Anai Leu Ita! Sapaan ramah, senyum lebar, dan tatapan hangat merupakan paket indah yang bisa diperoleh jika berkunjung ke daerah hulu Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. Balaslah dengan senyuman untuk paket gratis yang sudah diterima.Desa Madobak, Ugai, dan Matotonan sebenarnya hanya tiga dari sejumlah desa di daerah hulu Kecamatan Siberut Selatan. Masih ada desa-desa lain, seperti Rokdok dan Butui, dengan keistimewaan yang hampir sama dengan Madobak Ugai dan Matotonan. Namun, ketiga desa ini menjadi perwakilan yang tepat untuk menunjukkan kepada dunia tentang hangatnya alam Mentawai.Desa-desa di bagian hulu Siberut Selatan memiliki daya tarik yang sangat kuat untuk wisata karena kebudayaan dan kehidupan tradisional masyarakatnya yang masih sangat kuat. Mulai dari kehidupan sosial, aktivitas sehari-hari, spiritualitas, hingga cara berpakaian dan bentuk rumah masih terjaga kekhasan dan keunikannya.Pengunjung yang menikmati wisata budaya di ketiga desa ini, tidak hanya dapat menikmati keunikan budayanya yang nyata, seperti rumah yang disebut ‘Uma’ataupun tarian dan pesta adat. Namun, juga dapat menyelami langsung interaksi dengan penduduk setempat dan terpukau dengan nilai-nilai yang masih dijunjung tinggi, seperti kebersamaan.Contohnya, pantang bagi keluarga asli Mentawai untuk makan dari piring yang berbeda. Biasanya, lauk dan sayuran disuguhkan masing-masing di satu baskom besar. Pada saat berkumpul untuk waktu makan, setiap orang bebas mengambil dari wadah tersebut. Kebersamaan ini pula yang hadir dalam setiap aktivitas mereka dalam mencari nafkah, seperti mencari sagu, menombak ikan, ternak babi, atau menanam daun nilam ataupun cokelat. Mental kebersamaan inilah yang menjadikan penduduk asli tergolong ramah kepada para wisatawan yang datang ke kawasan mereka.Jika beruntung, pengunjung dapat mengikuti sejumlah pesta adat yang dipimpin oleh sejumlah Sikkerei (dukun). Menurut keyakinan penduduk setempat, Sikkerei merupakan pemimpin adat yang memiliki keistimewaan secara spiritual untuk menyembuhkan segala macam penyakit dan juga memimpin upacara keagamaan, seperti upacara perkawinan dan pengembalian roh dari manusia yang baru saja meninggal.Penampilan mereka masih sangat tradisional dengan hanya menggunakan cawat kain yang disebut Simoite, sedangkan di kepala mereka terpasang sebuah Luat, yaitu semacam ikat kepala dari manik-manik. Jika Sikkerei bertugas, maka Sikkerei akan mendatangi tempat acara dengan kopernya yang disebut Baklu. Koper serba guna ini berisi berbagai peralatan Sikkerei untuk memimpin pesta adat, seperti Luat, dedaunan dan juga Kubek, yaitu semacam lintingan rokok khas Mentawai.Di tubuh Sikkerei juga biasanya masih tergambar tato khas Mentawai yang dibuat dari air tebu dan arang batok kelapa. Tato digambarkan di badan dengan paku besi atau peniti, dan dua kayu yang berfungsi sebagai alas dan pemukul. Menurut masyarakat, pembuatannya sangat menyakitkan. Selain itu, Sikkerei biasanya juga menggunakan kalung manik-manik, meski semua penduduk juga memakainya. Kalung manik-manik yang melekat di leher lelaki atau perempuan Mentawai menunjukkan tingkat kekayaan seseorang dan statusnya di dalam masyarakat. Makin banyak kalung yang melekat, makin kaya dan terhormatlah orang tersebut.Jika berangkat dari Muara Siberut, rute yang ditempuh adalah Purou-Muntei-Rokdok-Madobak-Ugai-Butui-Matotonan. Setiap desa memiliki kebudayaan yang sangat unik. Desa Madobak terkenal dengan Air Terjun Kulu Kubuk. Letaknya di dalam hutan, sekitar 3 km dari permukiman penduduk Madobak. Air terjun ini terdiri dari dua tingkat dengan total ketinggian 70 meter dan sangat cocok dijadikan sebagai tempat pemandian alam. Hawa segar nan dingin serta perairan yang dangkal mendukung keindahan air yang meluncur bebas dengan derasnya.Setelah Desa Madobak, pengunjung dapat juga mampir di Desa Ugai. Desa masih menyimpan beberapa Uma asli, yaitu rumah adat penduduk asli Mentawai yang terbuat dari kayu Katuka atau Mecini yang terdapat di Mentawai. Meski di Madobak dan Matotonan juga terdapat Uma, bentuk rumahnya tidak lagi asli dan sudah banyak dimodifikasi. Di Ugai-lah, pengunjung dapat menemui Uma asli dengan dapur di bagian depan. Memang, yang khas dari Uma asli adalah terdapat perapian yang berfungsi sebagai dapur di bagian depan rumah. Ini menunjukkan kebiasaan penduduk asli Mentawai sebagai masyarakat yang senang berkumpul bersama. Oleh karena itu, dapur pun menjadi tempat yang penting untuk memasak dan menyediakan jamuan bagi tamu yang datang. Di depannya, tepat setelah tangga masuk, beranda rumah dibuat bertangga. Satu tingkat saja. Di sinilah biasanya, si pemilik rumah memotong ternak atau hewan buruannya untuk dijagal.Jika puas berkeliling Ugai, sekitar satu jam kemudian pengunjung dapat tiba di Desa Matotonan. Desa ini merupakan desa terujung dari Siberut Selatan karena berbatasan dengan kawasan konservasi alam Taman Nasional Siberut. Dibandingkan dengan permukiman penduduk di Madobak dan Ugai yang berdiri di atas tanah yang datar, permukiman penduduk Matotonan tersebar di beberapa bukit kecil. Pemandangan alam dan budaya di Matotonan tentu lebih menakjubkan. Sejumlah Sikkerei masih mudah ditemui. Beberapa pesta adat yang bersifat mistis masih sering dilakukan berhubung penduduknya berjumlah 382 KK atau sekitar 1.817 jiwa.Tinggal di ketiga desa ini dan berinteraksi dengan penduduknya merupakan pengalaman yang tidak akan terlupakan. Sesekali, pengunjung juga dapat mengikuti penduduk ketika mencari sagu di tepi sungai atau di dalam hutan dan kemudian mengolahnya hingga menjadi sagu bakar yang dimakan dengan lauk, seperti ikan, daging babi atau telur. Semuanya masih dilakukan secara tradisional, mulai dari pencarian dengan keranjang sagu hingga pengolahannya hanya dengan kayu bakar. Tentu saja, tidak ada penginapan khusus di ketiga desa ini dan menginap di rumah warga pastinya akan menambah ketakjuban pengunjung. Waktu seperti berjalan cepat di ketiga desa ini.Ketiga desa ini hanya dapat ditempuh dengan menyusuri Sungai Rereget. Sungai Rereget merupakan jalur menuju hulu dari pinggir laut di Muara Siberut. Perjalanan ke Madobak memakan waktu sekitar 3 jam, ke Ugai sekitar 4 jam dan mencapai Matotonan memakan waktu 5-6 jam dengan perahu bermotor. Jika air pasang, perjalanan bisa lebih cepat. Namun jika air dangkal, perjalanan menjadi sangat lambat. Perjalanan dengan perahu bermotor yang berukuran lebih kecil atau pompong sangat disarankan. Selain itu, dengan pertolongan seorang tour guide yang mengenal masyarakat dan kebudayaan asli Mentawai, tentu komunikasi dengan penduduk setempat akan menjadi lebih mudah. Sampai bertemu di Madobak, Ugai, dan Matotonan….*’Anai Leu Ita’ merupakan salam yang biasa diucapkan ketika bertemu dengan orang lain. Semacam kata ‘Horas’ bagi suku Batak. (Courtesy By Kompas/Antara)
Thursday, April 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment