai latar belakang. Semua seakan tak ingin tertinggal untuk menikmati pesona gugusan pulau di sisi barat Pulau Jawa, Provinsi Banten, itu.
Krakatoa, begitu orang Barat menyebut gugusan gunung yang membelah Selat Sunda. Ketenaran namanya membuat banyak orang penasaran, bahkan meraba-raba wujud Krakatau sebenarnya.
Sejumlah sineas Barat pun mencoba menggambarkan sosok Krakatau. Setidaknya ada tiga judul film yang dibuat untuk menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi pada gunung berapi itu.
Bahkan, seorang penulis kelahiran Skotlandia, Simon Winchester, mencoba merangkum dengan apik cerita dan fakta seputar Krakatau. Cerita yang dilengkapi fakta-fakta ilmiah disuguhkan dalam sebuah buku berjudul Krakatoa, The Day the World Exploded: August 27, 1883, yang diterjemahkan dalam buku berbahasa Indonesia dengan judul Krakatau, Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883.
Nama Krakatau menjadi terkenal setelah meletus pada 27 Agustus 1883. Letusan mahadahsyat yang menimbulkan bencana paling besar kala itu. Suara letusan Krakatau terdengar hingga radius 4.600 kilometer dari pusat ledakan di Selat Sunda.
Krakatau meletus diikuti dengan tsunami yang menyapu lebih dari 295 kampung di pesisir pantai barat Banten, dari Merak, Anyer, Labuan, Panimbang, Ujung Kulon, hingga Cimalaya di Karawang, Jawa Barat. Kawasan di selatan Sumatera pun tak luput dari gelombang tsunami akibat meletusnya Gunung Krakatau. Lebih dari 36.000 orang menjadi korban dalam bencana besar itu.
Sebelum meletus, Krakatau merupakan sebuah pulau besar yang terbentuk dari tiga gunung berapi, yakni Rakata, Perbuatan, dan Danan. Setelah meletus, Gunung Perbuatan dan Danan serta sebagian Rakata lenyap.
Letusan menyisakan tiga pulau yang diberi nama Pulau Sertung, Pulau Rakata atau Krakatau Besar, dan Pulau Panjang atau Krakatau Kecil. Rakata yang terletak paling selatan merupakan pulau dengan bukit tertinggi, yakni mencapai 813 meter di atas permukaan laut. Adapun tinggi Pulau Panjang di utara Rakata hanya 132 meter dan Pulau Sertung di barat laut Rakata memiliki ketinggian 182 meter di atas permukaan laut.
Sekitar 44 tahun kemudian, yakni pada Desember 1927, muncul semburan baru di tengah-tengah ketiga pulau pecahan Krakatau Purba. Gunung berapi baru itu pun kemudian diberi nama Gunung Anak Krakatau, yang kini memiliki ketinggian lebih kurang 315 meter di atas permukaan laut.
Eksotis
Setelah 125 tahun Krakatau Purba meletus, terdapat empat pulau yang tersisa untuk dinikmati di Kepulauan Krakatau itu. Pulau Rakata di sisi selatan, Sertung di sisi barat laut, Pulau Panjang di timur laut dengan Anak Krakatau berada di tengah-tengahnya.
Gugusan pulau yang menjulang di tengah laut itu terlihat eksotis. Awan putih seakan tak pernah lepas menggantung di atas Gunung Anak Krakatau.
Burung-burung camar yang beterbangan di atas gunung menambah keindahan yang dipancarkan dari tengah Selat Sunda. Burung-burung itu pun menandakan Anak Krakatau sudah aman untuk didekati.
Laut, yang seakan memeluk gunung, terlihat biru bersih. Hingga berbagai jenis ikan yang berenang di bawah laut pun tampak jelas dari atas kapal.
Ada banyak cara untuk menikmati eksotisme Krakatau. Salah satunya dengan cara berkeliling, melihat keindahannya dari atas kapal. Tanpa harus turun ke kaki gunung, wisatawan sudah bisa mengabadikan pesona Anak Krakatau dari atas kapal.
Tapi, jika ingin menikmati pemandangan yang lebih indah, cobalah turun di Pulau Rakata atau bahkan di kaki Gunung Anak Krakatau. Tentu saja harus tetap mengindahkan peringatan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana atau Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau. (Courtesy Kompas)

Monday, November 17, 2008

Australia Tetap Jadikan Bali Tujuan Berlibur

Pelancong Australia akan tetap menjadikan Bali sebagai tujuan utama belibur karena lokasinya dekat dan dinilai memiliki daya tarik tersendiri dibandingkan dengan destinasi di negara lainnya. "Apapun kendalanya, termasuk adanya ancaman terorisme, warga Australia akan tetap berharap bisa berlibur ke destinasi kita," kata koordinator gabungan asosiasi kepariwisataan Bali Tourism Board Ida Bagus Ngurah Wijaya di Denpasar, Senin (10/11). Ia menyebutkan, jumlah turis Australia yang berlibur ke Bali selama ini terus bertahan menempati peringkat kedua terbanyak setelah Jepang. "Bahkan, saat Pemerintah Australia mengeluarkan peringatan larangan berkunjung ke Indonesia, kunjungan pelancong negeri Kanguru itu ke Bali justru meningkat signifikan," kata Ngurah Wijaya. Dengan telah dieksekusinya terpidana mati kasus bom Bali I, Amrozi, Imam Samudra, dan Muklas, Minggu (9/11) dini hari, diharapkan akan semakin memacu peningkatan kunjungan turis Australia. Ngurah Wijaya beralasan warga Australia yang diistilahkan sebagai bangsa Eropa di Asia itu banyak mengetahui perkembangan Bali, termasuk masalah penjagaan keamanan yang dinilai cukup baik. Dengan kerja keras aparat kepolisian dibantu pihak lain yang mampu menjamin keamanan Pulau Dewata akan semakin meyakinkan warga Australia untuk berkunjung ke pulau ini. "Warga asal negeri Kanguru itu banyak yang tinggal di daerah kita. Mereka akan terus mengabari famili dan rekan-rekannya mengenai kondisi keamanan yang kondusif sehingga tertarik berkunjung," katanya. (Courtesy Kompas/Antara)

"Tu'u" Belis di Nusa Lontar

Selama beratus tahun, kematian dan pernikahan di Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, adalah pesta pora. Bukan pesta biasa, tetapi ritual minum dan makan daging berhari-hari. Puluhan hingga ratusan domba, babi, sapi, atau kuda dikorbankan.Bagi keluarga bangsawan, itulah waktunya ”mengerahkan” sumber daya untuk pesta bernilai ratusan juta rupiah.Kemeriahan pesta adalah mutlak, tak peduli empunya pesta si kaya atau miskin. Kemeriahan tak mengenal status ekonomi. Semakin tinggi status sosial keluarga, pesta makin meriah. Seperti dialami keluarga Tolasik, salah seorang bangsawan di Kota Ba’a (sekarang nama ibu kota kabupaten).Ratusan ternak dikorbankan bagi pesta kematian. Tiada hari tanpa makan daging dan minum. ”Dari keluarga menyiapkan 60 ekor kerbau dan babi, belum termasuk ternak sumbangan,” kata Meslik Tolasik, salah satu cucu mendiang, ketika dikunjungi Kompas dan tim dari World Vision Indonesia (WVI) akhir September 2008.Secara adat, ”genderang” pesta kematian ditabuh saat buka neneik (tikar), sesaat setelah ada anggota keluarga meninggal. Berhari-hari, kerabat, kenalan, dan tokoh sebaya anggota keluarga yang meninggal duduk- duduk, ngobrol, dan berpantun mengenang mendiang.Sementara itu, rangkaian pesta pernikahan dimulai saat kedua keluarga calon mempelai memastikan tanggal pernikahan. Saat itulah besaran belis (mas kawin) diketahui.Umumnya, belis mencapai Rp 20 jutaan, yang ditanggung keluarga besar melalui serangkaian pertemuan tu’u belis (kumpul ongkos kawin). Tahapan itu untuk memastikan kesanggupan kerabat soal besaran sumbangan.Sumbangan, baik uang maupun ternak, dicatat; nama penyumbang, jumlah uang, hingga kondisi ternak (lingkar perut atau gemuk-tidaknya ternak). Pada setiap tahapan tu’u, pesta daging tak pernah absen.Setidaknya ada tiga tahapan tu’u belis, yakni tu’u daftar (mendaftar keluarga yang akan diundang), tu’u kumpul keluarga (membicarakan sumbangan yang akan diberikan), dan tu’u penyetoran (menyerahkan sumbangan). Barulah puncak acara tiba; pesta nikah.Nama penyumbang dan sumbangan disimpan rapi untuk pengembalian. Mengembalikan sumbangan wajib hukumnya. Kalau tidak? ”Yang bersangkutan akan dipermalukan dengan pengumuman saat pesta,” kata Maneleo (kepala suku) Nusak Ba’a John Ndolu (45).Saling sumbang bernilai jutaan rupiah menjerumuskan warga pada jeratan utang, yang bahkan diwariskan. Dengan kata lain, mempelai langsung menanggung utang secara adat.Di Rote, tak sedikit kasus putus sekolah karena tak ada biaya. Namun, jangan sampai tak ada uang untuk menyumbang pesta.Untuk pesta kematian atau pernikahan, tak ada istilah miskin. Warga lebih malu tiada pesta daripada anak-anaknya putus sekolah. ”Bisa dibilang, orang pergi bekerja bukan untuk uang sekolah, tetapi membayar ketentuan adat,” kata Kepala Desa Oelunggu Adrianus Tulle.Angin perubahanBeratus tahun eksis, berembus angin perubahan budaya tu’u belis kematian dan pernikahan. Kelompok pembaru atau perevitalisasi budaya muncul.John Ndolu, Maneleo Nusak Ba’a, adalah tokoh di balik itu. ”Kami hanya menyederhanakan praktik-praktik budaya yang berlebihan. Nilai-nilainya tetap bertahan,” kata maneleo, pilihan warga pada Januari 2006 itu.Revitalisasi budaya didukung WVI, organisasi nirlaba yang di antaranya mendukung pendidikan dan nutrisi anak. Pesta pora kematian dan pernikahan melanggengkan kemiskinan. ”Kesejahteraan warga dan pendidikan anak-anak terkena dampaknya,” kata Manajer WVI Program Rote Sugiyarto. Cikal bakal WVI di Rote hampir 15 tahun lalu.Revitalisasi budaya memangkas ongkos pesta belasan juta rupiah. Mas kawin yang dulunya Rp 20 jutaan, disepakati warga cukup Rp 3,65 juta. Pesta pun disepakati sekali dengan menyembelih satu hewan besar dan satu hewan kecil. Dulu, minimal puluhan ekor! ”Pesta pada saat ucapan syukur,” kata John.Pesta daging pada setiap kumpul keluarga pun ditiadakan. Jika ada, cukup kue dan teh.Penerimaan warga di luar dugaan, termasuk kerelaan hati memutihkan piutang ternak yang dulu mereka sumbangkan. Sanksi pun diatur, berupa denda Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Contoh pelanggaran, menyembelih ternak berlebihan, atau menyediakan daging mentah untuk dibawa pulang.”Beberapa orang pernah mencoba melanggar, termasuk menyuap saya dengan bawaan daging mentah. Saya tolak!” kata John. Perlahan tetapi pasti, revitalisasi dipatuhi.Sejak tahun 2003Revitalisasi budaya di Rote dimulai tahun 2003. Gerakan itu makin kuat ketika John Ndolu terpilih sebagai Maneleo Nusak Ba’a. Ia memimpin lima leo (kumpulan marga), setara dengan sekitar 1.200-an keluarga.Dimulai komunitas warga Kunak, lima tahun lalu, kini tiga nusak mengadopsi (nusak Lole, Ba’a, dan Lelain atau Lobalaen). Rote Ndao terdiri atas 19 nusak.Saat ini, sejumlah nusak mulai merevitalisasi meskipun belum sepenuhnya. Namun, lebih banyak nusak yang masih menolak. Beberapa warga asli Rote di luar pulau pun masih ada yang menolak. Satu alasan, warisan leluhur patut terus dijaga.Sebenarnya, pesta kematian dan pernikahan masih dijalankan warga ”Nusa Lontar”. Mereka hanya ingin memutus rantai kemiskinan. (Courtesy Kompas/Antara)

10 Tips Traveling dengan Pasangan

Anda dan pasangan mungkin pasangan yang sempurna di rumah, namun itu tidak berarti gaya perjalanan Anda akan klop. Fodors.com belum lama ini meminta para anggota Forum-nya (Fodors.com/forum), terutama yang suka bepergian keliling dunia, untuk berbagai cerita tentang bepergian bersama pasangan.
Bagi beberapa orang, pengalaman itu tidak selalu membawa sentuhan angin segar. Beberapa orang mengungkapkan rasa frustasi mereka pada keenganan sang pasangan untuk bersikap aktif dalam merencanakan perjalanan. Yang lain mengaku, mereka merasakan kekecewaan yang dramatis untuk hal-hal yang remeh. Beberapa pengelana berbagi pelajaran atas hal-hal yang mereka alami, termasuk strategi mereka yang unik untuk menghadapi titik-titik yang sulit dengan pasangan mereka.
1. Ingatkan pasangan bahwa perjalanan ini bukan kunjungan bisnis. "Saya dapat melakukan perjalanan keliling dunia dan tidak merasakan.... Kami berupaya menyelesaikan kalimat tersebut, dan suami saya bisa menangkap pesannya! Ia sering melakukan perjalanan bisnis internasional dan perjalanan keluarga sungguh berbeda!"
2. Jangan tersesat. "Saya sering merasa stres karena saya adalah pembaca peta dan navigator, sementara suami mengemudi. Hal ini menyebabkan kami bertengkar lebih dari segalanya. Namun sekarang kami menggunakan GPS dan itu merubah segalanya!"
3. Temukan waktu untuk jalan-jalan sendiri. "Kami telah menemukan cara hebat untuk menghindari kebosanan setelah 24 jam kebersamaan. Pastikan untuk menjadwalkan perjalanan terpisah secara reguler -melakukan hal-hal yang Anda sukai sepanjang siang atau sore. Hal ini akan memberi bahan perbincangan dan mengurangi tekanan."
4. Mengakui kekuatan pasangan Anda. "Dia membuat kertas kerja dan kami tidak kehilangan satu momen pun -dan saya amat menghargai hal itu karena kami dapat membuat keputusan yang lebih baik."
5. Menyelesaikan pertengkaran sebelum terjadi. "Butuh waktu lama bagi kami untuk menyampaikan rahasia dan kesucian perjanjian damai kami... sumpah kami untuk bersenang-senang selama liburan! Cara kami melakukannya: kami mendiskusikan di awal, sebelum berangkat, hal-hal yang biasanya menyebabkan pertengkaran. Kami menyelesaikannya sebelum itu terjadi."
6. Perut harus kenyang. "Rasa lapar amatlah berbahaya, kami belajar untuk tidak menunda makan "setelah museum ini" atau "nanti saja sesampai kita di Malaga" karena itu amat sangat buruk."
7. Tetap optimis meski ada ketidaknyamanan. "Menurut saya mudah saja memahami bahwa orang bisa merasa kesal akibat kepanasan, tidak yakin akan arah tujuan, merasa lapar selama 2 jam, atau malah lebih lama dan entah apa lagi yang dapat terjadi, seakan daftar ini bisa berlangsung selamanya. Kami merasakan semuanya dan saya merasa hampir gila. Namun karena sering melakukan perjalanan jauh dan lama, saya belajar menikmati kebersamaan kami dan bahwa hal itu tiada bandingannya dengan apa yang akan kami lihat atau tidak kami lihat, apa dan kapan kami akan makan, kapan kami akan tiba di tempat tujuan - selama istri berada di sisi."
8. Biarkan hal-hal kecil berlalu. "Saya pikir kami lebih sedikit bertengkar selama liburan, walaupun kami menghabiskan lebih banyak waktu bersama, karena kami merasa bahagia berada di sana. Kami biasa merasakan getaran "woo hoo, kami lagi liburan nich" dan mengacuhkan hal-hal yang mungkin mengganggu kami di rumah."
9. Selalu menemukan obat bagi kekecewaan. "Jika Anda tidak sempat mengunjungi suatu museum, masih ada yang lain di ujung jalan sana. Jika Anda salah belok Anda bisa menemukan jalan lain untuk tiba di sana. Jika Anda memesan sesuatu yang tidak Anda sukai, pesan saja lagi sesuatu yang lain. Jika Anda tidak melihat ada untungnya melakukan perjalanan ini, rencanakan kepulangan."
10. Ambilah dunia sebagai sepasang kekasih. "Sesungguhnya saya menemukan bahwa kami hampir tidak pernah bertengkar atau saling tidak setuju ketika kami traveling. Mungkin ini karena kami menjauh dari segala stres yang bisa menyebabkan perbedaan di antara kami. Ini semacam sindrom 'kami berdua melawan dunia'". (Courtesy Kompas/Antara)

Surakarta Tuan Rumah Konferensi Kota-kota Warisan Dunia

Pemerintah Kota Surakarta akan menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Kota-kota Warisan Dunia Asia- Eropa pada 25-28 Oktober 2008 dengan tema "Warisan Budaya Takbenda dan Pengembangan Kota Berkelanjutan".

Menurut keterangan resmi Departemen Luar Negeri di Jakarta, Rabu, konferensi itu merupakan bagian dari ruang lingkup program UNESCO yang diselenggarakan setiap dua tahun dan direncanakan akan dihadiri oleh 143 walikota dari 29 negara serta para pakar dan profesional di bidang preservasi arsitektur dan pelestarian kota.

Dalam konferensi tersebut akan diadakan serangkaian kegiatan yang meliputi pameran, kegiatan budaya, karnaval, dan lokakarya terkait keris, batik, wayang serta gamelan.

Konferensi akan dibuka secara resmi oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakri pada 25 Oktober 2008.

Sedangkan Kegiatan Pameran dan Lokakarya direncanakan dibuka oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda pada 27 Oktober 2008.

Rangkaian kegiatan Konferensi direncanakan ditutup secara resmi oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 28 Oktober 2008.

Dalam sesi Konferensi akan dihadirkan para pembicara antara lain dari UNESCO, WIPO, WTO, Ditjen HKI-Depkumham serta kalangan akademisi yang berasal dari Universitas Gadjah Mada dan Universitas Turin, Italia.

Konferensi diharapkan akan menghasilkan Deklarasi Solo yang pada pokoknya menekankan pentingnya perlindungan warisan budaya benda dan takbenda dalam pengembangan kota, termasuk pula pentingnya perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional dan pengetahuan tradisional.(Courtesy Kompas/Antara)

Kiat Merencanakan Perjalanan

Perjalanan, meski berlangsung dalam kelompok, merupakan peristiwa personal. Karena sifatnya yang personal, janganlah percaya begitu saja atau berpatokan penuh pada pengalaman orang lain saat Anda, misalnya, ingin melakukan perjalanan yang sama. Namun tidak ada salahnya mengetahui pengalaman orang lain, tetap ada hal yang bisa dipelajari dari kisah perjalanan orang lain.
Berikut ini adalah panduan dalam membuat rencana perjalanan berdasarkan pengalaman sejumah orang, antara lain Mark Moxon, petualang dan penulis hal-hal seputar traveling. Panduan ini khusus untuk independent traveler, orang-orang yang merancang sendiri perjalanan mereka.
Tentukan daerah tujuan. Ini merupakan langkah awal yang penting. Kedengarannya mudah namun banyak orang kesulitan memutuskan ke mana hendak pergi sampai akhirnya mereka tidak pernah beranjak dari halaman rumahnya.
Lakukan riset sederhana tentang daerah tujuan. Carilah informasi melalui internet atau pergilah ke perpustakaan atau toko buku dan carilah buku panduan tentang daerah tersebut. Buku atau infomrasi yang bersifat umum lebih baik, misalnya informasi umum tentang kawasan, pulau atau benua yang ingin dikunjungi.
Ceklah informasi terakhir dari Departemen Luar Negeri. Jika berencana melakukan perjalanan ke Afrika, pastikan daerah tujuan Anda tidak sedang dilanda perang saudara. Banyak orang mengabaikan travel warning dari pemerintah. Tidak ada ruginya berhati-hati terhadap ancaman bahaya yang potensial.
Ketika sudah mantap dengan daerah tujuan, tentukan apa yang hendak dilakukan di sana: shopping, trekking, diving, hiking. Hal ini penting karena akan berkaitan dengan aneka perlengkapan yang akan dibawa. Orang sering tergoda melakukan banyak aktivitas namun pertimbangkan kondisi fisik, cuaca, dan waktu yang tersedia. Prakirakan cuaca saat Anda diharapkan berada di daerah tujuan.
Pelajari jenis transportasi ke dan di daerah tujuan, lalu tentukan rute perjalanan. Penentuan rute berkaitan dengan aktivitas dan pilihan moda transportasi.
Pilih penginapan. Untuk orang yang berpedoman bumi adalah rumah dan langit adalah atapnya atau tidur di manapun asal bisa kemanapun, penginapan bukan hal terpenting. Di daerah-daerah tujuan wisata utama di dunia banyak pilihan hostel, losmen, dan guesthouse yang bertarif murah.
Langkah berikutnya adalah menghitung biaya. Ini bagian paling sulit tetapi harus dilakukan. Mulailah dengan menghitung biaya penerbangan, gunakan buku panduan untuk mengetahui berapa biaya penginapan semalam, biaya makan, dan transportasi. Dengan begitu Anda akan punya gambaran kasar tentang biaya yang dibutuhkan. Pastikan anggarannya tidak melampau isi kantong Anda.
Miliki travellers cheques dan kartu kredit, baik juga memiliki uang tunai, khusus untuk kondisi darurat.
Putuskan apakah akan pergi sendirian atau dengan seorang atau dua orang teman. Menurut Mark Moxon, untuk perjalanan pertama, pergi bersama teman merupakan ide yang baik. Khusus untuk perempuan, ketahuilah di sejumlah kawasan atau negara di dunia, perempaun yang jalan sendirian dipandang negatif dan rentan terhadap bahaya. Namun bagaimana pun, keputusan ada di tangan Anda.
Perbaharui vaksin yang butuhkan seperti tetanus, polio, tipus, dan meningitis. Sediakan obat malaria jika daerah yang hendak dikunjungi masih tergolong daerah endemik malaria. Sekarang ini selain teroris, virus juga merupakan ancaman serius bagi turis.
Periksa travel dokumen. Cari tahu di negara mana Anda dituntut untuk memiliki visa masuk. Visa bisa diperoleh on arrival (di bandara/pintu masuk utama) atau di kedutaan negara yang bersangkutan.
Nikmati setiap langkah perjalanan apa adanya. Jangan menaruh harapan muluk-muluk karena Anda bisa saja akan sangat kecewa. Ada orang yang saking kecewanya langsung balik kanan atau berbelok arah. Tidak apa-apa, lebih baik mengakui bahwa perjalanan itu tidak cocok untuk Anda dari pada memaksa terus berjalan dengan suasan hati yang tidak enak. (Courtesy Kompas/Antara)

Bagaimana Memotret Landmark dan Monumen

Kesulitan yang muncul dalam memotret landmark terkenal adalah karena tempat atau bangunan itu memang terkenal. Begitu terkenalnya sehingga hampir semua foto tentangnya, bahkan yang paling indah, bisa dianggap klise. Tantangannya adalah untuk membawa pulang foto kenangan yang dapat dikenali (Anda ingin orang tahu di mana saat itu Anda berada) dan sebuah gambar menarik di atas kartu pos.

Bagaimanapun, jangan memotong gambaran postcard terlalu cepat. Anda dapat menjumpai beberapa alternatif dari pemandangan yang biasa-biasa saja dengan memeriksa tempat-tempat yang memberikan sudut pandang yang tidak konvensional. Kita semua tahu bagaimana misalnya Bundaran Hotel Indonesia dengan air mancur di tengahnya kalau dilihat dari atas gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Namun bagaimana jika Anda membingkai pemandagan bundaran itu melalui kisi jendela taksi ketika terjadi kemacetan di jam sibuk? Posisi yang aneh juga punya potensi - semakin aneh semakin menarik. Semua orang telah terbiasa dengan pemandangan yang kokoh dari Tugu Monas, namun berapa banyak orang yang mengeksplorasinya dari jauh, katakan memotretnya dari jarak satu atau dua kilometer, dengan memasukkan gedung-gedung tinggi di Jalan MH Thamrin atau Medan Merdeka Barat atau Selatan di latar belakang?

Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa foto Anda harus menunjukkan keseluruhan landmark atau menyediakan interpretasi literal secara keseluruhan. Kadang-kadang potongan-potongan yang terpisah dari suatu subjek lebih menarik secara visual ketimbang memasukan keseluruhan subyek hanya agar dapat dikenali. (Courtesy Kompas/Antara)

Thursday, November 13, 2008

Mitologi "Cinta" Batu di Mazoola

”Dapat menciptakan telekomunikasi secara telepati dengan seseorang begitu mudahnya, terutama jika keduanya memegang batu ini.” Begitu tertulis di secarik kertas berlapis plastik yang dipasang berdampingan dengan kristal berwarna biru kemilau tertimpa sorotan lampu.

Kynite Blade, nama kristal itu seperti tertulis pada kertas pemandu. Data soal kristal ini dilengkapi pula dengan unsur yang terkandung dalam batu ini. Begitu pula dengan asal batunya, yaitu dari Brasil, Swiss, Myanmar, dan Kenya. Kristal ini tersimpan dalam lemari kaca terkunci, dipercantik dengan sorotan ringan lampu.

Di sisi-sisinya juga terdapat batu lain yang tak kalah cantik. Namun, ada pula batu yang bentuknya tidak beraturan dan warnanya tak semenarik Kynite Blade. Batu-batu itu hanya sebagian kecil dari bebatuan yang dipamerkan di Gems Stone Gallery di Maharani Zoo dan Gua Lamongan (Mazoola), Jawa Timur.

”Batu-batu ini membuat saya bisa bersyukur. Menyaksikan warna-warna indah ini menunjukkan kekuasaan Tuhan,” kata Pujiono Suryanto (34), warga Tlogoanyar, Lamongan, yang mengunjungi Mazoola akhir Agustus lalu.

Referensi

Pujiono yang berkunjung bersama 11 anggota keluarganya ini terpesona dengan Gems Stone Gallery meski di Mazoola juga terdapat kebun binatang dan ruang diorama satwa. Bagi Pujiono, daya tarik terbesar terletak pada aneka bentuk batu yang jarang ditemui. Apalagi, di batu-batu itu juga dilengkapi dengan mitos yang mengiringi.

Sebut saja, misalnya, Rose Quarts Sphere berbentuk kristal trigonal, Fuschite, dan Rough Variscite. Serupa dengan Kynite Blade, di sisi batu-batu ini terpampang pula keterangan singkat. Rose Quarts Sphere disebut-sebut mampu memberi energi cinta, kelembutan, dan perasaan tenang. Singkat kata, dalam diri seseorang akan timbul rasa cinta jika berada di dekat kristal ini.

Kristal lainnya, Fuschite asal India, disebut-sebut menimbulkan energi positif yang tinggi. Bekerja dengan batu ini bisa mendorong seseorang menggunakan kelebihan pikiran dan dipandu oleh hati yang bijaksana. Kalau sedang butuh kedamaian hati, cinta, kejelasan, dan penyembuhan emosi, Rough Variscite bisa menjadi referensi. Setidaknya, begitulah yang tertera dalam petunjuk yang menyertai kristal tersebut.

Selain kristal dan bebatuan berwarna, di galeri ini juga bisa ditemui sejumlah fosil, seperti trilobite, sejenis binatang berbuku-buku (segmented creature) yang hidup sekitar 535 juta tahun lalu. Batu-batu dalam lemari kaca bening menciptakan kesan apik berbalut suasana gua alamiah yang eksotis.

Pengelola Mazoola, Ma’mun (35), mengungkapkan, koleksi batu di Gems Stone Gallery mencapai 430 buah. Batuan ini 60 persen milik investor Mazoola, sedangkan sisanya dipinjamkan oleh sejumlah kolektor. Masuknya unsur mitologi di galeri bebatuan ini tidak terlepas dari upaya untuk mengisahkan batu yang tidak sekadar batu. Ada makna di balik bebatuan itu. Dipajanglah narasi yang menggugah pengunjung untuk mengenal lebih dalam, tidak sekadar tertarik dengan warna-warni belaka.

Cerita di balik batu ini, yakni seputar cinta, kedamaian, telepati, dan kebijaksanaan, bukan dibuat sembarangan. Semua melalui riset dan penelitian. Sumbernya bisa dari ensiklopedia dan situs internet. ”Makanya, kalau kami belum dapat data tentang batu itu, belum ada referensi yang dipasang. Takut malah bikin malu kalau salah. Apalagi, kalau memberi informasi yang salah kepada anak- anak yang study tour ke sini,” kata Ma’mun.

Apalagi, Mazoola memang memiliki target pasar sebagai obyek wisata edukasi. Pengunjung, selain diajak berekreasi, juga diberi tambahan pengetahuan. Konsep ini juga tampak dari penataan kebun binatang dan ruang diorama satwa. Wahana andalan lain dari Mazoola itu memanfaatkan keaslian Gua Maharani.

Wahana lain

Kebun binatang yang dikonsep dengan warna mencolok ini menawarkan kedekatan pengunjung dengan hewan di sana. Pagar pembatas tidak terlalu tinggi sehingga memudahkan pengunjung menyaksikan tindak-tanduk hewan tersebut. Meski demikian, keamanan tetap terjaga dengan menilik sifat setiap hewan. Misalnya, area orangutan diberi pagar pembatas dan kawat beraliran listrik, dikelilingi dengan pembatas air karena biasanya hewan ini tidak menyukai air.

Namun, hingga menjelang akhir Agustus, di kebun binatang ini masih didominasi papan bergambar hewan dengan tulisan ”akan segera hadir”. Kandangnya sudah siap, tetapi hewan-hewan penghuninya belum tiba. Wahana belajar juga bisa didapat dari diorama satwa. Sebagian tulang-belulang dan hewan yang sudah diawetkan bisa disaksikan di ruang kecil tetapi padat ini.

Belulang ikan paus, replika belulang dinosaurus, serta sejumlah jenis macan dan kura-kura yang sudah diawetkan juga bisa ditemukan di wahana ini. Sayangnya, belum ada petunjuk singkat mengenai sejarah dan cerita unik di balik hewan- hewan ini. ”Ini memang sengaja karena kami akan menyediakan pemandu. Nanti mereka yang cerita supaya ada interaksi,” ujar Anna (20-an), petugas jaga di ruang diorama satwa.

Menurut Ma’mun, Mazoola yang terkoneksi dengan Wisata Bahari Lamongan (WBL) dan Tanjung Kodok memiliki nilai jual masing-masing. Agar tidak saling memakan pangsa pasar, bidikan pasarnya dibuat berbeda, tetapi saling dukung. WBL yang berada persis di depan Mazoola menawarkan ”Dunia Fantasi” ala Lamongan, dengan keterbatasan alat, tetapi kaya imajinasi. Wisata ini memanfaatkan potensi pantai meski pengelola mereklamasi sebagian garis pantai. Pangsa pasar bidikan WBL lebih kepada keluarga yang berlibur, sedangkan Mazoola membidik siswa sekolah dengan mengedepankan unsur edukasi dan wisata.

Dengan interkoneksi ini, Mazoola membidik pasar dari Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah bagian timur. Lokasi wisata seluas 3,2 hektar ini cukup strategis, berada di tepi Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Mazoola bisa ditempuh 1,5 jam dari Surabaya, sekitar 50 menit dari Kota Lamongan, dan sekitar 40 menit dari Tuban.

Sejak diresmikan akhir Mei 2008, pengunjung dari Rembang, Pati, Kudus, Semarang, dan Ungaran (Kabupaten Semarang) juga sudah mulai berdatangan. ”Untuk mendukung konsep ini, kami sedang menyusun buku panduan tentang semua isi Mazoola. Nanti akan dibagikan kepada pengunjung,” kata Ma’mun.

Tentu, dengan demikian, pengunjungnya tidak sekadar mendapat mitologi ”cinta” batu, tetapi juga mendapat pengetahuan dan kesenangan, berbalur narasi unik di dalamnya. (Courtesy Kompas/Antara)

Masjid Lau Tze, Budaya Tionghoa dan Nilai Islami

Beberapa truk lalu lalang melintasi Jalan Lautze, Pasar Baru yang padat pertokoan dan lebih dikenal dengan kawasan Pecinan. Kabarnya di antara deretan rumah toko (ruko) itu terdapat sebuah masjid bagi warga Tionghoa dan penduduk sekitar area tersebut.
Sudah setengah jam berkeliling di deretan ruko, tapi belum tampak masjid yang dimaksud. Ternyata papan nama masjid yang biasa disebut Lau Tze itu tertutup badan truk yang menurunkan muatan di toko sebelahnya.
Selain itu, arsitektur bangunan sama sekali tak menunjukkan seperti masjid dengan kubah yang biasanya identik dengan warna hijau.Ya, masjid Lau Tze memang berada di Jalan Lau Tze 87-89, Kelurahan Karanganyar, Sawah Besar, Jakarta.
Bangunan berlantai empat gabungan dua unit ruko ini kental dengan nuansa Tionghoa. Dua pintu utama di bagian depan dicat merah menyala sangat kontras dengan masjid pada umumnya yang berwarna hijau atau kuning.
Kalau masuk ke dalam, di belakang mimbar digantung sepasang kaligrafi Arab ala Shu Fa atau kaligrafi Tionghoa asli buatan Beijing. Tak hanya arsitekturnya yang unik, jemaah masjid ini pun hampir sebagian besar warga Tionghoa yang tinggal berpencar di berbagai daerah di Jakarta dan sekitarnya. "Ada yang dari Bogor, Depok, Bekasi, justru jemaahnya paling banyak tak berasal dari kawasan sekitar sini. Mereka biasanya para mualaf yang masih belum fasih sholat dan perlu belajar agama Islam," kata Sekretaris Harian Yayasan Haji Karim Oei yang mengelola masjid Lau Tze, Senin (1/9) kemarin.
Masjid Lau Tze yang didirikan sejak 1961 ini dipakai sebagai pusat informasi bagi warga Tionghoa yang ingin belajar agama Islam. Lantai 1 dan 2 digunakan untuk sholat, biasanya kalau sholat Jumat tidak cukup hingga lantai 3 pun dipakai. "Memang masjid ini beda dengan yang lain, dibuka pukul 09.00-16.00 WIB karena kantor yayasan Haji Karim Oei di lantai 3, maka menyesuaikan jam kantor. Jadi hanya dua waktu sholat yang bisa diikuti yakni zuhur dan asar," tutur Anna.
Beberapa warga Tionghoa yang menjadi mualaf biasanya dibimbing dulu untuk belajar sholat. Mereka biasanya canggung untuk masuk ke masjid, apalagi yang sholatnya belum lancar. "Nah, kami dari yayasan berupaya mengenalkan pada warga Tionghoa bagaimana Islam itu, tapi kalo mereka sudah lancar sholat ya kami sarankan ke masjid terdekat supaya berbaur dengan pemeluk Islam di sekitar mereka," ujar Anna.
Saat Kompas.com berkunjung ke masjid tersebut, bertepatan dengan waktu sholat ashar. Tampak beberapa pria Tionghoa selesai wudhu dan berjajar mengambil tempat di belakang imam, lalu mereka terhanyut dalam suasana khusyuk. Selesai sholat, mereka bersalaman dan bercakap-cakap satu sama lain.
Ahmad, salah satu jemaah di mesjid itu juga mengakui saat pertama mengenal sholat dari istrinya yang muslim, ia sempat merasa tidak percaya diri untuk melakukannya di masjid dekat rumahnya. "La, pernah saya tuh mau mampir aja, baru masuk gerbangnya, sudah diliatin semua orang, apa mungkin karena mata saya sipit ya," katanya sambil tertawa lebar.
Lalu ia mendengar kabar Masjid Lau Tze bisa melayani pendampingan bagi mualaf Tionghoa. "Saya tak perlu pikir dua kali, setiap Minggu ada pengajian bersama, saya berkomitmen untuk datang. Tapi sudah dua bulan ini, saya sholat di mesjid deket rumah," tutur pria berkacamata yang tinggal di Depok itu.
Sarana Pembauran
Pengalaman Ahmad itulah yang diharapkan oleh penggagas berdirinya masjid untuk berdakwah bagi kaum Tionghoa di Indonesia. Idenya memang untuk mengenalkan agama Islam pada warga Tionghoa. Mengingat sebelumnya telah terbentuk stereotip bahwa orang Tionghoa masuk Islam maka ia 'turun kasta' atau menjadi warga negara kelas tiga (pembagian kelas warga negara jaman penjajahan Belanda).
"Memang saya pernah diajar oleh orang tua saya, kamu boleh pindah agama, asal jangan Islam. Ini malah membuat saya bertanya-tanya kenapa, tapi baru masa tua saya mencari tahu dan malah menjadi Muslim sekarang," jelas Ahmad.
Ahmad mengakui pembauran antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi yang mayoritas memeluk Islam lebih cepat terjadi melalui agama dan pernikahan. "Ya, itu yang terjadi pada saya, tapi saya pindah Islam bukan karena istri saya muslim. Kami sudah menikah 23 tahun, tapi saya masuk Islam baru setahun yang lalu," katanya.
Gagasan pembauran itulah yang melatarbelakangi berdirinya masjid Lau Tze. Nama yayasan yang mengelola masjid ini diambil dari tokoh Tionghoa muslim dan pengusaha sukses yakni Haji Karim Oei Tjeng Hien.
Saat ini, jemaah masjid Lau Tze yang rutin berkunjung mencapai 70 orang. Padahal tahun 1991 saat pertama kali berdiri mencapai 1000 jemaah. "Dulu masih banyak jemaah dari luar Jakarta ke sini, sekarang mereka telah terbiasa dengan warga sekitar dan sholat di wilayahnya sendiri. Semoga proses pembauran ini terus terjadi sehingga prasangka antara etnis Tionghoa dan pribumi pun bisa terkikis, karena yang dilihat kebersamaannya," tutur Anna dari Yayasan Haji Karim Oei mengakhiri pembicaraan.
Masjid Lau Tze memberi ruang untuk berkontemplasi mengenai arti kebersamaan di bulan Ramadhan ini. Kehadiran komunitas muslim Tionghoa yang mulai berbaur dengan masyarakat juga memberi warna unik pada perkembangan Islam di nusantara. (Courtesy Kompas/Antara)

Pelajaran dari Raksasa Tua yang Membatu

GEREJA di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua, Jakarta Barat, seperti raksasa tua yang membatu di tengah hiruk-pikuk kemacetan kota. Seorang Satpam mempersilakan. Pintu masuk gereja terbuka. Empat kandelar lilin besar dengan reflektor berbentuk perisai bersimbol Batavia, tergantung di keempat sudut ruang sejak lebih 300 tahun lalu.

Sebuah mimbar bergaya barok karya H Bruyn (1695), berdiri di tengah altar. Di atasnya, terpasang kanopi dari Gereja Kubah di dalam kota Batavia lainnya yang dibongkar Gubernur Jenderal Belanda Daendels, tahun 1808. Mantan Kepala Tata Usaha dan Anggota Majelis Gereja Sion, Hadikusumo, Selasa (8/7/2008) siang menjelaskan, pembuatan mimbar bersegi delapan dengan paduan ukiran China, Eropa dan India ini, menghabiskan biaya 260 ringgit. Bandingkan dengan biaya pembangunan gereja yang 3000 ringgit di tahun 1695.

Menghadap altar, di sebelah kanan, berderet kursi besar berukir buatan pertengahan abad ke-17. Dibuat khusus bagi para petinggi VOC, termasuk buat gubernur jenderal Belanda. Di tengah atas sandaran kursi yang terbuat dari kayu hitam itu terukir kitab suci yang terbuka. Dikiri-kanannya dua malaikat kecil. Ada pula deretan bangku khusus untuk para penatua dan pendeta.

Di salah satu dinding gereja, ada batu bertulis dalam bahasa Belanda, "Batu pertama gereja ini diletakkan 19 Oktober 1693 oleh Pieter van Hoorn". Di lantai atas, bagian belakang, terletak orgel tua dengan pipa-pipa panjang. Di samping kiri orgel, tampak sebuah roda besi. Roda bersabuk karet ini berfungsi mengisi angin yang meniup pipa-pipa nada ketika tuts orgel ditekan. "Ada dua orang yang memutar roda besi selama ibadah berlangsung. Tetapi sejak kedua pekerja pensiun tahun 1982, kami menggunakan perangkat listrik untuk mengisi angin," jelas Hadikusumo.

Ia menjelaskan, sejak dua tahun lalu, gereja yang dirancang Ewout Verhagen dari Rotterdam itu kini dilengkapi delapan AC besar dan pintu masuk lapis kaca. Setiap pekan pertama, orgel digunakan mengiringi koor, sementara sang pendeta berkhotbah di atas mimbar berkanopi. Di serambi gereja, terdapat 11 nisan makam. Awalnya, jumlah makam yang berada di sekeliling gereja mencapai 2.381 makam. Ke 2381 makam itu adalah korban ketika berjangkit wabah penyakit.

Mardijker

Gereja Sion dibangun di atas lahan seluas 6.725 meter persegi dengan luas bangunan 32 X 24 meter persegi. Bangunan ini didirikan di atas tiang pancang kayu besi sebanyak 10.000 batang. Kini, halaman gereja bertiang enam ini menyusut setelah tergusur pelebaran Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua, masing-masing lima meter. “Bukan hanya halaman gerejanya saja yang tergusur, tetapi juga 200 jemaatnya yang dulunya tinggal di Mangga Dua,” kata Hadikusumo.

Kehadiran Gereja Sion mengantar kita pada kisah panjang kaum mardijker (budak yang dibebaskan dengan syarat memeluk agama Protestan dan menggunakan bahasa Belanda) di Batavia.

Sebelum dibangun gereja, di tempat itu berdiri sebuah kapel atau gereja kecil (1675) bagi para budak Katolik (A Heuken SJ: Gereja-gereja Tua di Jakarta, Cipta Loka Caraka, 2003). Di sekitar kapel, para budak ini tinggal dan beranak pinak. Mereka berasal dari Bengal, Malabar, Koromandel, dan Srilanka, koloni Portugis di India. Mereka umumnya Katolik dan berbahasa Portugis.

Setelah VOC (Vereenigde oostindische Compagnie) merebut koloni-koloni Inggris, VOC membawa mereka ke Batavia untuk membangun kota. Sejak 1628, cikal bakal kaum mardijker ini membanjiri pinggiran dan kota Batavia. Tahun 1709, jumlah mereka di pinggiran kota mencapai 6.903 jiwa, sementara etnis Bugis 4.959 jiwa, dan imigran China 6.393 jiwa (Remco Raben: Jakarta Batavia, Esai Sosio-Kultural, Banana KITLV, Jakarta 2007).

Gereja Sion dibangun setelah para budak menjadi mardijker. Ketika mulai digunakan, gereja dalam kota rusak, terbakar. Komunitas VOC, para petinggi dan keluarganya, pindah beribadah ke Gereja Sion. Lama kelamaan, gereja menjadi etalase kemewahan kaum elit Batavia. Kaum mardijker pun terusir dari sana.

Mereka lalu pindah ke lokasi yang saat ini disebut Kampoeng Toegoe di Kelurahan Tugu, Kecamatan Koja, dan Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. "Kata Toegoe berasal dari kata, 'Por "tugu" ese'. Kampung ini terbentuk tahun 1661," jelas Arthur James Michiels (40), Humas Ikatan Keluarga Besar Toegoe (IKBT).

Tahun 1738, mereka membangun gereja, tetapi dihancurkan orang-orang China dalam peristiwa pemberontakan China tahun 1740. "Mereka menganggap, mardijker adalah kaki tangan VOC," lanjut Ketua IKBT, Andre Juan Michiels. Tahun 1744-1747, atas kebaikan hati tuan tanah Justinus Vinck, dibangunlah gereja baru yang hingga kini berdiri dan dikenal sebagai Gereja Toegoe.

Di akhir abad 18, jumlah kaum mardijker kian menyusut, sehingga dua kompi mardijker dibubarkan. Kapten terakhir kelompok ini adalah A Michiels, nenek moyang Arthur dan Andre yang meninggal tahun 1833.

Ketika muncul gerombolan bersenjata tahun 1947, sebagian orang-orang Toegoe diungsikan ke Pejambon, Jakarta Pusat (Jakpus) oleh dua sesepuh Toegoe, Mathias Michiels dan Rusjard Michiels. Tepatnya, di belakang Gereja Immanuel, Jakarta Pusat atau di seberang Stasiun Kereta Api Gambir.

Kini, jumlah mereka di kedua tempat itu tinggal sekitar 700 jiwa. Sebagian keturunan mereka, keluarga Salomons, Hendriks, Da Costa, dan Seymons, hilang. Yang berkembang tinggal dari keluarga Abrahams, Andries, Cornelis, Michiels, Quiko, dan Braune.

Perbudakan

Untuk membangun Batavia, awal abad ke-17, VOC membawa banyak imigran, terutama dari kalangan mardijker dan China. Kaum mardijker dibawa ke Batavia sebagai budak setelah Belanda merebut sejumlah koloni Portugis. Ketika Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen berkuasa, ia mengerahkan orang-orang China asal Fukien, China Selatan. Di bawah pimpinan Kapitan So Beng Kong, masyarakat China itu mendirikan kastil dan kota Batavia. Penggantinya, Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier (1737-1741) melanjutkan kebijakan pendahulunya.

Akibat kaum imigran China bebas masuk ke Batavia, populasi mereka meluap. Remco Raben mencatat, jika tahun 1709 jumlah imigran terbesar di pinggiran Batavia masih didominasi kaum mardijker, maka tahun 1719 jumlah imigran China menjadi yang tertinggi, 7.550 jiwa. Saat itu, jumlah kaum mardijker merosot menjadi 6.634 jiwa. Tahun 1739, jumlah imigran China mencapai 10.574 jiwa, sementara kaum mardijker 5.247 jiwa, dan etnis Bugis 4.521 jiwa.

Meski para imigran China bukan budak, mereka diperas oleh berbagai macam pajak "China" oleh VOC. Pajak-pajak tersebut membuat sebagian besar mereka jatuh miskin. Meski demikian, VOC terus memaksa mereka membayar pajak "China" itu. Nasib mereka tak ubahnya para budak. Tak tahan lagi menghadapi penindasan VOC, tahun 1740, mereka memberontak (baca tulisan “Angke…Genosida 1740”).

Kalangan Feodal

Perbudakan kala itu bukan hanya dilakukan VOC, tetapi juga dilakukan kalangan elit feodal pribumi yang membuka pasar budak di Makassar dan Bali. Di kedua pasar itu, tulis Heuken, kaki tangan kalangan menak dan raja dari Makassar, Bugis, Ende, dan Bali, menyeret orang-orang desa yang tak bersalah dari kawasan Indonesia Timur, menjadi budak.

Dari kedua pasar, para budak dijual ke Batavia. Pasar budak pun meluap. Hendrik E Niemmeijer (Jakarta Batavia, Esai Sosio-Kultural, Banana KITLV, Jakarta 2007) menyebutkan, tahun 1679, dari 32.124 penduduk Batavia, sebanyak 16.124 diantaranya adalah budak! Harga budak pun jatuh karena jumlahnya melimpah. Tenaga murah dan budak yang awalnya dimanfaatkan untuk membangun kota, gudang, pelabuhan, dan galangan kapal, akhirnya dimanfaatkan kalangan elit Belanda, China, Arab, serta Melayu untuk kepentingan pribadi mereka.

Para budak bekerja di rumah dan perkebunan kaum kaya raya itu. Para nyonya besar lalu menjadikan jumlah budak yang ada di rumah mereka sebagai bagian dari gengsi. Kaum kaya raya itu bangga bila tampil di tengah publik dengan belasan budak memayungi, membawa bekal, perlengkapan, serta pernak-pernik lain mereka.

Sebagai ilustrasi Remco menulis, orang Bali bernama Wayahan Ayunan yang meninggal tahun 1726, memiliki 22 budak. Sebelas di antaranya datang dari Bali, tujuh orang adalah kelahiran rumah (lahir di rumah majikan), dan empat berasal dari Toraja, Tambora, Kaili, dan Sumba. Tahun 1759, perempuan China bernama Goey Teknio, mempunyai sembilan budak. Tiga berasal dari Bali, dan seorang masing-masing dari Bugis, Sumbawa, Malaka, Makassar, Timor, serta Batak.

Tahun 1860, perbudakan oleh bangsa asing dan elit feodal pribumi di Batavia, berakhir. Maka seharusnya, berakhir pulalah era di mana agama dijadikan iming-iming pembebasan dan kesejahteraan seperti dilakukan VOC terhadap kaum mardijker. Barangkali, itulah hikmah dari kehadiran Gereja Sion. (Courtesy Kompas/Antara)

Wednesday, November 12, 2008

Dijamu Piring Kosong di Istana Raja Gowa

Kota Makassar, Sulawesi Selatan, masih memelihara artefak sejarah kejayaan masa lalunya. Di antaranya adalah sebuah bangunan rumah panggung berwarna coklat. Seluruh bangunan itu terbuat dari kayu. Kokoh berdiri, meski jelas terlihat usianya tidak muda lagi. Itulah Istana Balla Lampoa, bekas istana Kerajaan Gowa. Balla Lampoa dalam bahasa Makassar berarti rumah besar atau rumah kebesaran.Saat memasuki Istana Balla Lompoa, anda akan dijamu dengan hamparan meja makan dengan tudung saji warna merah. Namun, jangan berharap terlalu banyak. Dibalik tudung saji merah yang menggoda itu ternyata hanya ada piring berwarna putih kosong, tanpa ada isinya."Ini untuk menerima tamu. Posisi meja memperlihatkan posisi penerimaan tamu saat jamuan raja," kata penjaga Istana Balla Lompoa, Amir, saat saya berkunjung ke tempat itu suatu siang. Rumah raja itu kini beralih fungsi menjadi museum. Ruangan di dalam rumah itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang utama seluas 60 x 40 meter dan ruang teras seluas 40 x 4,5 meter. Di dalam ruang utama terdapat tiga bilik berukuran 6 x 5 meter. Satu bilik adalah kamar pribadi raja, satu bilik lagi adalah tempat penyimpanan benda-benda pusaka, sementara bilik lainnya merupakan bilik kerajaan. Adapun bangunan di bagian belakang adalah tempat permaisuri dan keluarganya. Di ruangan utama ini, terdapat singgasana raja yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Peninggalan simbol-simbol kerajaan, seperti mahkota, senjata, payung raja, pakaian, bendera kebesaran, serta barang-barang lainnya termasuk sejumlah naskah lontar juga tersimpan di ruang utama museum Balla Lompoa.Sejatinya, ada satu lagi istana yang terletak dalam kompleks istana Balla Lompoa, yakni istana Tamalate. Letaknya tepat disamping istana Balla Lompoa. Namun, istana ini bukan asli rumah atau istana peninggalan Raja Gowa, melainkan hanya replika Tamalate yang konon dulu pernah ada di abad ke 13 dan menjadi istana raja Gowa pertama. Sekarang, bangunan ini digunakan sebagai gedung serbaguna. Istana Balla Lompoa dibangun tahun 1926 pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31 I Mangngi-mangngi Daeng Matutu. Balla Lompoa pernah ditempati dua raja, yaitu I Mangngi-mangngi Daeng Mattutu dan Raja Gowa ke-32 A Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Kadir Aidir.Sebelum istana Balla Lompoa dibangun I Mangng-mangngi Daeng Mattutu, raja sebelumnnya Andi Makkalau, menggunakan rumah kediamannya di jalan Kumala Makassar sebagai istana. Saat I mangngi-mangngi berkuasa, seluruh benda peninggalan dipindahkan dari kediaman Andi Makkulau ke istana Balla Lompoa.Kompleks Istana Balla Lompoa memiliki luas 1 hektar, yang dibatasi dengan pagar tembok tinggi. Seluruh bangunan terbuat dari kayu ulin atau kayu besi, begitu pula seluruh atapnya sehingga bangunan istana ini dijamin andal menghadapi cuaca. Bangunan istana memiliki arsitektur bangunan khas Sulawesi Selatan (Bugis), yaitu rumah panggung, dengan tangga berketinggian lebih dari dua meter untuk masuk ke teras istana. Di teras istana itulah biasa digunakan untuk menerima tamu, atau bercerengkama. Ciri bangunan khas Bugis adalah berjendela banyak, masing-masing berukuran sekitar 0,5x0,5 meter. Di istana ini tersimpan antara lain 14 koleksi benda kerajaan yang tak ternilai, seperti mahkota, gelang, kancing, kalung, keris dan benda-benda lain yang umumnya terbuuat dari emas murni dan dihiasi berlian, batu ruby, intan, maupun permata.Koleksi perhiasan dan pustaka istana rata-rata memiliki bobot 700 gram, bahkan ada yang 1 kilogram. Selain perhiasan berharga, masih ada benda lain, seperti 10 tombak, keris, tujuh buah naskah lontara, juga dua buah kitab Al Quran yang ditulis tangan pada tahun 1848.Selain itu, di istana Balla Lompoa, anda bisa belanja suvenir seperti sarung sutera dan t-shirt yang dijual dengan harga rata-rata Rp 50 ribu. (Courtesy Kompas/Antara)

Monday, November 10, 2008

Menyisir Reruntuhan Benteng Somba Opu

Jika anda ke Makassar, Sulawesi Selatan, sempatkan sejenak untuk mampir ke Benteng Somba Opu. Konon kabarnya, benteng yang dibangun Sultan Gowa ke IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna pada tahun 1525 ini, dibangun dari tanah liat dan putih telur sebagai pengganti semen.

Secara arsitekturial, benteng ini berbentuk segi empat, dengan panjang sekitar 2 kilometer, tinggi 7-8 meter, dan luasnya sekitar 1.500 hektar. Seluruh bangunan benteng dipagari dengan dinding yang cukup tebal.

Pada abad ke 16 benteng ini sempat menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa. Sayangnya, tanggal 24 Juni 1669 benteng ini dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga terendam ombak pasang.

Kini, benteng Somba Opu lebih tepat disebut sebagai reruntuhan. Kegagahan benteng yang ada di masanya dulu, seakan lapuk dimakan usia. Kedua bastion yang dulu ada di atas benteng, kini hanya tinggal onggokan puing saja. Sebagai gantinya, di atas bekas bastion tersebut dibangun saukang yang digunakan untuk tempat berdoa dan pemujaan bagi masyarakat setempat.

"Kami biasanya ke saukang bersama keluarga besar setiap setahun sekali," kata Hamid De Nyondrik (41), warga Sarombe, Gowa.

Adatnya, warga datang ke saukang membawa sesaji seperti nasi putih, nasi merah, atau nasi kuning, ayam bakar, dan bunga. Setelah dibacakan doa, sesaji tersebut dimakan besama keluarga.

Relokasi 300 Warga

Benteng Somba Opu ditemukan sejumlah ilmuwan tahun 1980-an. Sekitar tahun 1990, bangunan benteng yang sudah rusak direkonstruksi sehinga tampak lebih indah. Dahulu, di atas benteng tersebut terdapat pemukiman warga. Karena itu, seiring adanya rekonstruksi tersebut sekitar 300 warga direlokasi ke Taeng dan Sapiria sebelah utara untuk pengembangan benteng.

Selain reruntuhan benteng Somba Opu, di dalam kompleks benteng terdapat beberapa bangunan rumah adat Sulawesi Selatan, seperti Bugis, Makassar, Mandar, dan Kajang. Selain itu, juga terdapat sebuah meriam bernama Baluwara Aung sepanjang 9 meter dengan berat 9.500 kg, dan sebuah museum yang berisi benda-benda bersejarah peninggalan Kesultanan Gowa.

Pengunjung cukup membayar biaya retribusi Rp 1.700 untuk dapat masuk ke kompleks benteng Somba Opu. (Courtesy Kompas/Antara)

Thursday, November 6, 2008

Astana Giri Bangun Jadi Obyek Wisata Internasional

Astana Giri Bangun, tempat pemakaman Soeharto bersama Ibu Tien atau Siti Hartinah di Karang Bangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, terus menerus dibanjiri penziarah. Muncul gagasan menjadikan tempat ini sebagai obyek wisata internasional.

"Kami terus mendorong pengembangan pemakaman keluarga Cendana yang dikenal dunia tersebut melalui berbagai kegiatan, termasuk mengikuti promosi di Bali," kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar, IA Joko Suyanto, di Denpasar, Jumat (10/10).

Disebutkan, pemakaman keluarga Cendana tersebut pada hari-hari biasa rata-rata dikunjungi sekitar 3.000 orang, sedangkan hari Minggu dan hari libur lainnya bisa mencapai 10 ribu orang.

Pengunjung selain berdatangan dari berbagai kota dan pelosok di Nusantara, juga dari berbagai negara, terutama kalangan yang sempat kenal dengan Soeharto dan keluarga Cendana lainnya.

Menurut Joko, banyaknya kunjungan dari kalangan yang sempat kenal dengan penguasa Orde Baru dan keluarganya itu menjadi modal untuk terus meningkatkan kunjungan dari kalangan wisatawan asing.

Astana Giri Bangun yang dikelola Yayasan Mangadeg, sejauh ini memang belum memberikan keuntungan pendapatan secara langsung kepada Pemkab Karanganyar. Namun wisatawan yang berkunjung akan sekaligus menikmati obyek wisata lainnya di sekitar Karanganyar, selain menginap di hotel setempat dan berbelanja aneka produk kerajinan di pusat-pusat penjualan oleh-oleh setempat.

"Kami menilai dampak kunjungan wisatawan terhadap peningkatan ekonomi di masyarakat cukup besar. Oleh karena itu layak untuk terus diarahkan sebagai obyek wisata internasional," katanya.

Promosi di antaranya diarahkan kepada wisatawan asing yang sedang berlibur di Bali, seperti dengan mengikuti Nusa Dua Fiesta yang berlangsung 11-14 Oktober 2008 di kawasan wisata elit Nusa Dua, Bali.

"Dengan mengikuti kegiatan promosi di Nusa Dua ini, kami berharap akan semakin banyak wisatawan asing yang melanjutkan perjalanan ke Astana Giri Bangun dan obyek wisata di sekitarnya," kata Joko.

Pemkab Karanganyar juga masih menggodok hasil studi banding ke Makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur, terutama dalam kaitan mencari peluang pendapatan dengan mengenakan pungutan kepada pengunjung.

"Peluang memperoleh pendapatan asli daerah dari kunjungan wisatawan seperti di Makam Bung Karno sangat besar, namun masih perlu dibahas lebih lanjut," tambahnya. (Courtesy Kompas/Antara)

Wednesday, November 5, 2008

Wajah Malioboro pada Malam Hari Akan Berganti

Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Yogyakarta berencana lebih mengembangkan sekaligus membenahi wisata malam, khususnya yang berada di sepanjang Jalan Malioboro. "Wisata malam di Malioboro akan dibenahi, termasuk wisata kuliner, yaitu lesehan atau pentas-pentas seni yang diadakan di sudut-sudut Malioboro," kata Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Yogyakarta Hadi Muchtar di Yogyakarta, Minggu (12/10). Keseriusan pemerintah kota menata Malioboro sehingga dapat lebih dikembangkan sebagai kawasan wisata malam yang menarik, lanjut Hadi, ialah dengan menata lampu-lampu jalan. Penataan lampu jalan tersebut direncanakan berlangsung hingga akhir November. "Setelah kegiatan tersebut selesai, wajah Malioboro di waktu malam akan lain," katanya. Selain membenahi wisata malam, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya juga terus menginformasikan berbagai kalender acara, seperti rencana kegiatan di Taman Sari atau Keraton Yogyakarta. Pariwisata di Kota Yogyakarta menjadi lokomotif perekonomian karena menyumbang 38 persen dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD), di antaranya dari pajak restoran atau hotel. "Karena menjadi lokomotif ekonomi, kami berharap seluruh elemen pariwisata di Yogyakarta dapat memberikan pelayanan yang baik kepada wisatawan yang berkunjung," katanya. Pada 2008, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Yogyakarta menargetkan jumlah wisatawan yang berkunjung 1.450.000 wisatawan. Hingga akhir September, sudah tercatat satu juta wisatawan, ditambah 100.000 wisatawan selama 10 hari libur Lebaran pada Oktober. "Masih ada waktu dari pertengahan Oktober hingga akhir tahun ini," kata Hadi. Kondisi wilayah di Kota Yogyakarta yang sempit bila dibandingkan kabupaten lain di Provinsi DIY membuat pemerintah harus memutar otak untuk memaksimalkan potensi yang ada karena peluang untuk menambah tempat wisata sangat kecil. "Yang bisa dilakukan sekarang adalah mengintensifkan tempat wisata yang ada, misalnya Pasar Klitikan yang ada di Pakuncen," katanya. (Courtesy Kompas/Antara)

Tuesday, November 4, 2008

Jalan Braga Berganti Rupa

Bragaweg, Jalan Braga, masuk dalam kawasan lama kota Bandung. Jalan sepanjang sekitar 600 meter dengan lebar 7,5 meter itu kini sedang porak poranda. Kendaraan mampet di ujung jalan masuk. Setengah jalan itu kini sedang direvitalisasi dari jalan aspal menjadi jalan berbatu andesit. Alhasil, kendaraan harus antre lewat di separuh jalan lainnya dan pada akhirnya menghasilkan kemacetan yang mengular.
Sepotong jalan ini punya kisah bertumpuk, tapi yang pasti, jalan yang disesaki bangunan ala Eropa itu sempat dikenal sebagai kawasan belanja bergengsi. Sampai suatu saat tiba pada titik di mana kawasan ini kalah pamor dengan hadirnya tempat belanja modern yang menjamur di kota Kembang. Pemkot Bandung merevitalisasi Jalan Braga untuk menghidupkan kembali ikon Bandung sebagai kawasan wisata. Kini, warga Bandung harap-harap cemas menanti hasilnya.
Jalan Braga punya sejarah panjang dan tak bisa terlepas dari awal mula terbentuknya kota Bandung dan pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Jalan Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 km merupakan ambisi Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang berkuasa pada 1808-1811.
Ada beberapa versi tentang nama Braga. Dalam situs Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Society for Heritage Conservation), disebutkan, ada kalangan yang menyebut nama Braga terkait dengan sebuah perkumpulan drama Belanda yang berdiri pada tahun 1882, di mana salah satu penulis naskah dramanya bernama Theotilo Braga. Sebagian menganalisis nama Braga berasal dari nama dewa puisi dalam mitologi Jerman, Bragi.
Sastrawan Sunda berpendapat lain, Braga bisa berarti Baraga yaitu nama jalan di tepi sungai. Pendapat ini disesuaikan dengan lokasi Braga yang terletak di tepi Sungai Cikapundung.
Ide baru
Sebelum nama Braga dipakai hingga kini, nama jalan itu adalah Pedati. Nama tersebut sesuai dengan peruntukan jalan yang memang untuk jalan pedati yang mengangkut kopi dari gudang kopi (Koffie Pakhuis) yang kini menjadi gedung Balai Kota, yang berada sekitar 1 km dari Jalan Raya Pos. Jalan setapak itu dulu lebarnya 10 meter dengan kondisi becek jika hujan. Jalan itu jadi jalan penghubung dari gudang kopi ke Jalan Raya Pos (kini Jalan Asia-Afrika).
Sejarah Jalan Braga menyebutkan, tahun 1870 menjadi tahun titik balik jalan itu menjadi kawasan elit. Toko kelontong de Vries ikut menyumbang perkembangan Jalan Pedati menjadi Jalan Braga yang beken sebagai kawasan wisata elit.
Petani Priangan (Preanger Planters) yang rata-rata berduit selalu membeli kebutuhan sehari-hari di toko itu. Maka ramailah daerah itu. Perlahan, pembangunan hotel, restoran, dan bank pun terjadi. Meski demikian, tak ada data pasti kapan nama Braga dipakai menggantikan Pedati. Di jalan itu perlahan pedati pun ditinggalkan, berganti sepeda, sepeda bermotor hingga kendaraan roda empat.
Pro-kontra kini terjadi di Bandung, terkait penggantian jalan aspal dengan batu andesit. "Jalan Braga enggak punya sejarah berbatu andesit. Ini ide baru dari Pemkot Bandung untuk menghidupkan Braga lagi sebagai kawasan wisata. Segala protes sudah dilayangkan tapi, ya, proyek itu jalan terus. Kita lihat saja nanti bagaimana," kata Harastoeti DH, Ketua Bandung Society for Heritage Conservation kepada Warta Kota suatu kali. Ya, warga Bandung sedang harap- harap cemas menanti Bragaweg versi baru. (Courtesy Kompas/Antara)

Monday, November 3, 2008

Inilah 10 Destinasi Wisata Unggulan Indonesia

Pemerintah menetapkan sepuluh daerah di Indonesia yang menjadi tujuan (destinasi) pariwisata unggulan, untuk memacu pembangunan kepariwisataan nasional agar mampu bersaing dengan negara lain sekaligus memberikan kontribusi pendapatan masyarakat.

Seperti diungkapkan Wakil Dirjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Wibowo, di Sungailiat, Kabupaten Bangka, akhir pekan lalu, Penetapan sepuluh daerah destinasi pariwisata unggulan ini diharapkan mendorong masing-masing daerah meningkatkan kinerjanya dalam membangun dan mengembangkan seluruh potensi wisata yang dimilikinya.

Sepuluh daerah destinasi wisata unggulan yang ditetapkan pemerintah adalah Sulawesi Utara,Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan Papua Barat.

"Setiap tahun kami memberikan penilaian terhadap daerah yang akan ditetapkan menjadi destinasi unggulan, dengan memperhatikan berbagai aspek yaitu potensi alam, infrastruktur dan pola pikir masyarakatnya," kata Wibowo

Meski Indonesia memiliki 33 daerah destinasi wisata yang tersebar mulai dari provinsi paling Barat yaitu Nanggroe Aceh Darussalam hingga paling Timur yaitu Provinsi Papua, namun hanya 16 daerah yang menyerap 90 persen wisatawan domestik dan mancanegara.

Ke-16 destinasi wisata itu adalah Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Batam, Bali, Toba, Karakatau,Tana Toraja, Lombok, Semarang, Jawa, Sumbar, Manado, Sangalaki, Komodo dan Kupang. Dari 16 daerah itu, pemerintah kemudian menetapkan 10 daerah unggulan. (Courtesy Kompas/Antara)

Taman Kuliner Condong Catur Potensial Jadi Kawasan Wisata

Daya tarik Taman Kuliner Kabupaten Sleman di Condong Catur, Depok Sleman, terus dikembangkan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke lokasi tersebut, yang menyediakan berbagai warung makanan dan cinderamata.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Kuliner Sleman, Siti Istiqomah, Minggu (19/10), mengatakan, upaya tersebut dilakukan dengan menggelar berbagai kegiatan yang mampu mengundang minat masyarakat untuk datang. "Ada bermacam kegiatan yang dilakukan seperti ’live music’ setiap akhir pekan maupun berbagai kegiatan pameran dan pertunjukan lain seni," katanya.

Taman Kuliner juga terbuka untuk masyarakat umum yang ingin mengadakan kegiatan seperti pesta ulang tahun, syukuran atau seminar. "Kegiatan-kegiatan masyarakat umum tersebut diharapkan juga akan semakin memperkenalkan Taman Kuliner ke masyarakat yang lebih luas," katanya.

Menurut dia, Taman Kuliner juga selalu diperkenalkan kepada para tamu yang berkunjung baik untuk berwisata maupun studi banding ke Sleman sehingga taman tersebut diharapkan dapat semakin dikenal masyarakat luar daerah. "Kami juga meminta para pedagang untuk menghormati pengunjung dengan bersikap ramah dan tidak memukul konsumen dengan harga tinggi saat kunjungan sedang ramai karena ini dapat merusak citra," katanya.

Taman Kuliner Condong Catur, Sleman, yang berlokasi di tepian sungai Gajah Wong Jalan Angga Jaya, Condong Catur, Depok, Sleman, telah diisi oleh banyak pedagang mulai dari pedagang makanan dan hidangan khas, kerajinan dan cinderamata, makanan kemasan, buah dan sampai toko kelontong.

"Taman Kuliner ini memiliki luas 1,5 hektare, yang didisain dengan konsep penggabungan unsur taman serta sarana hiburan dan olahraga dan terdapat berbagi fasilitas resto dengan berbagai menu makanan," katanya. (Courtesy Kompas/Antara)

Sunday, November 2, 2008

Jambi Siapkan Aneka Festival Wisata

Jambi pada tahun depan menggelar berbagai kegiatan pengembangan pariwisata termasuk di antaranya Festival Candi Muarojambi pada Mei 2009, sebagai upaya menarik wisatawan mancanegara berkunjung ke daerah itu.

"Pada 2009 menyambut program 'Visit Jambi Year', Pemerintah Provinsi Jambi selain menggelar Festival Candi juga mengadakan lomba Arung Jeram Internasional di Sungai Batang Merangin," kata Kasubdin Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi, Drs Risnal.

Untuk tahun depan Dispbudpar Jambi sudah menyiapkan dan membuat empat even besar bertaraf nasional dan internasional dalam upaya menarik wisatawan datang ke Jambi.

Selain Festival Candi Muarojambi pada Mei 2009 dan Arum Jeram di Merangin (Juni), juga akan digelar Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci di Kab. Kerinci pada Juli dan Pekan Pesona Budaya Jambi dilakukan Desember di Kota Jambi.

Disbudpar Jambi selain menggelar empat even besar, juga digelar beberapa even pendukung lainnya yakni Festival Barongsai Internasional di Kota Jambi pada Juli 2009.

Selanjutnya kegiatan olahraga otomotif offroad tingkat internasional di Kab. Merangin pada Juni 2009, Festival Layang-layang di Kerinci pada Nopember dan Jambi bertabur Diskon pada Mei di seluruh kabupaten dan kota.

Festival pendukung lainnya juga digelar lomba cerita dongeng rakyat tingkat internasional, temu teater dan pameran lukisan se Sumatera yang digelar pada Nopember dan Desember 2009.

Dari berbagai rangakain kegiatan tersebut diharapkan jumlah kunjungan wisatawan pada 2009 meningkat. Jumlah wisatawan manca negara dan nusantara yang datang ke Provinsi Jambi pada 2008 sudah mencapai 800 ribu orang. (Courtesy Kompas/Antara)