KALAU ada kota tua yang masih terpelihara, Kota Sawahlunto adalah salah satunya. Memasuki pusat Kota Sawahlunto—sekitar 90 kilometer dari Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat—pemandangan kota tua yang masih terpelihara langsung menyeruak pandangan mata. Sejumlah bangunan tua peninggalan Belanda masih menjadi tempat tinggal penduduk, perkantoran, atau aneka kios.
Nama Sawahlunto mulai muncuat di dunia internasional setelah Belanda menemukan potensi batu bara di perut Sawahlunto pada abad ke-19. Batu bara mulai berkilat di Sawahlunto setelah ahli geologi Belanda, Willem Hendrik de Greve, melihat ada potensi batu bara di perut Sungai Ombilin, salah satu sungai di Sawahlunto.
Temuan itu dilaporkan ke Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1868-1872. Penelitian kedua gagal dilakukan lantaran Greve terseret arus Sungai Ombilin dan meninggal pada 22 Oktober 1872.
Penambangan batu bara mulai dikerjakan Belanda tahun 1880 di lapangan Sungai Durian. Tahun 1892, produksi perdana batu bara Sawahlunto mencapai 48.000 ton. Pengangkutan batu bara ketika itu menggunakan kereta api.
Hingga kini penambangan batu bara masih tetap ada di Sawahlunto. Selain penambangan oleh PT Bukit Asam, penambangan batu bara dalam skala rakyat ditemui di luar pusat kota.
Kejayaan tambang batu bara zaman Belanda masih tersisa dalam sejumlah bangunan, seperti silo. Silo berbentuk tiga silinder besar yang berfungsi sebagai penimbun batu bara yang telah dibersihkan dan siap diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur. Silo masih berdiri kokoh di tengah kota ini kendati tidak berfungsi apa-apa selain sebagai monumen yang mengingatkan kejayaan batu bara di Sawahlunto ketika itu.
”Sirene di silo masih berbunyi setiap pukul 07.00, 13.00, dan 16.00,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Kota Sawahlunto Tun Huseno. Bunyi-bunyi itulah yang menandakan jam kerja orang rantai atau narapidana yang dijadikan kuli pengambil batu bara itu.
Lubang Mbah Soero
Ekspansi tambang baru terus dilakukan Belanda pada tahun 1892. Lubang tambang baru dibuka di lorong bawah tanah pusat kota Sawahlunto. Lokasi tambang dinamakan Lubang Tambang Soegar. Gara-gara Mbah Soero menjadi mandor, lubang yang melintasi bawah tanah pusat Kota Sawahlunto itu juga dinamakan Lubang Tambang Batu Bara Mbah Soero.
Sayangnya, kondisi lubang tambang ini tidak terlampau baik. Kedekatan lubang tambang dengan Sungai Lunto menjadikan rembesan air mengalir begitu deras ke dalam lubang. Sebelum tahun 1930, Belanda menutup lubang ini.
Ketika Pemerintah Kota Sawahlunto hendak membuka kembali lubang tambang ini untuk kepentingan pariwisata, mereka mendapati lubang penuh dengan air. ”Butuh waktu 22 hari untuk menyedot air keluar dari tambang,” tutur Willizon (51), juru kunci lubang tambang Mbah Soero.
Tetapi, tunggu dulu. Ada satu versi lagi yang berkembang di masyarakat seputar penutupan Lubang Tambang Batu Bara Mbah Soero. Sebagian masyarakat meyakini penutupan lubang itu terkait dengan keinginan Belanda untuk menyimpan deposit batu bara untuk kelak kemudian hari.
Kepala Bidang Pertambangan dan Energi Kota Sawahlunto Medi Iswandi memperkirakan deposit batu bara di Lubang Mbah Soero itu masih tersisa sekitar 40 juta ton. ”Kita bisa melihat batu bara berwarna hitam di sisi-sisi terowongan. Batu bara ini yang ditambang saat proses penambangan masih berlangsung,” kata Medi.
Lubang tambang yang kembali dibuka Pemkot Sawahlunto pada pertengahan tahun 2008 itu memang masih menyimpan banyak kandungan batu bara. Sebagian dinding serta atap lubang tambang dipenuhi dengan batu bara. ”Batu bara yang ada mempunyai kualitas baik, yakni 6.000-7.000 kalori,” ujar Willizon lagi.
Kilatan cahaya pantulan dari senter kepala para pengunjung menjadikan batu bara ini tampak gemerlapan. Sebagian tembok menampilkan susunan batu bata yang merupakan peninggalan zaman Belanda.
Walaupun dipenuhi batu bara, Medi menjamin gas berbahaya, seperti metan, monooksida, atau belerang, tidak ditemukan di terowongan itu sehingga aman bagi pengunjung. Pemantauan gas-gas berbahaya dilakukan pemkot hampir setiap hari. Sebuah pipa besar berisi oksigen dimasukkan ke dalam terowongan agar pengunjung tidak sesak napas ketika melintas di terowongan.
Ramainya penambangan pada masa kekuasaan Belanda juga membutuhkan sebuah dapur umum yang bisa memproduksi makanan setiap waktu untuk ribuan orang. Tempat yang sekarang menjadi Museum Goedang Ransoem adalah dapur umum pada waktu itu. Beberapa replika peralatan masak menjadi pengisi museum ini. Terbayanglah betapa banyak kuli tambang yang dipekerjakan dan harus diberi makan setiap hari.
Sebuah tungku penghasil uap air bertekanan tinggi masih berdiri kokoh di samping bangunan dapur. Uap dari tungku ini dialirkan lewat pipa yang berhubungan dengan lantai dasar dapur, lalu berubah bentuk menjadi energi panas untuk mematangkan masakan.
Di dapur inilah, Belanda mempekerjakan para perempuan dan anak untuk memasak selagi suami atau ayah mereka bekerja, sementara anak- anak Belanda bersama orangtua mereka asyik menyaksikan pertunjukan di gedung societet—kini Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto—anak buruh tambang harus bersimbah peluh, mengupas bawang dan aneka bumbu lain di ruangan yang panas oleh uap untuk memasak makanan./* (Courtesy Kompas/Antara)
Nama Sawahlunto mulai muncuat di dunia internasional setelah Belanda menemukan potensi batu bara di perut Sawahlunto pada abad ke-19. Batu bara mulai berkilat di Sawahlunto setelah ahli geologi Belanda, Willem Hendrik de Greve, melihat ada potensi batu bara di perut Sungai Ombilin, salah satu sungai di Sawahlunto.
Temuan itu dilaporkan ke Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1868-1872. Penelitian kedua gagal dilakukan lantaran Greve terseret arus Sungai Ombilin dan meninggal pada 22 Oktober 1872.
Penambangan batu bara mulai dikerjakan Belanda tahun 1880 di lapangan Sungai Durian. Tahun 1892, produksi perdana batu bara Sawahlunto mencapai 48.000 ton. Pengangkutan batu bara ketika itu menggunakan kereta api.
Hingga kini penambangan batu bara masih tetap ada di Sawahlunto. Selain penambangan oleh PT Bukit Asam, penambangan batu bara dalam skala rakyat ditemui di luar pusat kota.
Kejayaan tambang batu bara zaman Belanda masih tersisa dalam sejumlah bangunan, seperti silo. Silo berbentuk tiga silinder besar yang berfungsi sebagai penimbun batu bara yang telah dibersihkan dan siap diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur. Silo masih berdiri kokoh di tengah kota ini kendati tidak berfungsi apa-apa selain sebagai monumen yang mengingatkan kejayaan batu bara di Sawahlunto ketika itu.
”Sirene di silo masih berbunyi setiap pukul 07.00, 13.00, dan 16.00,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Kota Sawahlunto Tun Huseno. Bunyi-bunyi itulah yang menandakan jam kerja orang rantai atau narapidana yang dijadikan kuli pengambil batu bara itu.
Lubang Mbah Soero
Ekspansi tambang baru terus dilakukan Belanda pada tahun 1892. Lubang tambang baru dibuka di lorong bawah tanah pusat kota Sawahlunto. Lokasi tambang dinamakan Lubang Tambang Soegar. Gara-gara Mbah Soero menjadi mandor, lubang yang melintasi bawah tanah pusat Kota Sawahlunto itu juga dinamakan Lubang Tambang Batu Bara Mbah Soero.
Sayangnya, kondisi lubang tambang ini tidak terlampau baik. Kedekatan lubang tambang dengan Sungai Lunto menjadikan rembesan air mengalir begitu deras ke dalam lubang. Sebelum tahun 1930, Belanda menutup lubang ini.
Ketika Pemerintah Kota Sawahlunto hendak membuka kembali lubang tambang ini untuk kepentingan pariwisata, mereka mendapati lubang penuh dengan air. ”Butuh waktu 22 hari untuk menyedot air keluar dari tambang,” tutur Willizon (51), juru kunci lubang tambang Mbah Soero.
Tetapi, tunggu dulu. Ada satu versi lagi yang berkembang di masyarakat seputar penutupan Lubang Tambang Batu Bara Mbah Soero. Sebagian masyarakat meyakini penutupan lubang itu terkait dengan keinginan Belanda untuk menyimpan deposit batu bara untuk kelak kemudian hari.
Kepala Bidang Pertambangan dan Energi Kota Sawahlunto Medi Iswandi memperkirakan deposit batu bara di Lubang Mbah Soero itu masih tersisa sekitar 40 juta ton. ”Kita bisa melihat batu bara berwarna hitam di sisi-sisi terowongan. Batu bara ini yang ditambang saat proses penambangan masih berlangsung,” kata Medi.
Lubang tambang yang kembali dibuka Pemkot Sawahlunto pada pertengahan tahun 2008 itu memang masih menyimpan banyak kandungan batu bara. Sebagian dinding serta atap lubang tambang dipenuhi dengan batu bara. ”Batu bara yang ada mempunyai kualitas baik, yakni 6.000-7.000 kalori,” ujar Willizon lagi.
Kilatan cahaya pantulan dari senter kepala para pengunjung menjadikan batu bara ini tampak gemerlapan. Sebagian tembok menampilkan susunan batu bata yang merupakan peninggalan zaman Belanda.
Walaupun dipenuhi batu bara, Medi menjamin gas berbahaya, seperti metan, monooksida, atau belerang, tidak ditemukan di terowongan itu sehingga aman bagi pengunjung. Pemantauan gas-gas berbahaya dilakukan pemkot hampir setiap hari. Sebuah pipa besar berisi oksigen dimasukkan ke dalam terowongan agar pengunjung tidak sesak napas ketika melintas di terowongan.
Ramainya penambangan pada masa kekuasaan Belanda juga membutuhkan sebuah dapur umum yang bisa memproduksi makanan setiap waktu untuk ribuan orang. Tempat yang sekarang menjadi Museum Goedang Ransoem adalah dapur umum pada waktu itu. Beberapa replika peralatan masak menjadi pengisi museum ini. Terbayanglah betapa banyak kuli tambang yang dipekerjakan dan harus diberi makan setiap hari.
Sebuah tungku penghasil uap air bertekanan tinggi masih berdiri kokoh di samping bangunan dapur. Uap dari tungku ini dialirkan lewat pipa yang berhubungan dengan lantai dasar dapur, lalu berubah bentuk menjadi energi panas untuk mematangkan masakan.
Di dapur inilah, Belanda mempekerjakan para perempuan dan anak untuk memasak selagi suami atau ayah mereka bekerja, sementara anak- anak Belanda bersama orangtua mereka asyik menyaksikan pertunjukan di gedung societet—kini Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto—anak buruh tambang harus bersimbah peluh, mengupas bawang dan aneka bumbu lain di ruangan yang panas oleh uap untuk memasak makanan./* (Courtesy Kompas/Antara)
No comments:
Post a Comment