Jika ditanyakan kepada masyarakat Bukittinggi apa yang menjadi ikon dari kota berudara sejuk ini, maka dengan serempak mereka akan menjawab: Jam Gadang!
Sejak awal berdirinya, lokasi Jam Gadang merupakan jantung kota Bukittinggi. Bangunan semacam tugu setinggi 26 meter dengan bulatan jam di keempat sisi bagian atasnya ini dibangun pada tahun 1826 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur atau Sekretaris Kota Bukittinggi waktu itu, Rook Maker. Jadi, umurnya sudah lebih dari 180 tahun. Pembangunannya diselesaikan oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh dan biaya pembangunan ‘hadiah’ ini mencapai 3.000 Gulden pada saat itu.
Bentuk atap Jam Gadang telah mengalami tiga kali penyesuaian dari waktu ke waktu. Pada jaman Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di atasnya. Pada waktu Jepang berkuasa di tanah air, mereka mengganti bentuk atapnya seperti atap klenteng. Kemudian setelah kemerdekaan diproklamirkan, bentuk atapnya diubah menjadi bergonjong empat seperti atap rumah adat Minangkabau dan bermotifkan pucuk rebung. Bagian atas Jam Gadang ini masih terlihat dari kawasan Jempatan Limpapeh yang berjarak sekitar 1 km dari lokasi.
Bulatan jam yang terletak di bagian atas di keempat sisi tugu ini berdiameter 80 cm dengan latar belakang putih sementara tulisan angka dan jarumnya berwarna hitam. Terdapat keunikan penulisan angka pada Jam Gadang. Angka empat yang seharusnya dilambangkan dengan ‘IV’ dalam bentuk Romawi, dituliskan ‘IIII’.
Jam Gadang yang denah dasarnya berukuran 13x4 meter ini berdiri di atas kawasan Taman Sabai Nan Aluih di depan Istana Bung Hatta. Di kawasan ini ditanam sejumlah pohon sehingga makin terasa rindang. Pemerintah daerah juga melengkapinya dengan kursi-kursi beton untuk bersantai. Taman ini selalu ramai, mulai pagi, siang, sore hingga malam hari. Tua muda selalu memanfaatkan kawasan ini untuk bersantai. Bahkan, banyak orang tua muda membawa putra-putrinya bermain di tempat ini pada sore hari.
Di kawasan ini juga tersedia andong atau sado yang disebut Bendi untuk berkeliling-keliling di kawasan pusat kota. Untuk masyarakat biasa, tarif yang dikenakan biasanya Rp 2.500 jauh dekat. Sementara khusus untuk wisatawan, tarifnya bisa membengkak hingga Rp 25.000-Rp 50.000 sesuai negosiasi.
Di dekatnya, terdapat pula Pasar Atas yang merupakan pusat perdagangan di Bukittinggi. Pasar ini biasanya ramai pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu. Berbagai barang dijual di pasar ini, mulai dari sayur dan buah-buahan, pakaian hingga berbagai macam kerajinan tangan berupa tenun, kerajinan perak, hingga kaus dan baju yang menunjukkan citra Minangkabau. Semuanya dijual dengan harga miring.
Di Bukittinggi, banyak sekali obyek wisata yang bisa disambangi. Namun Jam Gadang biasanya menjadi sentra para wisatawan sebelum beranjak ke obyek wisata lainnya. Memilih beberapa penginapan yang berserakan di sekitar kawasan Jam Gadang juga dapat menjadi pilihan jika ingin secara leluasa melihat jam ini berpose pada waktu terang ataupun gelap, yaitu di sepanjang Jalan Laras Dt. Bandaro-jalan Soekarno Hatta-Jalan Dr. A. Rivai-Jalan Jenderal Sudirman.
Jika menengadah melihat puncak Jam Gadang pada waktu pagi hingga sore hari, kemegahannya tampak sempurna dengan didukung oleh latar belakang langit yang biru. Sedangkan pada waktu malam, temaram lampu taman yang berwarna kuning membuat taman ini tampak eksotik dan romantis. Pantang meninggalkan kawasan Jam Gadang tanpa foto. Namun, jangan khawatir, jika datang ke kawasan ini tanpa kamera, pengunjung dapat memanfaatkan jasa fotografer keliling untuk mengabadikan diri dengan latar belakang Jam Gadang. (Courtesy by Konpas/Antara)
Sejak awal berdirinya, lokasi Jam Gadang merupakan jantung kota Bukittinggi. Bangunan semacam tugu setinggi 26 meter dengan bulatan jam di keempat sisi bagian atasnya ini dibangun pada tahun 1826 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur atau Sekretaris Kota Bukittinggi waktu itu, Rook Maker. Jadi, umurnya sudah lebih dari 180 tahun. Pembangunannya diselesaikan oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh dan biaya pembangunan ‘hadiah’ ini mencapai 3.000 Gulden pada saat itu.
Bentuk atap Jam Gadang telah mengalami tiga kali penyesuaian dari waktu ke waktu. Pada jaman Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di atasnya. Pada waktu Jepang berkuasa di tanah air, mereka mengganti bentuk atapnya seperti atap klenteng. Kemudian setelah kemerdekaan diproklamirkan, bentuk atapnya diubah menjadi bergonjong empat seperti atap rumah adat Minangkabau dan bermotifkan pucuk rebung. Bagian atas Jam Gadang ini masih terlihat dari kawasan Jempatan Limpapeh yang berjarak sekitar 1 km dari lokasi.
Bulatan jam yang terletak di bagian atas di keempat sisi tugu ini berdiameter 80 cm dengan latar belakang putih sementara tulisan angka dan jarumnya berwarna hitam. Terdapat keunikan penulisan angka pada Jam Gadang. Angka empat yang seharusnya dilambangkan dengan ‘IV’ dalam bentuk Romawi, dituliskan ‘IIII’.
Jam Gadang yang denah dasarnya berukuran 13x4 meter ini berdiri di atas kawasan Taman Sabai Nan Aluih di depan Istana Bung Hatta. Di kawasan ini ditanam sejumlah pohon sehingga makin terasa rindang. Pemerintah daerah juga melengkapinya dengan kursi-kursi beton untuk bersantai. Taman ini selalu ramai, mulai pagi, siang, sore hingga malam hari. Tua muda selalu memanfaatkan kawasan ini untuk bersantai. Bahkan, banyak orang tua muda membawa putra-putrinya bermain di tempat ini pada sore hari.
Di kawasan ini juga tersedia andong atau sado yang disebut Bendi untuk berkeliling-keliling di kawasan pusat kota. Untuk masyarakat biasa, tarif yang dikenakan biasanya Rp 2.500 jauh dekat. Sementara khusus untuk wisatawan, tarifnya bisa membengkak hingga Rp 25.000-Rp 50.000 sesuai negosiasi.
Di dekatnya, terdapat pula Pasar Atas yang merupakan pusat perdagangan di Bukittinggi. Pasar ini biasanya ramai pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu. Berbagai barang dijual di pasar ini, mulai dari sayur dan buah-buahan, pakaian hingga berbagai macam kerajinan tangan berupa tenun, kerajinan perak, hingga kaus dan baju yang menunjukkan citra Minangkabau. Semuanya dijual dengan harga miring.
Di Bukittinggi, banyak sekali obyek wisata yang bisa disambangi. Namun Jam Gadang biasanya menjadi sentra para wisatawan sebelum beranjak ke obyek wisata lainnya. Memilih beberapa penginapan yang berserakan di sekitar kawasan Jam Gadang juga dapat menjadi pilihan jika ingin secara leluasa melihat jam ini berpose pada waktu terang ataupun gelap, yaitu di sepanjang Jalan Laras Dt. Bandaro-jalan Soekarno Hatta-Jalan Dr. A. Rivai-Jalan Jenderal Sudirman.
Jika menengadah melihat puncak Jam Gadang pada waktu pagi hingga sore hari, kemegahannya tampak sempurna dengan didukung oleh latar belakang langit yang biru. Sedangkan pada waktu malam, temaram lampu taman yang berwarna kuning membuat taman ini tampak eksotik dan romantis. Pantang meninggalkan kawasan Jam Gadang tanpa foto. Namun, jangan khawatir, jika datang ke kawasan ini tanpa kamera, pengunjung dapat memanfaatkan jasa fotografer keliling untuk mengabadikan diri dengan latar belakang Jam Gadang. (Courtesy by Konpas/Antara)
No comments:
Post a Comment