UDARA siang itu terasa sangat sejuk apalagi saat melalui jalan aspal berkelok-kelok di perbukitan. Sekitar 50 kilometer telah ditempuh dari kota Manado melewati Tomohon menuju jalan di perbukitan ini. Tujuannya satu, mencapai patung salib putih yang berada di perbukitan hijau bila dilihat dari kawasan pantai Bouevard, Manado.Ternyata patung salib putih ini berada di puncak pertama obyek wisata Bukit Kasih yang berada di Desa Kanonang, Kecamatan Kawangkoan, Minahasa. Setelah tiba di areal Bukit Kasih, kabut tipis masih melingkupi daerah perbukitan di lereng Gunung Soputan tersebut.Terdapat monumen Kehidupan Bersama di halaman bawah di mana di bagian bawahnya memuat cuplikan isi kitab suci lima agama di Indonesia. Kontur tanah yang berbukit-bukit dengan vegetasi hijau khas dataran tropis menjadikan cuaca di tempat ini sejuk sepanjang hari.Berkeliling kawasan ini, pengunjung dapat menaiki anak tangga yang berada di sisi kanan maupun kiri monumen itu. Anak tangga di sebelah kiri bentuknya lebih landai dan lebih dekat menuju puncak pertama berupa salib putih setinggi kurang lebih 53 meter.Sementara itu, anak tangga sebelah kanan lebih menanjak dengan jarak antar anak tangga sangat tinggi. Ujung anak tangga ini pada puncak kedua di mana terdapat lima rumah ibadah agama di Sulawesi Utara yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Tetapi bila mau melanjutkan ke puncak pertama, ada pula jalan memutar menuju ke sana.Keberadaan lima rumah ibadah agama tersebut menjadi penanda dan alasan tempat ini diberi nama Bukit Kasih. Kelima agama dengan rumah ibadah masing-masing berdampingan dengan rukun, bersahabat dan penuh kasih. Inilah semangat yang dibawa saat pembangunan obyek wisata pada 2002 tersebut.Keistimewaan lain bukit ini, dulunya terdapat waruga atau makam batu leluhur suku Minahasa yakni Toar dan Lumimuut. Saat ini untuk menandai hal itu, dibuatlah patung bergambar wajah kedua tokoh itu di lereng Bukit Kasih, tepatnya di bawah patung salib putih.Selain itu, di kawasan ini juga terdapat kawah dengan mata air belerang di tengah-tengah bukit. Penduduk sekitar menggunakan mata air hangat ini sebagai sarana mata pencaharian yakni untuk merebus umbi-umbian, jagung manis, kacang-kacangan, dsb. Wisatawan dapat menikmati sajian hangat yang dijual di sekitar areal itu dengan harga yang cukup murah. Hidangan khas pedesaan itu bisa juga sebagai bekal untuk menaiki sekitar 2.453 anak tangga yang ada di kawasan itu. Bila tiba di puncak, bekal tersebut dapat dinikmati, apalagi udara di tempat itu tergolong dingin. Setelah berkeliling seluruh area, kaki terasa pegal, tak ada salahnya mencoba mandi air hangat di dekat mata air belerang. Dengan merogoh kocek Rp 5 ribu, khasiat air hangat yang mengandung belerang ini bisa dirasakan. Seperti melancarkan peredaran darah, menyembuhkan kram, penyakit kulit, dsb.Semua keindahan di bukit yang menjadi simbol kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara ini mulai memudar. Pasalnya, saat kunjungan ke sana minggu lalu, tiba di puncak kedua, keadaan lima rumah ibadah sangat memprihatinkan. Atap bangunan yang terbuat dari seng dan genteng sudah berserakan dan ada yang tak ada gentengnya sama sekali.Saat ditanyakan ke pengelola kawasan wisata tersebut, mereka menjawab sudah ada dana dari pemerintah daerah tetapi hingga kini belum juga cair. Menurut pengelola tempat yang enggan disebut namanya, selama ini ia hanya berharap ada perhatian dari pemerintah terhadap kondisi obyek wisata ini.Yah, semoga harapan dapat segera digenggam dan tak hanya menjadi sekadar cerita. (Courtesy Kompas/Antara)
Monday, March 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Cerita tentang tempat ini mengingatkan kerinduanku tentang perdamaian antar - intern umat beragama Indonesia..
Post a Comment