Lokasi menarik berikutnya adalah Galangan kapal VOC yang beroperasi sejak 1632. Galangan ini berdiri di atas tanah urukan di tepi barat Kali Besar saat Ciliwung diluruskan dari Pintu Kecil sampai Pasar Ikan. Awalnya, galangan kapal yang terletak di Jalan Kakap Nomor 1, Pasar Ikan ini, adalah sebuah kantor dagang VOC yang didirikan tahun 1628. Bangunan lalu dijadikan gudang barang keperluan galangan kapal yang ada di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakut. Pulau Onrust dibangun menjadi galangan kapal merangkap benteng tahun 1618. Menurut Adolf Heuken dan Grace Pamungkas dalam bukunya, “Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun“, kegiatan perbaikan kapal lama-lama lebih banyak dilakukan di galangan kapal yang terletak di Pelabuhan Sunda Kelapa daripada di Pulau Onrust. Galangan kapal VOC hampir selama dua abad menjadi urat nadi jaringan niaga yang terentang dari Pulau Decima di Nagasaki, Jepang, sampai Cape Town, Afrika Selatan. Dari Ternate, sampai Bandar Surat di Pantai Teluk Arab. Sekitar abad ke 14, pelabuhan yang luas arealnya sekarang mencapai 2000 meter persegi itu, mulai berkembang menjadi pusat niaga Kerajaan Pakuan Pajajaran yang beribukota di Batutulis, Bogor, Jawa Barat. Kala itu, pelabuhan ini disinggahi kapal-kapal dari Palembang, Malaka, Makasar, Madura, India, Tiongkok Selatan, sampai kapal-kapal yang datang dari Kepulauan Ryuku, Jepang. Tahun 1527 pasukan Fatahillah, panglima perang Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), Cirebon, berhasil menghalau pasukan Portugis yang hendak merebut Pelabuhan Sunda Kelapa. Kala itu, Cirebon di bawah Kesultanan Demak. Setelah kemenangan itu, Fatahillah mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang artinya, kemenangan sempurna. Tetapi, tahun 1619, Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) Jan Pieterszoon Coen, merebut kembali Jayakarta dan mengubah namanya menjadi Batavia. Kini, galangan kapal VOC seluas 5000 meter persegi itu menjadi milik Susilawati. Tahun 1997-1999, ia merenovasi bangunan dan menjadikan sebagian bangunannya, “Restoran dan Cafe Galangan Kapal VOC”. Ia berharap, langkah yang ia lakukan mampu membangkitkan dunia usaha di sekitar galangan kapal tersebut. Namun, niatnya belum kesampaian karena masih banyak kesulitan yang ia hadapi. Kesulitan itu antara lain, untuk mencapai ke sana wisatawan atau pengunjung lain harus melintas jalanan, yang sehari-hari macet dan berdebu oleh truk-truk peti kemas. Apalagi sebagian jalan di sana rusak. Meski demikian, Susi masih berusaha membuat galangan kapal-nya menarik. Ia lalu menjadikan sebagian bangunan sebagai galeri seni, tempat seminar, festival budaya, bahkan pesta pernikahan. Lokasi berikutnya adalah Museum Maritim (sejak 7 Juli 1977). Bangunan ini awalnya berupa dua gedung bekas kantor perdagangan dan gudang rempah-rempah (teh, kopi, lada) Belanda yang dibangun tahun 1652. Tembok yang mengelilingi museum tersebut adalah tembok batas kota Batavia. Di depan museum berdiri Menara Syahbandar (1839). Menara berfungsi mengawasi kapal keluar masuk Pelabuhan Sunda Kelapa. Di museum, para pengunjung bisa melihat jenis-jenis kapal dari berbagai daerah di Indonesia, gambar, serta foto pelabuhan-pelabuhan di Tanah Air di masa lalu. Salah satu koleksi menarik museum ini adalah tayangan sejarah Pulau Onrust.
Wisata ziarah Berbekal kelima lokasi, peluang menjadikan Kelurahan Penjaringan sebagai kawasan industri wisata, terbuka lebar. Pengembangan kawasan bisa berbasis pada wisata ziarah di Mesjid Luar Batang. Pertama, karena kegiatan ziarah di sana sudah lama populer dan mampu mendatangkan banyak peziarah dari luar dan dalam negeri. Kedua, pengembangan wisata ziarah di mesjid diharapkan bisa mengembalikan fungsi mesjid sebagai mercusuar peradaban yang belakangan tergeser oleh mal. Para pewaris Habib Husein bersama warga sekitar, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya, bisa mengembangkan tempat khalwat yang nyaman, penginapan, biro perjalanan sederhana, tempat parkir, serta berbagai jasa seperti pemandu wisata, jasa transportasi tradisional, maupun konvensional. Prinsipnya, usaha dilakukan secara bertahap dengan tenaga pendamping. Dari merealisasikan rencana-rencana jangka pendek, ke rencana-rencana jangka menengah. Dari sedikit yang terlibat, ke pelibatan lebih banyaklebih banyak pihak yang terlibat. Dari hanya mengembangkan wisata ziarah di sekitar serambi mesjid, melebar sampai ke pengembangan wisata air, dan wisata budaya. Dari Museum Bahari, menyusuri pantai Sunda Kelapa sampai Pulau Onrust. Meluas lagi ke wisata kuliner dan belanja di Restoran dan Kafe Galangan Kapal VOC, serta Pasar Ikan. Persoalan, kemacetan, jalan rusak, tempat parkir, dan keamanan, bisa ditanggulangi bersama dengan pola bertahap. Langkah dari bawah ini kemudian diikuti langkah pemerintah provinsi dan pusat, terutama menyangkut pembangunan, penataan, pemulihan, dan pemanfaatan infrastruktur.Komunitas terbuka Pengembangan kawasan wisata yang dilakukan secara bertahap ini, tentu saja diiringi usaha mengembangkan komunitas yang terbuka, kreatif, sadar lingkungan, dan jauh dari kekerasan. Komunitas yang menghormati dan memberi ruang pada beraneka tradisi. Bukan hal yang mudah memang, tapi bila pengembangan wisata berhasil, maka seluruh pemangku kepentingan Jakarta bisa berharap, kawasan kumuh di Kelurahan Penjaringan, bisa berubah menjadi lebih sehat, dan sejahtera. Musibah rob, kebakaran, dan kesulitan air bersih yang sering terjadi di sana, bisa berkurang atau bahkan berakhir. Itulah pertanda, ada “mercu suar” di Mesjid Luar Batang. (Courtesy By Kompas/Antara)
Wisata ziarah Berbekal kelima lokasi, peluang menjadikan Kelurahan Penjaringan sebagai kawasan industri wisata, terbuka lebar. Pengembangan kawasan bisa berbasis pada wisata ziarah di Mesjid Luar Batang. Pertama, karena kegiatan ziarah di sana sudah lama populer dan mampu mendatangkan banyak peziarah dari luar dan dalam negeri. Kedua, pengembangan wisata ziarah di mesjid diharapkan bisa mengembalikan fungsi mesjid sebagai mercusuar peradaban yang belakangan tergeser oleh mal. Para pewaris Habib Husein bersama warga sekitar, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya, bisa mengembangkan tempat khalwat yang nyaman, penginapan, biro perjalanan sederhana, tempat parkir, serta berbagai jasa seperti pemandu wisata, jasa transportasi tradisional, maupun konvensional. Prinsipnya, usaha dilakukan secara bertahap dengan tenaga pendamping. Dari merealisasikan rencana-rencana jangka pendek, ke rencana-rencana jangka menengah. Dari sedikit yang terlibat, ke pelibatan lebih banyaklebih banyak pihak yang terlibat. Dari hanya mengembangkan wisata ziarah di sekitar serambi mesjid, melebar sampai ke pengembangan wisata air, dan wisata budaya. Dari Museum Bahari, menyusuri pantai Sunda Kelapa sampai Pulau Onrust. Meluas lagi ke wisata kuliner dan belanja di Restoran dan Kafe Galangan Kapal VOC, serta Pasar Ikan. Persoalan, kemacetan, jalan rusak, tempat parkir, dan keamanan, bisa ditanggulangi bersama dengan pola bertahap. Langkah dari bawah ini kemudian diikuti langkah pemerintah provinsi dan pusat, terutama menyangkut pembangunan, penataan, pemulihan, dan pemanfaatan infrastruktur.Komunitas terbuka Pengembangan kawasan wisata yang dilakukan secara bertahap ini, tentu saja diiringi usaha mengembangkan komunitas yang terbuka, kreatif, sadar lingkungan, dan jauh dari kekerasan. Komunitas yang menghormati dan memberi ruang pada beraneka tradisi. Bukan hal yang mudah memang, tapi bila pengembangan wisata berhasil, maka seluruh pemangku kepentingan Jakarta bisa berharap, kawasan kumuh di Kelurahan Penjaringan, bisa berubah menjadi lebih sehat, dan sejahtera. Musibah rob, kebakaran, dan kesulitan air bersih yang sering terjadi di sana, bisa berkurang atau bahkan berakhir. Itulah pertanda, ada “mercu suar” di Mesjid Luar Batang. (Courtesy By Kompas/Antara)
No comments:
Post a Comment