Saturday, March 28, 2009
Melihat Hantu di Tangkoko
Aset Dunia di Tangkoko
Saat matahari belum menampakkan sinarnya, saya bersama enam rekan fotografer pada kegiatan Exploring Celebes, merayakan 150 tahun Ekspedisi Wallace yang dimotori oleh National Geographic IndonesiA dan Sony Indonesia, bergerak perlahan mencari posisi kelompok yaki yang baru turun ke tanah dari peraduannya di atas pohon. Selain kami dan para pemandu, di lokasi tempat gerombolan yaki yang kami temukan tampak dua peneliti asing asyik mengikuti pergerakan yaki sambil mencatat segala polah tingkah lakunya.
"Jumlah peneliti asing? Yah, kira-kira ada enam orang pada setiap musim (per enam bulan). Kebanyakan dari Eropa," kata Simson, pemandu lainnya yang kerap dipakai para peneliti. "Kalau wisatawan asing, bisa ribuan per tahun. Mereka mau lihat yaki, tangkasi, juga burung-burung khas, satwa endemik di sini," ujarnya.
Tangkoko memang populer di kalangan ilmuwan. Di tempat inilah Alfred Russel Wallace, seorang naturalis muda Inggris, pernah menapakkan kakinya sekitar tahun 1850-an dan terpesona dengan maleo (Macrocephalon maleo) dan babi rusa (Babyrousa babyrussa). Dari penelitian lapangan di Nusantara dalam kurun 1860-1860, Wallace mengamati penyebaran satwa, lalu mengenali dua wilayah biogeografi India dan Australia yang sangat berbeda. Ia membagi dua kelompok satwa dan menarik garis batas timur-barat yang hingga sekarang dikenal sebagai garis Wallace, dimulai dari selat antara Kalimantan dan Sulawesi, terus ke selatan antara Bali dan Lombok.Pada tahun 1858, Wallace juga menulis kumpulan surat dan makalah yang memuat tentang teori evolusi melalui seleksi alam (walau tidak secara rinci disebutkan demikian) kepada Charles Darwin di Inggris (yang saat itu telah menjadi naturalis ternama di Inggris). Makalah ini kemudian memacu Darwin menerbitkan On The Origin of Species tahun 1859, yang memperkenalkan teori evolusi yang menggemparkan.
Sulawesi yang unik konon dikunjungi Wallace sebanyak tiga kali. Satwa di kawasan ini merupakan percampuran atau zona transisi dua wilayah zoogeografi, Asia dan Australia. Bagi konservasi biologi, proporsi jenis satwa endemik Sulawesi termasuk yang tertinggi di Indonesia. Cagar alam Tangkoko sendiri adalah salah satu rumah satwa Sulawesi yang sangat penting. Di kawasan konservasi seluas 8.718 hektar ini tercatat keberadaan 26 jenis mamalia (10 jenis endemik Sulawesi), 180 jenis burung (59 endemik Sulawesi dan 5 endemik Sulut), serta 15 jenis reptil dan amfibi.
Maleo dan babi rusa yang memesona Wallace kini sulit dijumpai di Tangkoko, demikian juga anoa (Bubalus depressicornis). Ketiga satwa endemik Sulawesi tersebut diduga telah punah akibat pemburuan dan perusakan habitat. Walau demikian, sejumlah satwa lainnya masih dapat ditemui di sini. Yaki, tangkasi (Tarsius spectrum), dan julang sulawesi atau rangkong (Rhyticeros cassidix) adalah tiga dari sejumlah satwa yang menjadi magnet pesona Tangkoko.
Entah telah berapa banyak ilmuwan dalam dan luar negeri yang telah datang demi kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan penelitian. Bila Tangkoko bisa dikatakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang sangat penting di dunia, jika satwa-satwa itu punah, tak hanya Indonesia, bahkan dunia pun kehilangan. (Courtesy Kompas/Antara)
Sejuta Satwa di Belantara Tangkoko
Dari Pos II, Anda bisa memarkir mobil dan mulai berjalan menjelajah hutan dan akan bertemu dengan sekelompok monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra). Aneka suara burung juga akan terdengar bila semakin mendekat ke dalam hutan mulai dari Rangon, Kingfisher, merpati, dan masih banyak lagi.
Dari TWA Batu Putih ada batas untuk memasuki Cagar Alam Tangkoko, tetapi batas ini pun tak terlalu jelas karena hanya berupa dua tonggak dari pohon yang dipancangkan di kanan dan kiri.
Menurut Alfons, banyak perangkap yang ditemukan oleh petugas di kawasan konservasi itu. “Yah, kalau patroli itu dilakukan rutin pasti ada perangkap untuk kera atau pencurian kayu juga, tapi sayangnya batas cagar alam ini masih belum ada, jadi semua orang bisa keluar masuk,” ujar Alfons.
Aneka flora dan fauna yang dikagumi naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, ini seharusnya menjadi perhatian semua pihak untuk melestarikannya. Lebih baik mencegah kepunahan satwa lebih dini daripada generasi selanjutnya tak lagi bisa menyaksikan kekayaan hayati tempat ini. Semoga… (Courtesy Kompas/Antara)
Sunday, March 22, 2009
Menelusuri Eksotika Sauwandarek
Tiba di pantai Sauwandarek, aktivitas snorkeling rasanya sayang untuk di lewatkan. Jika tak puas bersnorkeling, Sauwandrek yang berada di kawasan Selat Dampier memiliki beberapa lokasi menyelam (dive site). Berbagai jenis ikan seperti kuda laut mini (pigmy seahorse), udang mantis, blue ring octopus, ikan mandarin, kakap (schooling snapper), dan ekor kuning bisa kita jumpai. Kadang penyelam juga bisa menikmati berada dekat dengan gerombolan ikan tuna dan barakuda.
Puas dengan keindahan bawah laut, anda bisa melanjutkan perjalanan di kampung wisata. Masyarakat Sauwandarek tahu betul menjaga keunikan kampung mereka. Di sini, rumah-rumah penduduk sengaja dibiarkan dengan bentuk dan material yang masih alami.
Di kampung wisata ini, anda akan menjumpai kaum wanita khususnya ibu-ibu membuat kerajinan anyaman daun pandan. Barang yang biasa dibuat adalah noken dan topi. Kerajinan ini bisa anda beli untuk suvenir. Harga noken dan topi di Sauwadarek relatif murah, anda bisa membawa pulang berbagai kerajinan anyaman dengan harga berkisar Rp.25.000-Rp.50.000 per buah tergantung jenis dan ukurannya.
Keunikan lain di Kampung Sauwandarek adalah atraksi memberi makan ikan di pantai. Puluhan ikan liar dengan sekejap akan berkerumun saat kita menebarkan makanan di pantai. Cukup dengan menebus makanan ikan seharga Rp.50.000, rasanya sayang jika kesempatan langka ini anda lewatkan.
Bagi pecinta treking, anda bisa melanjutkan perjalanan menuju sebuah telaga. Oleh masyarakat setempat telaga ini disebut Telaga Yenauwyau. Uniknya telaga di sini berair asin. Menurut Kepala Desa Sauwandarek, Korinus Urbata, dahulu di telaga ini terdapat sebuah goa yang menghubungkan telaga dengan laut. Sebelum goa itu tertutup, tak jarang ikan lumba-lumba dari laut masuk ke telaga. Tapi sayang, pemandangan itu sekarang sudah hilang.
Bagi masyarakat Sauwandarek, telaga ini dipercaya sebagai tempat keramat yang dihuni oleh seekor penyu putih. Tidak sembarang orang bisa melihat wujud penyu tersebut. Namun jika kebetulan menjumpai penyu ini, masyarakat percaya orang tersebut akan mendapatkan keberuntungan.
Telaga ini menjanjikan panorama alami. Di tepi telaga terdapat semacam dermaga yang berfungsi untuk menikmati panorama telaga sekaligus tempat melepas lelah setelah berjalan kaki sekitar 25 menit mencapai lokasi telaga. Selain itu, anda juga bisa menyaksikan burung Maleo Waigeo (Spilocuscus papuensis), burung endemik di wilayah Sauwadarek.
Untuk mencapai Sauwandarek, anda bisa menggunakan kapal reguler dari Sorong menuju Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat, Waisai. Perjalanan ini akan ditempuh dalam waktu 2-4 jam. Tarif kapal reguler ini tergolong murah, berkisar Rp.100.000 hingga Rp.125.000 perorang, sekali jalan. Dari Waisai perjalanan lalu dilanjutkan menuju Sauwandarek dengan menggunakan long boat selama 4 jam. Biaya sewa long boat berkisar Rp.300.000, sekali jalan.
Tetapi jika ingin cepat, anda bisa juga menyewa speed boat dari Sorong. Dengan biaya sewa sekitar Rp 5 juta perhari, perjalanan Sorong-Sauwandarek hanya akan ditempuh dalam waktu 3 jam perjalanan.
Sepanjang perjalanan menuju Sauwandarek, tak jarang anda akan dimanjakan oleh keindahan karang, ikan, dan biota laut lainnya. Laut yang masih alami membuat ekosistem di wilayah Raja Ampat ini bisa dinikmati dengan mata telanjang. (Courtesy Kompas/Antara)
Sembilang, Surga Mangrove yang Terancam Rusak
Taman Nasional Sembilang namanya. Pohon-pohon bakau yang ada di sini menampung lumpur yang kaya akan makanan burung. Tak heran taman ini merupakan perwakilan hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan hutan riparian (tepi sungai) di Provinsi Sumatera Selatan.
Ribuan bahkan puluhan ribu burung migran asal Siberia, Semenanjung
Sayangnya, saat ke
Tempat ini juga merupakan habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus), siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), kucing mas (Catopuma temminckii temminckii), rusa sambar (Cervus unicolor equinus), buaya (Crocodylus porosus), biawak (Varanus salvator), ikan sembilang (Plotusus canius), labi-labi besar (Chitra indica), lumba-lumba air tawar (Orcaella brevirostris), dan berbagai jenis burung.
Sembilang merupakan ramuan obat untuk mereka yang haus akan rekreasi alam yang berbau petualangan. Sebab, tempat ini tidak hanya mempermainkan adrenalin, tapi juga otak dan keingintahuan.
Pemandangan sepanjang sungai dan pesisir pantai sangat menyegarkan mata. Deretan vegetasi nipah, api-api, dan nibung, menjadi tempat bersarang kera ekor panjang. Satu pohon bisa dihuni oleh puluhan kera. Burung-burung beterbangan di langit. Sebagian terbang merendah ke arah lumpur dan sungai. Dalam sekejap, mereka membius dengan atraksi menangkap ikan.
Belasan elang laut, raja pemangsa perairan, terlihat melayang-layang mengintai mangsa. Kehadiran elang-elang berbulu coklat dan kepala putih itu semakin menguatkan aroma kehidupan liar di kawasan Taman Nasional Sembilang.
Kawasan ini mampu mengingatkan tentang pentingnya konservasi kawasan ekosistem pesisir, dengan menunjukkan contoh langsung peranan hutan mangrove dalam menyangga kehidupan perairan, termasuk memberi tempat berlindung untuk para burung migran.
Namun sayang, pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api tetap diteruskan. Pembangunan ini dikhawatirkan akan mengganggu ekosistem alami di Sembilang, meski lokasi ini hanya memakan sebagian kecil wilayah taman nasional.
Pertama, kapal-kapal ditakutkan akan melewati titik-titik singgah burung migran. Kedua, Hutan Mangrove akan rusak karena perekonomian sekitar pelabuhan akan hidup. Padahal, tanaman bakau sangat sensitif dengan perubahan ekosistem.
Ekosistem yang berubah akan membuat burung migran tak mau singgah. Pohon bakau yang rusak, tidak mampu menahan lumpur dan burung-burung dan hewan lain akan kehilangan makanannya. Itu berarti, akan ada banyak burung migran yang mati karena tidak bisa beristirahat dan memperoleh makanan.
Oleh karena itu, konsep Pelabuhan Tanjung Api-Api harus direncanakan dengan matang. Mulai dari jalurnya hingga pengembangan kawasan perekonomiannya. (Courtesy Kompas/Antara)
Ziarah di Pulau Kecil
Bila mengunjungi makam raja, selain berziarah, Anda tidak hanya mendapatkan sisi religiusnya, tetapi juga mendapat kisah dan sejarah sekaligus menikmati arsitektur bangunan makam. Seperti halnya di makam Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Makam Raja Ali Haji (RAH) terdapat di Pulau Penyengat Indera Sakti, Kepulauan Riau. Pulau Penyengat merupakan pulau yang berjarak sekitar 6 kilometer di seberang kota Tanjung Pinang, ibu kota Kepulauan Riau.
Di pulau ini terdapat beberapa kampung dengan peninggalan pada masa Kerajaan Melayu Riau Lingga. Pergi ke Pulau Penyengat berjarak tempuh sekitar 20 menit dari Dermaga Tanjung Pinang menggunakan perahu motor kecil atau yang disebut dengan pompong. Untuk menaiki pompong, dikenakan biaya Rp 5.000-Rp 10.000 per orang. Atau jika ingin menyewa, dikenakan biaya sebesar Rp 80.000 per pompong yang akan membawa penumpang pergi-pulang.
Untuk mengelilingi pulau ini, pengunjung dapat menggunakan becak motor (bemor) yang dapat disewa dengan harga Rp 20.000. Di Pulau ini, pengunjung tidak akan menemukan mobil atau kendaraan sejenisnya.
Nama Pulau tempat makam RAH bernaung, Penyengat, selalu dikait-kaitkan dengan nama besar sang pujangga besar nusantara tersebut. Oleh masyarakat Melayu, khususnya di semenanjung Malaka, nama ini dianggap sebagai pahlawan besar yang layak diagungkan dan dimonumenkan.
Nama lengkap Raja Ali Haji adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah bin Opu Daeng Celak alias Engku Haji Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau. Dia dilahirkan pada tahun 1808 M/1193 H di pusat Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, dan meninggal pada tahun 1873 M di pulau itu juga.
Pulau Penyengat sebagai tempat kelahiran RAH memiliki arti khusus dalam pembentukan kepribadiannya. Di pulau inilah dia mendedikasikan pengetahuan kepada suluruh masyarakat Riau, dan kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Konon, sebelum dijadikan pusat kerajaan, Penyengat dikenal sebagai pulau yang sering dikunjungi oleh para nelayan atau pelaut yang ingin mencari air bersih. Pada suatu waktu, saat mengambil air, seorang di antara mereka dikejar-kejar oleh sejenis hewan yang punya alat sengat. Sejak saat itulah pulau ini oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Pulau Penyengat. Selain itu, Penyengat juga dikenal sebagai Pulau Mas Kawin. Menurut legenda masyarakat Melayu, pulau ini dihadiahkan Sultan Mahmud Marhum Besar, Sultan Riau-Lingga periode 1761-1812 M, kepada Engku Putri Raja Hamidah, sebagai mas kawin untuk meminangnya.
Karena jasanya yang begitu besar, maka pada tanggal 10 November 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada RAH, pada saat peringatan Hari Pahlawan 10 November di Istana Negara, Jakarta.
Pulau Penyengat yang hanya memiliki lebar sekitar satu kilometer dan panjang sekitar dua sampai tiga kilometer ini juga terdapat puluhan situs bersejarah peninggalan sultan, entah itu berbentuk istana, gedung mahkamah, tempat mandi, gedung tabib, masjid, ataupun makam termasuk di dalamnya Makam Raja Ali Haji sendiri. Beragam situs bersejarah yang menyebar di pulau ini seolah terangkai dalam satu kontinum yang menggambarkan kebesaran sejarah kerajaan Malayu Riau.
Kompleks makam Raja Ali Haji terkesan sederhana, terletak di kaki bukit kecil yang dikelilingi oleh pohon rindang ambacang, mengkudu, dan jambu. Ada beberapa bangunan di kompleks pemakaman ini, di antaranya sebuah masjid mini, berkubah, dan bermihrab. Dinding-dindingnya didominasi warna kuning dan sedikit warna hijau, dengan jendela bulat layaknya jendela kapal. Di dalam bangunan utama ini terdapat cuplikan “Gurindam Dua Belas”. Makam Raja Ali Haji sendiri terletak di luar bangunan utama dengan naungan atap berwarna hijau. Tidak adanya dinding penyekat yang menutupi makam seolah membiarkan para peziarah masuk dan melihat secara lebih leluasa. Dua nisan di atas makam ini dibungkus rapi oleh kain berwarna kuning, mirip seperti cara membungkus jenazah saat prosesi penguburan. Mengamati detail makam ini, pengamat akan segera menangkap tulisan di atas makam yang berbunyi: “Raja Ali Haji, Terkenal, Gurindam XII”.
Sebenarnya dalam kompleks ini terdapat banyak makam para Raja Kesulatanan Riau Lingga yang bersanding sisi dengan makam Raja Ali Haji. Makam permaisuri terletak di bangunan utama, sedangkan makam raja laki-laki, seperti Raja Ahamad Syah, Raja Abdullah Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IX, dan Raja Ali Haji sendiri terdapat di luar ruangan. Makam Engku Putri Raja Hamidah yang secara simbolis merupakan pemilik mas kawin Pulau Penyengat dari Sultan Mahmud Marhum Besar, terdapat di dalam ruang utama. Selain itu, masih terdapat banyak makam orang-orang yang punya hubungan kekerabatan kerajaan di luar pagar kompleks makam.
Melongok makam RAH mungkin akan menimbulkan kesan unik bagi pengunjung. Pasalnya, meski secara resmi dikenal sebagai kompleks makam Engku Putri Raja Hamidah, pengelola makam sengaja menonjolkan atribut formal untuk penghormatan terhadap Raja Ali Haji. Lihat saja, dua baliho yang merujuk pada kebesaran sang pujangga: “Raja Ali Haji Pahlawan Nasional Bidang Bahasa Indonesia” dan sebuah lagi, “Raja Ali Haji Bapak Bahasa Melayu-Indonesia, Budayawan di Gerbang Abad XX”. Mungkin hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap tokoh besar Nusantara (RAH) yang ditabalkan oleh Keppres RI Nomor 089/TK/2004 sebagai Pahlawan Nasional, tanpa menafikan penghormatan terhadap raja-raja lain dalam makam ini.
Bila masih belum puas mengunjungi makam RAH, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan wisatanya di pulau kecil ini. Di antaranya adalah Istana Kedaton tempat Sultan Riau-Lingga terakhir tinggal; Istana Bahjah tempat tinggal Raja Ali Kelana, Gedung Hakim Mahkamah Syariah Raja Haji Abdullah dengan tiang-tiang kukuh menyerupai bangunan Yunani kuno, Gedung Tabib, bekas tempat praktek Engku Haji Daud, tabib kerajaan, dan Perigi Kunci, tempat mandi putri istana. Selain situs-situs sejarah ini juga masih terdapat situs lain di antaranya makam Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji Fisabilillah, Tapak Percetakan Kerajaan, Benteng Bukit Kursi, Makam Embung Fatimah di Bukit Bahjah, dan Bukit Penggawa. Daftar situs-situs sejarah ini tercatat rapi pada katalog wisata yang dijajakan penduduk kepada para wisatawan saat mengunjungi Pulau Penyengat. (Courtesy by Kompas/Antara)
Jam Gadang, Gengsi Kota Bukittinggi
Sejak awal berdirinya, lokasi Jam Gadang merupakan jantung kota Bukittinggi. Bangunan semacam tugu setinggi 26 meter dengan bulatan jam di keempat sisi bagian atasnya ini dibangun pada tahun 1826 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur atau Sekretaris Kota Bukittinggi waktu itu, Rook Maker. Jadi, umurnya sudah lebih dari 180 tahun. Pembangunannya diselesaikan oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh dan biaya pembangunan ‘hadiah’ ini mencapai 3.000 Gulden pada saat itu.
Bentuk atap Jam Gadang telah mengalami tiga kali penyesuaian dari waktu ke waktu. Pada jaman Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di atasnya. Pada waktu Jepang berkuasa di tanah air, mereka mengganti bentuk atapnya seperti atap klenteng. Kemudian setelah kemerdekaan diproklamirkan, bentuk atapnya diubah menjadi bergonjong empat seperti atap rumah adat Minangkabau dan bermotifkan pucuk rebung. Bagian atas Jam Gadang ini masih terlihat dari kawasan Jempatan Limpapeh yang berjarak sekitar 1 km dari lokasi.
Bulatan jam yang terletak di bagian atas di keempat sisi tugu ini berdiameter 80 cm dengan latar belakang putih sementara tulisan angka dan jarumnya berwarna hitam. Terdapat keunikan penulisan angka pada Jam Gadang. Angka empat yang seharusnya dilambangkan dengan ‘IV’ dalam bentuk Romawi, dituliskan ‘IIII’.
Jam Gadang yang denah dasarnya berukuran 13x4 meter ini berdiri di atas kawasan Taman Sabai Nan Aluih di depan Istana Bung Hatta. Di kawasan ini ditanam sejumlah pohon sehingga makin terasa rindang. Pemerintah daerah juga melengkapinya dengan kursi-kursi beton untuk bersantai. Taman ini selalu ramai, mulai pagi, siang, sore hingga malam hari. Tua muda selalu memanfaatkan kawasan ini untuk bersantai. Bahkan, banyak orang tua muda membawa putra-putrinya bermain di tempat ini pada sore hari.
Di kawasan ini juga tersedia andong atau sado yang disebut Bendi untuk berkeliling-keliling di kawasan pusat kota. Untuk masyarakat biasa, tarif yang dikenakan biasanya Rp 2.500 jauh dekat. Sementara khusus untuk wisatawan, tarifnya bisa membengkak hingga Rp 25.000-Rp 50.000 sesuai negosiasi.
Di dekatnya, terdapat pula Pasar Atas yang merupakan pusat perdagangan di Bukittinggi. Pasar ini biasanya ramai pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu. Berbagai barang dijual di pasar ini, mulai dari sayur dan buah-buahan, pakaian hingga berbagai macam kerajinan tangan berupa tenun, kerajinan perak, hingga kaus dan baju yang menunjukkan citra Minangkabau. Semuanya dijual dengan harga miring.
Di Bukittinggi, banyak sekali obyek wisata yang bisa disambangi. Namun Jam Gadang biasanya menjadi sentra para wisatawan sebelum beranjak ke obyek wisata lainnya. Memilih beberapa penginapan yang berserakan di sekitar kawasan Jam Gadang juga dapat menjadi pilihan jika ingin secara leluasa melihat jam ini berpose pada waktu terang ataupun gelap, yaitu di sepanjang Jalan Laras Dt. Bandaro-jalan Soekarno Hatta-Jalan Dr. A. Rivai-Jalan Jenderal Sudirman.
Jika menengadah melihat puncak Jam Gadang pada waktu pagi hingga sore hari, kemegahannya tampak sempurna dengan didukung oleh latar belakang langit yang biru. Sedangkan pada waktu malam, temaram lampu taman yang berwarna kuning membuat taman ini tampak eksotik dan romantis. Pantang meninggalkan kawasan Jam Gadang tanpa foto. Namun, jangan khawatir, jika datang ke kawasan ini tanpa kamera, pengunjung dapat memanfaatkan jasa fotografer keliling untuk mengabadikan diri dengan latar belakang Jam Gadang. (Courtesy by Konpas/Antara)
Wednesday, March 18, 2009
"Spice Island" The Islands of North Molucas
In the sixteenth and seventeenth century, the islands of North Maluku were the original "Spice Islands". At the time, the region was the sole source of cloves. The Dutch, Portuguese, Spanish, and local kingdoms including Ternate and Tidore fought each other for control of the lucrative trade in these spices. Nutmeg trees have since been transported and replanted all around the world and the demand for nutmeg from the original spice islands has ceased, greatly reducing North Maluku's international importance.
In North Maluku the land makes up just 15 percent of the area's total surface. In many places the surrounding seas could be thousands of meters deep. North Maluku is in a transition zone between the Asian and Australian fauna and flora, and also between the Malay-based cultures of western Indonesia and those of Melanesia.
A great variety of endemic plant and animal species are found in the rugged forest-covered and mountainous hinterlands of most of the islands. A few of the best known are the Rucker-tailed Kingfisher, the Red-crested Moluccan Cockatoo and various brilliantly colored lorikeets and parrots.
North Maluku sits astride one of the world's most volatile volcanic belts. The region has known more than 70 eruptions in the last 400 years. Tremors and volcanic eruptions are by no means rare events at present. Many islands, in fact, look from a distance like volcanic cones rising right out of the sea.
TRANSPORTATION
CLIMATE
DEMOGRAPHY
GOVERNMENT ADMINISTRATIVELLY
TERNATE
Ternate, an island off the west coast of Halmahera, is just 15 sq. km in size but it offers a treasure of sights and experiences. There is an active volcano named Gamalama, two lakes, an old Sultan's palace, a picturesque port and several good beaches.
HISTORY
Spanish forces to capture the former Portuguese fort in 1606 deported the Ternate Sultan and his entourage to Manila. In 1607 the Dutch came back in Ternate with Ternateans help built a fort in Malayo. The island was divided between two powers: the Spaniards were allied with Tidore and the Dutch with their Ternaten allies. For the Ternaten rulers, the Dutch were a useful, if not particularly welcome, presence that gave them military advantages against Tidore and the Spanish. Particularly under Sultan Hamzah (r. 1627-1648), Ternate expanded its territory and strengthened its control over the periphery. Dutch influence over the kingdom was limited, though Hamzah and his son and successor, Sultan Mandar Syah (r. 1648-1675) did concede some regions to the Dutch East India Company (VOC) in exchange for help the controlling rebellions there. The Spaniards remained in Ternate and Tidore until 1663. In the eighteenth century Ternate was the site of a VOC governorship, which attempted to control all trade in the northern Moluccas.
By the nineteenth century, the spice trade had declined substantially. Hence, the region was less central to the Netherlands colonial state, but the Dutch maintained a presence in the region in order to prevent another colonial power from occupying it. After the Dutch government in 1800 nationalized the VOC, Ternate became the part of Moluccas Government (Gouvernement der Molukken). British were forces to occupied Ternate in 1810 before being returned to Dutch control in 1817. In 1824 became the capital of a residency (administrative region) covering Halmahera, the entire west coast of New Guinea, and Sulawesi central east coast. By 1867 all of Dutch-occupied New Guinea had been added to the residency, but then its region was gradually transferred to Ambon (Amboina) before being dissolved into that residency in 1922.
Like the rest of Indonesia, Japanese forces occupied Ternate during World War II; the Navy governed eastern Indonesia. After Japan surrendered in August 1945 and Indonesia declared independence, Ternate was reoccupied in early November 1945 by Allied forces intending to return Indonesia to Dutch control. It became part of Maluku province when Indonesia became independent.
Tolire Besar Lake is a spectacular crater lake in the north of the island. It is located in a deep crater, so the water seems just about impossible to reach, but is said to be home to crocodiles. The lake is surrounded by forest on the side towards the peak of Gamalama, and is a good area for bird watching. We can see a cockatoo here.
On the south of Ternate City, the Portuguese built the unfinished Kayu Merah Fortress on 1510. The peak of Gamalama is 1271 meters high and can be reached by trail. It has three craters and its surrounding environment is very beautiful. Stones from Gamalama's eruption are scattered across the landscape.
HISTORY
As Spanish strength in the region diminished before their eventual withdrawal from the region in 1663, Tidore became one of the most independent kingdoms in the region, resisting direct control by Dutch East India Company (VOC). Particularly under Sultan Saifuddin (1657-1689), the Tidore court was skilled at using Dutch payment for spices for gifts to strengthen traditional ties with Tidore's traditional periphery. As a result he was widely respected by many local populations, and had little need to call on the Dutch for military help in governing the kingdom, as Ternate frequently did.
Tidore remained an independent kingdom, albeit with frequent Dutch interference, until the late eighteenth century. Like Ternate, Tidore allowed the Dutch spice eradication program (extirpative) to proceed in its territories. This program, indeed to strengthen the Dutch spice monopoly by limiting production to a few places, impoverished Tidore and weakened its control over its periphery.
This island lies to the east of Ternate, separated only by a narrow strait. It is a mountainous island, still largely covered with forests. The coastlines are white sand and coral reefs are found in its waters. Offering a beautiful spectacle, Mount Mamuya (930 m) spews burning lava from time to time, adding to the allure of this island.Pearl oyster breeding farms on Mangaliho Island can be reach by motorboat.
North Halmahera regency declared on 31 May 2003 with its capital is Tobelo. It also has new districts and villages. Nine districts were developed to 22 districts and 174 villages become 260 villages. There are 76 islands, 19 islands have no named. Almost, every island has its beautiful panorama. The small islands with its white sand beach, the beautiful sea garden with its various fishes, various flora and fauna and its culture, can also find the historical sites in World War II in this region.
The number of North Halmahera regency in 2003 is 169.440 of men, 75 % is farmer and fisherman. North Halmahera is one of agarics with its nature potency that contains of field sector, gardening, plantation fish, maritime, breeding, mining, small industry, and tourism.
Tagalaya Beach
White sand and Mangroves jungles that grew around it, and become its uniquely. There is sea garden that has sea live around the area, which has various seas live and still fresh. This area is suitable for the tourists who like to dive in the sea.
Dorume Beach
This beach is famous with its big wave. If the tourists like to have surfing, they can visit this beach on December. At that time, the wave in this Dorume beach can reach a certain height. The other scenery that can enjoy is its soft sand and seems brightness. It is because the Dorume beach has iron seeds.
Talaga Biru
The society around call it as Talaga Biru, located in Mamuya village, Galela districts. It has clear water and blue colored, so that it called as Talaga Biru. Based on the legend, was said that the fairy who come from the fairyland often take a bath in this pool. The other uniquely of this pool is the leaves that down in this pool are always go to the side of the pool, so that it looks clear and clean.
Dodola Island
Dodola Island is surrounded by the wide of white sand that connect Dodola Besar Island and Dodola Kecil Island. The nature panorama around and the clear water are suitable for swimming and diving. There are also other islands that can visit by the tourists. Dodola beach is about 5 miles from Daruba, the capital of South Morotai districts.
Kupakupa Beach
The other uniquely of this beach is the strategic location that seems in the middle of bay so, it has quite seawater. It is ideal beach for sky, canoeing, swimming and fishing. Banyan tree that grow along the beach is also the panorama to be enjoyed. On Sunday, this place is very crowded, visited by a lot of visitors.
Kumo Beach
Kumo beach is located in Kumo Islands. It is the near beach from Tobelo. Its seawater is very clear and suitable for having canoeing, surfing, and swimming. From this place, you can enjoy Tobelo city face. There are small islands like Rorangane Island, Tulang Island, and Bawole Island, not far from this place. They offer the beautiful and unique panorama
Jere Canon
Beside in Morotai, the historical objects in World War II also found in Kao and Galela area. Kao was the defense base of Japan army in Pacific area. The historical objects are 4 unique canon, 2 bunker, airlines, 3 ships (in Kusu village). There is 2 canon and airlines, in Pune village, Galela district.
Luari Beach
The beach with its white sandy and interesting nature panorama is located in Luari village, North Tobelo district. The location that across of Pacific Ocean is the interesting point of Luari beach. This place of ten used as swimming area by the tourists. The location is easy to reach by land transportion, 15 minutes from Tobelo.
Zumzum Island
The island with its high historical value is located just 3 miles in front of Daruba city. Zumzum is a small island with nature panorama, white sand beach. General Douglas Mc Arthur, the division leader of Asia Pacific group in World War II ever stayed in this island. The tourist still can see the cave; which ever become the center commando and the landing of amphibious
Tobotobo Sea Garden
It is located Toboto village, Loloda district archipelago. This location has beautiful sea garden so, it very suitable location for having snorkeling or diving. In Tobotobo also has thousands bats that hang on the mangroves trees and also white and blue pigeon's bath place.
Bobale Beach
Bobale beach is located in Bobale Island, Kao district. In around it, there is natural sea garden so; it usually visited by the visitor for having diving. This island also has completed bunker that the Japan's historical object in World War II. Bobale Island can reach with speedboat from Daru village about 20 minutes.
Talaga Duma
Duma Lake is the biggest lake in North Halmahera, located in Galela districts and can reach from land about 45 minutes from Tobelo. Duma Lake offers beautiful natural panorama. The water is clear and calm, so that it suitable for having swimming, fishing and canoeing. There is also Talaga Makete, Talaga Likonano ad Talaga Kapupu, not far from this location.
Mamuya Hot Spring
Mamuya is located in Galela district. It is hot spring that comes from Mount Mamuya. The water is very hot and it's suitable for soak. The societies around believe that Mamuya hot spring can injure many kinds skin diseases. This place is about 15 km from Tobelo city.
Kapaseti
The war cap is called 'Kapasti' by society around, is a gift from Sultan Ternate to King Momole. Beside the war cap, there are also the other equipments such as; sword, bottles fill of oil and wood root that band by red stuff and shell that usually used to war. These tools can meet in Soakonora village, Galela Barat district.
Somola Bay
In Somola Bay, the tourists can found small islands that has mangroves tree on the stones and blue seawater. In this area the tourists can canoeing and enjoy the beautiful of Somola. At certain time, many fish will enter this bay and stay at this bay. This beautiful area can reach with the ship from Pune beach, Galela district.
Padi Wangoira
One of the unique point that can fid in Wangongira village, West Tobelo is the rice plant that grew in fast river. The river named Molulu means slip. Based to the legend, when a grandma was back from her garden, she brought rice plant then, the grandma was split away. The rice plant then grew in that place till now
Morotai Island was the site of a major battle during World War II. The landing strips built by the Allied forces in Morotai could handle today's jumbo jet, but serve only small Twin Otters. Although much of the relics from the war were carted off to the maws if the Krakatau steel mill, in Java, there are steill remnants of war machinery. Morotai Island, lying to the north of Halmahera, was an important air-base during world War II, first for the Allies and later for the Japanese until its recapture near the end of the war. The ghosts of war still linger in this area, where many wrecks of aircraft and rusting guns lie abandoned in the bushes. The coral reefs here are not easily forgotten. Wayabula, Berebere, Busus-busu, Sangowo and Daruba are villages on the beach.
West Irian Jaya
West Irian Jaya is a hot, humid island rising from the sea with some of the most impenetrable jungles in the world and yet also has snowcaps covering 5,000meter - High Mountain peaks, towering over glacier lakes. West Irian Jaya is Indonesia's largest and easternmost province and covers the western half of the world's second largest island. It is a land of exceptional natural grandeur, with beautiful scenic beaches, immense stretches of marshlands, cool grassy meadows and powerful rivers carving gorges and tunnels through dark and dense primeval forests. The most heavily populated and cultivated parts of the island are the Paniai Lakes district and the Baliem Valley to the east.
The people of the island can be divided into more than 250 subgroup, which are closely related to the islands along the southern rim of the Pacific and include among others, the Marindanim, Yah'ray, Asmat, Mandobo, Dani and Afyat. Those in the central highlands still maintain their customs and traditions and because of the terrain have virtually been untouched by outside influences. Communications hove always been difficult here and different tribes have lived, for the most part, in isolation even of each other, resulting in an incredibly diverse mixture of cultures.
Asmat people who live along the remote southeast coast around Agats are famed for their artistic "primitive" woodcarving. Modern civilization did not reach this area until recently. Agats has an interesting museum filled with woodcarvings and other objects. The area however is still largely untamed wilderness. Asmat crash received a boost in late 1960s under a United Nations supported project to encourage local craftsmen to keep alive their art.
The Asmat homeland comprises the rugged and isolated southern coast of Irian Jaya. It is an area of approximately 10,000 square miles and comprises mainly swamps and mangroves. Ancestor figures were traditionally made only for the festival honoring Fumer-ipits. They wear a unique costume. Tourists demand, however, is as resulted to change to this custom. Previously, after the festival, the figure is discarded into the forests near a sago tree because it was believed that as the wood of the carving is deteriorated, the power of the ancestor was transferred to the sago palm. Other ancestor carvings are designed as elements in larger carvings, such as canoe prows, paddles or ancestor poles.
The Asmat believe that all things have a spirit whether humans, animals, plants and even special locations such as a whirlpool or the bottom of a river. They also believe that the world is divided between that which can be seen and that which is unseen which is the realm of the spirits. It is considered important to maintain a proper balance between the seen and the unseen. In this respect, birth and death balanced the population between the seen and unseen realms and one cannot take place without the other. This would manifest itself in disease, hunger, death and misfortune that will be caused by the unsettled spirits.
Raja Ampat is the western island of Papua Island. The name of Raja Ampat based on the legend. This area had begun with 6 eggs that found by King Waikew in Waigeo Island. But from the 6 eggs, just 5 eggs had crack. The last was become an egg stone till now on.
From the fifth eggs that had cracked, the 4 eggs was become men who become King of four big islands that is Waigeo, Batanta, Salawati and Misool. While the one egg became a woman, had wash away and stranded in Biak Island. That woman was born a child named Gura Besi that known as the historical man of Raja Ampat, because of his heroic story.
The regency that formed based on the constitution number 26 in 2002 is the development of Sorong regency on 12 April 2003. This area has 46.000 km2. But, 85% of this area is archipelago area. There are 610 islands in this area. But most of them have no social life. This regency has 10 districts and 85 villages with about 48.707 men. Geographically, this area has strategic location. Their boundary is:
North side: Pacific Ocean
For the fauna sector, Raja Ampat has rarely fauna, such as; red birds of paradise (Paradise Rubra), Wilson birds of paradise (Cicinnurs Republica), Maleo Waigeo (Spilocuscus Papuensis), and rainbow fishes. Hence, for the flora, Raja Ampat has many kinds of Orchids, Waigeo palm, ironwoods or black woods, 'keruing', 'ulin' woods, etc.
Because of its various nature profit, Raja Ampat will declared by Maritime Ministry Freddy Numberi as ancient regency, based on its location that not only rich of fishes, but also its sea herb and the pearl.
Named of the big casuarinas trees, which grow in that area. Casuarinas Cape is just two kilometers from Sorong town on the Bird's Head peninsula of northern Irian Jaya. Good for swimming and recreation. (Cortesy by Indonesia-Tourism))
Monday, March 16, 2009
Segenggam Harapan di Bukit Kasih
Mitos Enteng Jodoh di Jembatan Akar Painan
“Banyak yang sudah membuktikan,” ujar Eri M, salah satu pengunjung yang datang ke jembatan yang berumur ratusan tahun ini.
Jembatan Akar Painan menjadi keunikan tersendiri bagi pesona alam Sumatera Barat. Jembatan sepanjang 10 meter dan lebar 1 meter ini terbuat dari pertautan akar dua pohon beringin yang berada di dua sisi tebing yang saling berhadapan.
Jembatan ini menghubungkan Dusun Pulut-Pulut dan Lubuk Silau di Koto Bayang di Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) yang terpisah oleh Sungai Batang Bayang yang permukaannya terletak sekitar 5-6 meter dari dasar jembatan. Air sungai ini berasal dari air Danau Si Kembar yang berada di kawasan Kabupaten Solok. Di tepi sungai terdapat bebatuan besar yang cocok untuk bersantai.
Menurut cerita masyarakat setempat, awalnya kedua dusun itu hanya dihubungkan dengan jembatan gantung dari bambu. Konon tokoh adat di kawasan itu yang bernama Pakih Sokan menanam dua pohon beringin di kedua tebing yang saling berhadapan. Pakih Sokan bernazar akan menggelar ritual siram darah kambing jika akar-akar kedua pohon beringin itu menyambung.
Setelah waktu berselang, entah bagaimana, akar kedua pohon beringin itu pun saling bertaut dan Pakih Sokan pun sangat bersuka cita. Lantas, Pakih Sokan menepati janjinya dan menggelar ritual potong kambing serta menyiram pertautan akar itu dengan darah kambing setiap tahunnya.
“Supaya tak angker juga, kata beliau,” ujar Ibu Darwanis sambil menyeduh kopi dan teh yang dipesan oleh pengunjung lain.
Namun, hubungan antara sejarah jembatan ini dengan mitos enteng jodoh tak terlalu jelas. Ibu Darwanis menduga, mitos tersebut timbul karena ketakjuban masyarakat terhadap pertautan akar dua pohon beringin yang terletak berseberangan bahkan menjadi sangat kokoh hingga bisa dilalui.
Ibu Darwanis sudah puluhan tahun berjualan makanan dan minuman ringan di kawasan wisata ini, tepatnya di sisi Dusun Lubuk Silau. Warung Ibu Darwanis bahkan terletak di atas bebatuan besar di tepi Sungai Batang Bayang. Sambil bersantai di warung Ibu Darwanis, pengunjung juga dapat menikmati keceriaan anak-anak kampung setempat yang sedang mandi di sungai atau berlompatan ke dalam sungai dari sisi tebing.
Menurut Ibu Darwanis pula, kawasan ini ramai dengan pengunjung pada high season. Selain ramai dengan pengunjung, kios-kios di sisi jembatan juga penuh dengan para penjual yang menjajakan berbagai cendera mata.
Kawasan yang telah ditetapkan menjadi obyek wisata ini terletak 65-70 km ke arah selatan Kota Padang tau 15 km dari Painan, ibukota Kabupaten Pessel. Perjalanan akan melewati Teluk Bayur, pelabuhan legendaris di Sumatera Barat. Dari Simpang Bayang, perjalanan diteruskan sekitar 1 km lagi untuk mendapati lokasi jembatan akar. Selain menggunakan kendaraan pribadi, lokasi ini dapat ditempuh pula dengan menggunakan angkutan. (Courtesy Kompas/Antara)
Proses dari dan menuju obyek wisata ini meninggalkan kesan yang tak mengecewakan pula. Di kiri dan kanan jalan terhampar sawah penduduk yang hijau dan terusan Sungai Batang Bayang dengan nyiur melambai di sepanjang tepinya.
Mari Sejenak Jadi Koboi
Tidak perlu repot ke Amerika Serikat atau ke Sumbawa di Indonesia timur hanya untuk berkuda. Tinggal pilih saja lokasi berkuda di sekitar Jakarta dan Bogor. Di kawasan Bintaro, Tangerang (dekat bundaran Bank Permata); di Pulomas, Jakarta Timur; atau di Jakarta Perkumpulan Equstarian Center (JPEC) yang berada di kawasan Sentul City, Babakan Madang, Bogor. Bisa juga langsung ke Agrowisata Gunung Mas, Puncak, Bogor.
Jika merasa tidak memiliki kemampuan berkuda, selalu ada pengendali kuda yang akan menemani para penunggang amatir. Kalau diperlukan, pelatih profesional pun turun tangan.
Di JPEC yang berada di kawasan Sentul City, peminat berkuda dapat menyewa kuda untuk berkeliling di lintasan wisata berkuda di kawasan Sentul City atau berkeliling di kawasan JPEC. Sewa kudanya Rp 100.000 per 30 menit, belum termasuk biaya pelatih atau pendamping.
Ada puluhan kuda dapat disewa di sini. Kuda-kuda tunggangan yang ada di klub ini atau di klub-klub lain di Jakarta dan sekitarnya rata-rata didatangkan dari Eropa, Arab, Australia, Amerika, hingga beberapa daerah penghasil kuda terbaik di Indonesia, seperti Sumbawa. Harga seekor kuda dari jutaan rupiah hingga Rp 2 miliar lebih.
”Biasanya setelah mencoba kuda poni (kuda sewaan wisata), mereka jadi tertarik untuk belajar berkuda. Di sini memungkinkan untuk itu karena JPEC memang sekolah berkuda dan tersedia juga kuda sewaan untuk pelatihannya. Jadi, untuk berkuda memang tidak harus punya kuda lebih dahulu,” kata Adi Katompo, kepala instruktur berkuda di JPEC.
Bagi mereka yang tertarik berlatih secara rutin dan ingin memiliki kuda tunggangan sendiri, JPEC menyediakan fasilitas penyewaan istal dan perawatan kuda. Tentu saja akan ada beban biaya tertentu per bulan bagi si pemilik kuda.
Namun, kalau ingin sekadar bersantai, berkuda di Gunung Mas bisa jadi pilihan sempurna. Di sini, wisatawan bisa memilih paket keliling lapangan kecil, rute 30 menit menembus perkebunan teh atau rute yang lebih panjang antara satu dan dua jam. Jika memilih rute panjang, wisatawan akan diajak menembus kebun teh, perbukitan di sekitar puncak, hingga ke Taman Safari. Harga sewa Rp 15.000-Rp 150.000 per orang untuk satu kuda.
Harus berani
Pehobi berkuda dipastikan tidak akan pernah merasa ketinggalan zaman karena olahraga ini sudah ada sejak berabad lalu dan terus diminati. Kuda memang bukan sekadar tunggangan dan pembantu petani di samping kerbau. Akan tetapi, kuda juga merupakan simbol status sosial seseorang.
Satu hal penting sebelum memutuskan berkuda adalah dengan meyakinkan diri sendiri bahwa kita berani. Pesan ini secara khusus selalu dikatakan oleh para pemilik kuda di kawasan wisata Gunung Mas, Kompleks Agrowisata Gunung Mas.
”Seperti orang, kuda kadang usil. Caranya, dia berontak untuk menguji nyali penunggangnya. Kita yang menunggangnya harus tenang. Tidak usah takut, karena kami, para tukang kuda yang menuntun, pasti selalu siaga,” kata Suwito dan Rustam, pemilik sekaligus pemandu wisata berkuda di Gunung Mas.
Sebelum berkuda sebaiknya melengkapi diri dengan helm, kaus tangan, kemeja terbuat dari katun yang bisa menyerap keringat, jaket, celana panjang dari bahan katun, dan sepatu bot. Selama berkuda harus memerhatikan keseimbangan badan dan jangan pernah merasa takut. Selain itu, perhatikan petunjuk yang diberikan oleh pendamping berkuda. Selamat mencoba! (Courtesy Kompas/Antara)
Ngarai Sianok yang Terhidang "Lezat"
Menanti Fajar di Papandayan
Garut Fam Trip adalah sebuah kegiatan tur keliling yang diprakarsai oleh beberapa pengelola hotel dan restoran di Garut beberapa waktu lalu. Tujuannya adalah mengenalkan lebih dekat obyek-obyek wisata yang potensial di daerah kaya panas bumi itu sehingga agen perjalan wisata bisa mempromosikannya kepada wisatawan asing.
Satu kegiatan yang paling dinanti oleh semua peserta adalah menanti terbitnya sang fajar di puncak Gunung Papandayan. Untuk itu, kami harus berjuang melawan kantuk untuk bangun dan bergegas berangkat menuju gunung yang berada di Kecamatan Cisurupan itu.
Ya, menanti matahari terbit dari puncak Gunung Papandayan. Motivasi itulah yang menjadi pendorong para peserta Garut Fam Trip tetap berangkat. Ada sekitar lima kendaraan termasuk dua bus yang mengangkut para peserta.
Menurut Ketua Panitia Garut Fam Trip Goya A Mahmud, seperti halnya di Gunung Bromo, menanti matahari terbit di Gunung Papandayan juga potensial untuk dikemas dalam paket perjalan wisata. Diharapkan, ini menjadi ikon baru wisata Garut.
Perjalanan menuju Papandayan dini hari itu berjalan lancar karena memang pada jam segitu jalan raya sangat sepi. Pukul 02.30 rombongan tiba di tempat parkir obyek wisata Gunung Papandayan. Begitu keluar dari mobil hawa dingin menusuk tulang pun langsung terasa. Para peserta harus mengenakan jaket, sarung tangan, penutup kepala, dan sepatu untuk mengurangi rasa dingin.
Setelah berdoa bersama kami pun melangkahkan kaki menuju lokasi yang dituju. Berbekal lampu senter kami berjalan beriringan satu-satu. Dari kejauhan, peserta rombongan yang membawa lampu senter bagaikan kunang-kunang yang berjalan beriringan di gelapnya malam.
Di 10 menit pertama perjalanan belum berat. Semakin tinggi kita mendaki semakin berat kaki untuk melangkah. Jantung berdetak kencang dan keringat mulai bercucuran. Beberapa di antara kami harus berh enti sejenak mengumpulkan tenaga untuk melan jutkan perjalan.
Di ketinggian tertentu rombongan melewati kawah yang mengepulkan asap dan mengeluarkan suara mendesis. Bau belerang pun menyengat hidung.
Tidak terasa 45 menit telah berlalu ketika kami sampai di lokasi yang dituju. Lega rasanya rasa letih ini harus berakhir, setidaknya untuk beberapa saat. Sebabnya, kami masih harus mengeluarkan tenaga dalam perjalan pulang menuruni gunung.
Dua buah meja yang di atasnya ada dua termos air panas, gelas, kopi, susu, teh, dan gula sudah men anti kami di puncak Papandayan. Semua peserta membuat minumannya sendiri sesuai selera untuk menghangatkan badan.
Terlalu cepat kami sampai di puncak sehingga masih banyak waktu sampai matahari terbit. Sambil menunggu waktu sunrise yang pas peserta b erlindung di balik perdu untuk menghindari hembusan angin yang sangat dingin. Ada juga yang membuat api unggun. Sementara panitia sibuk memasak makanan untuk sarapan.
Semburat sinar matahari mulai terlihat. Semua peserta tur pun langsung berkumpul menghadap ke timur menanti sang surya terbit. Di kejauhan terlihat Gunung Cikuray.
Sayangnya, saat itu cuaca tidak bersahabat sehingga keindahan sinar matahari di pagi hari tidak terlihat sempurna. Bentuk matahari yang bulat yang kami nanti-nanti pun tidak nampak. Sang surya tetap tertutup awan. Hanya cahayanya saja yang perlahan menyinari bumi.
Peserta sedikit kecewa. Untuk mengobati kekecewaan kami pun berfoto bersama memanfaatkan latar keindahan Gunung Cikuray yang menyembul dari balik kabut di pagi hari.
Puas berfoto, nasi goreng sudah menanti. Kami pun sarapan nasi goreng yang cepat sekali dingin karena udara. Usai sarapan, rombongan peserta bergegas menuruni gunung menuju kendaraan. Kami pun mluncur pulang.
Ternyata sensasi wisata yang disajikan panitia kepada peserta tidak cukup sampai di situ. Ada kegiatan lain yang tak kalah menantang dari menanti fajar di puncak gunung. Di tengah perjalanan pulang tepatnya di Kecamatan Bayongbong kendaraan berhenti. Semua peserta berganti pakaian dan meninggalkan semua barang berharga di kendaraan.
Peserta pun kemudian menuju Sungai Cimanuk. Perahu karet sudah menanti di sana. Saatnya peserta mengarungi jeram Sungai Cimanuk sepanjang lebih kurang 8 kilometer menuju pusat kota Garut. Pengarungan ini membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam.
Tidak ada ruginya mencoba tur seperti itu. Menanti fajar terbit di puncak gunung, pulang sambil mengarungi jeram, dan diakhiri berendam air hangat di Cipanas Garut. Makanya, ayo berwisata ke Garut....(Courtesy Kompas/Antara)