Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, November 13, 2008

Pelajaran dari Raksasa Tua yang Membatu

GEREJA di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua, Jakarta Barat, seperti raksasa tua yang membatu di tengah hiruk-pikuk kemacetan kota. Seorang Satpam mempersilakan. Pintu masuk gereja terbuka. Empat kandelar lilin besar dengan reflektor berbentuk perisai bersimbol Batavia, tergantung di keempat sudut ruang sejak lebih 300 tahun lalu.

Sebuah mimbar bergaya barok karya H Bruyn (1695), berdiri di tengah altar. Di atasnya, terpasang kanopi dari Gereja Kubah di dalam kota Batavia lainnya yang dibongkar Gubernur Jenderal Belanda Daendels, tahun 1808. Mantan Kepala Tata Usaha dan Anggota Majelis Gereja Sion, Hadikusumo, Selasa (8/7/2008) siang menjelaskan, pembuatan mimbar bersegi delapan dengan paduan ukiran China, Eropa dan India ini, menghabiskan biaya 260 ringgit. Bandingkan dengan biaya pembangunan gereja yang 3000 ringgit di tahun 1695.

Menghadap altar, di sebelah kanan, berderet kursi besar berukir buatan pertengahan abad ke-17. Dibuat khusus bagi para petinggi VOC, termasuk buat gubernur jenderal Belanda. Di tengah atas sandaran kursi yang terbuat dari kayu hitam itu terukir kitab suci yang terbuka. Dikiri-kanannya dua malaikat kecil. Ada pula deretan bangku khusus untuk para penatua dan pendeta.

Di salah satu dinding gereja, ada batu bertulis dalam bahasa Belanda, "Batu pertama gereja ini diletakkan 19 Oktober 1693 oleh Pieter van Hoorn". Di lantai atas, bagian belakang, terletak orgel tua dengan pipa-pipa panjang. Di samping kiri orgel, tampak sebuah roda besi. Roda bersabuk karet ini berfungsi mengisi angin yang meniup pipa-pipa nada ketika tuts orgel ditekan. "Ada dua orang yang memutar roda besi selama ibadah berlangsung. Tetapi sejak kedua pekerja pensiun tahun 1982, kami menggunakan perangkat listrik untuk mengisi angin," jelas Hadikusumo.

Ia menjelaskan, sejak dua tahun lalu, gereja yang dirancang Ewout Verhagen dari Rotterdam itu kini dilengkapi delapan AC besar dan pintu masuk lapis kaca. Setiap pekan pertama, orgel digunakan mengiringi koor, sementara sang pendeta berkhotbah di atas mimbar berkanopi. Di serambi gereja, terdapat 11 nisan makam. Awalnya, jumlah makam yang berada di sekeliling gereja mencapai 2.381 makam. Ke 2381 makam itu adalah korban ketika berjangkit wabah penyakit.

Mardijker

Gereja Sion dibangun di atas lahan seluas 6.725 meter persegi dengan luas bangunan 32 X 24 meter persegi. Bangunan ini didirikan di atas tiang pancang kayu besi sebanyak 10.000 batang. Kini, halaman gereja bertiang enam ini menyusut setelah tergusur pelebaran Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua, masing-masing lima meter. “Bukan hanya halaman gerejanya saja yang tergusur, tetapi juga 200 jemaatnya yang dulunya tinggal di Mangga Dua,” kata Hadikusumo.

Kehadiran Gereja Sion mengantar kita pada kisah panjang kaum mardijker (budak yang dibebaskan dengan syarat memeluk agama Protestan dan menggunakan bahasa Belanda) di Batavia.

Sebelum dibangun gereja, di tempat itu berdiri sebuah kapel atau gereja kecil (1675) bagi para budak Katolik (A Heuken SJ: Gereja-gereja Tua di Jakarta, Cipta Loka Caraka, 2003). Di sekitar kapel, para budak ini tinggal dan beranak pinak. Mereka berasal dari Bengal, Malabar, Koromandel, dan Srilanka, koloni Portugis di India. Mereka umumnya Katolik dan berbahasa Portugis.

Setelah VOC (Vereenigde oostindische Compagnie) merebut koloni-koloni Inggris, VOC membawa mereka ke Batavia untuk membangun kota. Sejak 1628, cikal bakal kaum mardijker ini membanjiri pinggiran dan kota Batavia. Tahun 1709, jumlah mereka di pinggiran kota mencapai 6.903 jiwa, sementara etnis Bugis 4.959 jiwa, dan imigran China 6.393 jiwa (Remco Raben: Jakarta Batavia, Esai Sosio-Kultural, Banana KITLV, Jakarta 2007).

Gereja Sion dibangun setelah para budak menjadi mardijker. Ketika mulai digunakan, gereja dalam kota rusak, terbakar. Komunitas VOC, para petinggi dan keluarganya, pindah beribadah ke Gereja Sion. Lama kelamaan, gereja menjadi etalase kemewahan kaum elit Batavia. Kaum mardijker pun terusir dari sana.

Mereka lalu pindah ke lokasi yang saat ini disebut Kampoeng Toegoe di Kelurahan Tugu, Kecamatan Koja, dan Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. "Kata Toegoe berasal dari kata, 'Por "tugu" ese'. Kampung ini terbentuk tahun 1661," jelas Arthur James Michiels (40), Humas Ikatan Keluarga Besar Toegoe (IKBT).

Tahun 1738, mereka membangun gereja, tetapi dihancurkan orang-orang China dalam peristiwa pemberontakan China tahun 1740. "Mereka menganggap, mardijker adalah kaki tangan VOC," lanjut Ketua IKBT, Andre Juan Michiels. Tahun 1744-1747, atas kebaikan hati tuan tanah Justinus Vinck, dibangunlah gereja baru yang hingga kini berdiri dan dikenal sebagai Gereja Toegoe.

Di akhir abad 18, jumlah kaum mardijker kian menyusut, sehingga dua kompi mardijker dibubarkan. Kapten terakhir kelompok ini adalah A Michiels, nenek moyang Arthur dan Andre yang meninggal tahun 1833.

Ketika muncul gerombolan bersenjata tahun 1947, sebagian orang-orang Toegoe diungsikan ke Pejambon, Jakarta Pusat (Jakpus) oleh dua sesepuh Toegoe, Mathias Michiels dan Rusjard Michiels. Tepatnya, di belakang Gereja Immanuel, Jakarta Pusat atau di seberang Stasiun Kereta Api Gambir.

Kini, jumlah mereka di kedua tempat itu tinggal sekitar 700 jiwa. Sebagian keturunan mereka, keluarga Salomons, Hendriks, Da Costa, dan Seymons, hilang. Yang berkembang tinggal dari keluarga Abrahams, Andries, Cornelis, Michiels, Quiko, dan Braune.

Perbudakan

Untuk membangun Batavia, awal abad ke-17, VOC membawa banyak imigran, terutama dari kalangan mardijker dan China. Kaum mardijker dibawa ke Batavia sebagai budak setelah Belanda merebut sejumlah koloni Portugis. Ketika Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen berkuasa, ia mengerahkan orang-orang China asal Fukien, China Selatan. Di bawah pimpinan Kapitan So Beng Kong, masyarakat China itu mendirikan kastil dan kota Batavia. Penggantinya, Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier (1737-1741) melanjutkan kebijakan pendahulunya.

Akibat kaum imigran China bebas masuk ke Batavia, populasi mereka meluap. Remco Raben mencatat, jika tahun 1709 jumlah imigran terbesar di pinggiran Batavia masih didominasi kaum mardijker, maka tahun 1719 jumlah imigran China menjadi yang tertinggi, 7.550 jiwa. Saat itu, jumlah kaum mardijker merosot menjadi 6.634 jiwa. Tahun 1739, jumlah imigran China mencapai 10.574 jiwa, sementara kaum mardijker 5.247 jiwa, dan etnis Bugis 4.521 jiwa.

Meski para imigran China bukan budak, mereka diperas oleh berbagai macam pajak "China" oleh VOC. Pajak-pajak tersebut membuat sebagian besar mereka jatuh miskin. Meski demikian, VOC terus memaksa mereka membayar pajak "China" itu. Nasib mereka tak ubahnya para budak. Tak tahan lagi menghadapi penindasan VOC, tahun 1740, mereka memberontak (baca tulisan “Angke…Genosida 1740”).

Kalangan Feodal

Perbudakan kala itu bukan hanya dilakukan VOC, tetapi juga dilakukan kalangan elit feodal pribumi yang membuka pasar budak di Makassar dan Bali. Di kedua pasar itu, tulis Heuken, kaki tangan kalangan menak dan raja dari Makassar, Bugis, Ende, dan Bali, menyeret orang-orang desa yang tak bersalah dari kawasan Indonesia Timur, menjadi budak.

Dari kedua pasar, para budak dijual ke Batavia. Pasar budak pun meluap. Hendrik E Niemmeijer (Jakarta Batavia, Esai Sosio-Kultural, Banana KITLV, Jakarta 2007) menyebutkan, tahun 1679, dari 32.124 penduduk Batavia, sebanyak 16.124 diantaranya adalah budak! Harga budak pun jatuh karena jumlahnya melimpah. Tenaga murah dan budak yang awalnya dimanfaatkan untuk membangun kota, gudang, pelabuhan, dan galangan kapal, akhirnya dimanfaatkan kalangan elit Belanda, China, Arab, serta Melayu untuk kepentingan pribadi mereka.

Para budak bekerja di rumah dan perkebunan kaum kaya raya itu. Para nyonya besar lalu menjadikan jumlah budak yang ada di rumah mereka sebagai bagian dari gengsi. Kaum kaya raya itu bangga bila tampil di tengah publik dengan belasan budak memayungi, membawa bekal, perlengkapan, serta pernak-pernik lain mereka.

Sebagai ilustrasi Remco menulis, orang Bali bernama Wayahan Ayunan yang meninggal tahun 1726, memiliki 22 budak. Sebelas di antaranya datang dari Bali, tujuh orang adalah kelahiran rumah (lahir di rumah majikan), dan empat berasal dari Toraja, Tambora, Kaili, dan Sumba. Tahun 1759, perempuan China bernama Goey Teknio, mempunyai sembilan budak. Tiga berasal dari Bali, dan seorang masing-masing dari Bugis, Sumbawa, Malaka, Makassar, Timor, serta Batak.

Tahun 1860, perbudakan oleh bangsa asing dan elit feodal pribumi di Batavia, berakhir. Maka seharusnya, berakhir pulalah era di mana agama dijadikan iming-iming pembebasan dan kesejahteraan seperti dilakukan VOC terhadap kaum mardijker. Barangkali, itulah hikmah dari kehadiran Gereja Sion. (Courtesy Kompas/Antara)

No comments: