Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, January 29, 2009

Pekan Budaya Tionghoa di Ketandan Rangkul Budaya Lain

Menyambut tahun baru Imlek 2560 masyarakat Tionghoa Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta akan kembali menggelar Pekan Budaya Tionghoa yang berlangsung di Jalan Ketandan, 5-9 Februari. Berbeda dengan tiga kali penyelenggaraan sebelumnya, even kali ini akan merangkul budaya lain yang ada di tanah air untuk ikut berpartisipasi.

Seksi Acara Pekan Budaya Tionghoa Gutama Fantoni, Rabu (21/1), mengatakan sudah bukan jamannya lagi perayaan tahun baru Imlek dilakukan secara inklusif sebatas kalangan internal warga Tionghoa sendiri. Begitu pula dengan kegiatan Pekan Budaya Tiongh oa diupayakan untuk terus membumi.

Keinginan untuk menghilangkan kesan etnis bisa dilihat dari tema yang dibawakan dari tahun ke tahun. Pada penyelenggaraan pertama tahun 2006 temanya hanya Pekan Budaya , disusul Pesta Rakyat tahun 2007, Budaya Rakyat pada tahun 2008, dan Ragam Budaya Rakyat pada tahun 2009. Tidak menutup kemungkinan tahun depan temanya Budaya Nusantara, kata Fantoni.

Diikutsertakannya budaya lain pada Pekan Budaya Tionghoa kali ini tak lepas dari potensi yang ada di Yogyakarta. Jumlah mahasiswa asal daerah di Yogyakarta cukup banyak. Mereka pun memiliki kelompok-kelompok kesenian berdasar provinsi masing-masing yang siap ditampilkan dalam berbagai kesempatan.

Yogyakarta, kan, miniaturnya Indonesia. Banyak mahasiswa dari luar daerah yang punya tim kesenian. Nah saat ini kami sedang menyeleksi, mana saja yang nantinya akan mengikuti acara di panggung maupun memeriahkan karnaval, ujarnya.

Ditemui terpisah, Anggi Minarni yang juga menjadi seksi acara, mengatakan jadwal kegiatan masih berubah-ubah. Namun, ada sejumlah acara yang pasti, di antaranya pertunjukan wayang poo tay hee asal Jombang, Jawa Timur, yang akan dipentaskan setiap hari pada akhir kegiatan. Selain itu juga ada ketoprak yang sebagian pemainnya warga Tionghoa. Bertindak sebagai pelatih adalah seniman Didi Nini Towok, sedang penulis naskahnya ialah seniman ketoprak Bondan Nusantara.

Pekan budaya ini juga diramaikan sembilan kelompok barongsai. Sedang, untuk peserta karnaval dari luar daerah yang telah melakukan konfirmasi adalah kelompok kesenian mahasiswa asal Papua dan Kalimantan Tengah, katanya.

Menurut Anggi banyak pelestari budaya Tionghoa yang ternyata berasal dari Jawa. Untuk pemain barongsai, misalnya, tidak semuanya warga Tionghoa. Begitu pula wayang poo tay hee asal Jombang, dalangnya ternyata juga orang Jawa. (Courtesy Kompas/Antara)

"Ngelawang" Barongsai Sambut Imlek di Kuta

Prosesi tiga barongsai dan dua naga yang dikemas dalam atraksi unik akan mengawali perayaan Tahun Baru Imlek 2560 di kawasan wisata Kuta dan sekitarnya. Prosesi menempuh jalur mengelilingi Vihara Dharmayana dan jalan-jalan protokol di kawasan wisata Kuta Bali dan sekitarnya akan dilaksanakan Minggu sore (25/1).Penanggungjawab Vihara Dharmayana Kuta, Hindra Suarlin, Jumat (23/1), menyatakan pagelaran Barongsai dan Naga "Ngelawang" menempuh jarak sekitar dua kilometer berlangsung sekitar 1,5 jam. Diupayakan sedapat mungkin agar acara ini tak mengganggu lalu lintas yang kondisinya selama ini cukup padat."Ngelawang barongsai dan naga pada Minggu sore itu, sejak awal sudah dikoordinasikan dengan kepolisian setempat untuk membantu kelancarannya, mengingat arus lalu lintas di kawasan Kuta cukup padat," kata Hindra Suarlin.Prosesi "Ngelawang" bermakna mengusir kekuatan jahat yang mengganggu kehidupan manusia, dan hal itu dilakukan secara berkesinambungan mengawali tahun baru Imlek. Kegiatan tersebut dilakukan sehari lebih awal dari perayaan tahun baru Imlek, guna memberi kesempatan kepada umat Budha melaksanakan Perayaan Tahun Baru Imlek 2560 secara khidmat yang jatuh pada hari Minggu (26/1).Umat Budha, khususnya keturunan Tionghoa di Bali pada Hari Raya Suci Imlek melakukan persembahyangan di rumah mereka masing-masing kemudian dilanjutkan ke Vihara dan Kelenteng. Persembahyangan ini dilakukan sesuai tradisi yang diwariskan turun temurun.Penyalaan lilin, hiasan lampu (lampion), persembahan hidangan buah-buahan, dan berbagai macam kue menjadi ciri khas perayaan imlek pada setiap Vihara dan Kelenteng di Bali. Persembahyangan berlangsung seperti hari-hari biasa, namun kali ini agak istimewa, karena disertai pemberian makanan khas kepada mereka yang dinilai berjasa mengembangkan usaha maupun kehidupan pribadi.Perayaan imlek tahun ini, lanjut Hindra, lebih menekankan pada kesadaran, ketekunan dan meningkatkan pengabdian untuk bangsa sebagai balas budi. Hari Raya Imlek kental dengan nuansa kehangatan, berawal dari tradisi pergantian musim gugur ke musim semi di dataran Tionghoa. Namun tradisi itu tetap diwarisi secara turun temurun disesuaikan dengan kondisi setempat. Perayaan di sejumlah Vihara di Bali juga dimeriahkan dengan pegelaran barongsai, kesenian khas Cina. (Courtesy Kompas/Antara)

Merenda Masa Lalu di Pancoran

Sabtu (24/1) pukul 18.45, cahaya kembang api warna-warni menghiasi kawasan Jalan Pancoran, Jakarta Barat. Inilah penanda diawalinya keramaian dan keriangan menyambut Tahun Baru Imlek di sana.

Masih di lingkungan itu, di Jalan Petak Sembilan, di sekitar Wihara Dharma Bhakti (Jin-de yuan, 1650), puluhan pedagang kaki lima menggelar dagangannya bermacam-macam bunga. Pedagang lainnya menjual pakaian tradisional dan pernak-pernik perayaan Imlek hingga larut. Toko-toko perlengkapan sembahyang pun tak kalah ramai oleh pembeli.

Bagi warga peranakan China di Jakarta dan sekitarnya, Pancoran bukan saja menjadi pusat perayaan Imlek, pusaran ekonomi, sosial, atau kebudayaan, tetapi juga menghubungkan masa lalu mereka.

Kala terjadi tragedi berdarah yang menimpa warga China di Batavia tahun 1740, sebagian warga China pindah ke kawasan pinggiran Jakarta, seperti Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang. Sebagian lainnya memilih bertahan di kawasan kota lama.

Mereka yang memilih bertahan pindah ke kawasan Glodok, termasuk Pancoran, dan melanjutkan usaha dagang mereka. Namun, masyarakat yang hidup di pinggiran memilih membaur menjadi nelayan atau petani, memeluk agama Islam, dan menikah dengan warga setempat.

Komunitas pinggiran ini lalu berakulturasi seperti tecermin dalam berbagai jenis musik, busana, kuliner, dan tradisi baru lainnya. Inilah awal terbentuknya ”etnis” Betawi. Mereka berasal dari pernikahan silang Sunda, Jawa, Bugis, Bali, India Gujarat, China, dan Portugis.

Setelah suasana politik di Batavia berangsur pulih, Pancoran dijadikan tempat pertemuan antara peranakan China (Taois dan Buddhis) dan peranakan China Betawi, terutama, saat memperingati Imlek. Pertemuan tersebut sampai sekarang masih mentradisi.

Setelah peristiwa berdarah 1740, kawasan Pancoran tumbuh menjadi pusat jajan kaki lima terbesar di Batavia. Tempatnya berdampingan dengan kawasan pusat perdagangan Glodok (Linkwatiersgracht). Karena menjadi lokasi penghubung kawasan perdagangan di Jalan Gajah Mada, Glodok, Toko Tiga, dan Pasar Perniagaan, pusat jajan Pancoran berkembang cepat.

Jalan Pancoran menjadi etalase perdagangan yang membentang sejauh 300 meter dari tepi Jalan Gajah Mada sampai ke jembatan Jalan Toko Tiga.

Nama Pancoran, seperti ditulis Herman Budhi dalam bukunya Pancoran Riwayatmu, berasal dari kata pancuran. Tahun 1670, di kawasan ini dibangun waduk atau tempat penampungan air dari Kali Ciliwung. Waduk dilengkapi dua pancuran yang mengucurkan air dari ketinggian 10 kaki.

Di sini, para penjaja mengambil air dan menjajakannya di tepian kali kanal (grachten) kota. Tempat ini juga menjadi tempat minum dan istirahat kuda-kuda yang menarik kereta.

Di tempat ini pula, para kelasi mengambil air untuk bekal perjalanan kapal-kapal mereka yang sedang sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa. Karena lama menunggu giliran, sebagian dari para kelasi itu memanfaatkan waktu menunggu dengan menjual barang-barang selundupan yang mereka bawa dari kapal.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Imhoff (1743-1750), dibangun instalasi air yang menyalurkan air dari waduk ke kastil. Ini membuat para kelasi tak perlu lagi mengambil air di pancuran. Jaringan air yang terbuat dari balok kayu persegi yang disambung-sambung dengan timah ini pun masuk ke balaikota. Sebagian air muncul dalam bentuk air mancur di halaman balaikota.

Tahun 1685, kualitas air Kali Ciliwung yang disalurkan lewat Kali Molenvliet ke waduk keruh. Air akhirnya hanya digunakan untuk air minum kuda.

Pasang surut

Awal abad ke-20, predikat Pancoran sebagai pusat kuliner di Jakarta berkembang. Tahun 1920-an, Pancoran tak hanya diwarnai tenda-tenda jajanan kaki lima, tetapi juga oleh kehadiran sejumlah restoran. Selain itu, toko-toko obat tradisional China dan ruang-ruang perawatan sinse mulai bermunculan di sana.

Restoran paling populer kala itu antara lain Restoran Zong Hua, Beng Hiong, Kamleng, Kwetiau Sapi Siay A Ciap, Tay Too Lin, dan Shi Hay Juan. Aneka masakan Betawi, seperti soto, sop, dan sate kambing pun, kian banyak disajikan di balik tenda-tenda dan gerobak kaki lima.

Namun, saat Jepang menjajah, keriuhan dan hiruk-pikuk kawasan Pancoran memudar. Pancoran sepi, tetapi pada tahun 1945, Pancoran kembali menggeliat. Restoran-restoran kembali buka.

Tahun 1960-an, suasana di Pancoran kian ingar-bingar oleh rezeki minyak. Suasana ekonomi nasional yang menggembirakan itu semakin cerah pada tahun 1970-an.

Eksotisme Pancoran tak hanya dikenal sebatas Jakarta dan sekitarnya saja, tetapi juga sudah disejajarkan dengan pusat kuliner China di Hongkong. Banyak selebritis Taiwan, Hongkong, dan Singapura ke Jakarta hanya untuk memanjakan perut dan lidah mereka di Pancoran.

Aktor film kungfu Hongkong, seperti Wang Yu dan Cheng Yun, pada tahun 1970-an datang ke Pancoran. Mereka kagum dengan interaksi masyarakat di kawasan itu. Kedua bintang film kungfu dikenal di kalangan seberitis China itu di negaranya sebagai ”juru bicara” Pancoran.

Namun, suasana menggembirakan itu kembali meredup setelah rezim Orde Baru melarang perayaan Imlek. Silaturahim antara kalangan peranakan China dan peranakan China Betawi tersendat. Tiada lagi atraksi sesingaan (barongsai) dan naga (liong) di sana. Tidak ada keramaian deretan para pedagang dan pembeli bandeng di Jalan Toko Tiga serta perdagangan ayam di Jalan Petak Sembilan. Menjelang dan semasa Imlek suasana di Pancoran justru sepi.

Akan tetapi, pada awal tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menghapus larangan itu. Pancoran pun kembali ramai, meriah, dan setiap lorong di kawasan itu seperti bersolek lampion dan lampu warna-warni. Rekonstruksi suasana pra-Imlek seperti di tahun 1960-an dilakukan Pemerintah Kota Jakbar.

Hanya dalam hitungan hari, Pancoran kembali diserbu pedagang kali lima. Suasana menjadi kumuh, tak sehat, dan tak lagi nyaman. Beruntung, Maret 2005, Wali Kota Jakbar Fadjar Panjaitan merelokasi PKL ke Pasar Jaya Glodok, Pasar Mitra Jembatan Lima, Pasar Perniagaan, Pasar Jembatan Dua, dan Pasar Pluit. Suasana di tepian Jalan Pancoran pun kembali nyaman. Lalu lintas pun lancar.

Sayang, sepeninggal Fadjar sebagai Wali Kota Jakarta Barat, jalan kembali menyempit oleh ulah para para pengendara dan juru parkir yang sengaja mengokupasi jalan untuk lahan parkir.

Padahal, di kawasan itu sudah disediakan banyak lahan parkir, baik di ruang terbuka maupun di dalam gedung. Meski demikian, hiruk-pikuk kemacetan di kawasan Pancoran tidak menghalangi kaum China peranakan dan China peranakan Betawi tetap membangun silaturahim pada Tahun Baru China. (Courtesy Kompas/Antara)

Nyanyi Sunyi Sebuah Batu...

DI Desa Pakemitan, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, ada satu batu besar di tengah sawah yang bentuknya menarik perhatian saya. Batu yang berbentuk unik ini sudah saya kenal sejak saya masih kanak-kanak, waktu itu ayah saya biasa mengajak nuar awi (menebang bambu) di kebun kakek di Cibangkong.

Nah, sebelum melewati Cibangkong itu batu berbentuk unik itu sudah ada di sana dan bahkan dianggap sebagai tempat angker, tempat bersemayamnya makhluk gaib. Seingat saya, zamannya nalo (national lotre) alias judi massal masih diperbolehkan, ada saja bekas sesajian di tempat itu.

Sebagai jurnalis, saya tergelitik dengan bentuk batu sebesar gajah dewasa di tengah sawah itu. Saya tidak tahu apakah bentuk batu itu menyimpan sejarah masa lalu yang "heboh dan mencengangkan", apakah dia menyimpan sesembahan manusia masa lalu ketika agama yang sekarang kita kenal belum ada dan sampai ke desa Pakemitan itu, apakah itu prasasti atau penanda tapal batas wilayah kerajaan, atau semata batu belaka?

Mengapa saya tertarik menulis dan berbagi mengenai batu yang bisa saja kebetulan bentuknya seperti foto yang tersebar di tubuh tulisan ini? Karena saya ingat satu nama, Erich von Daniken! Karena teringat satu nama itulah maka tulisan ini ada.

Perkenalan saya dengan orang yang dijuluki "Profesor Sinting" itu jauh ke masa silam, kurang lebih 30 tahun lalu, saat Harian Suara Karya menurunkan tulisan bersambung mengenai kiprah Daniken sebagai peneliti dan penjelajah aneh dengan teori-teori nyeleneh-nya.

Waktu itu saya masih duduk di kelas enam sekolah dasar dan saya membaca tulisan bersambung itu dengan penuh minat. Mengapa saat itu orangtua hanya berlangganan Suara Karya? Maaf kalau saya menyinggung satu pihak sebab zaman itu zaman Orba sehingga koran yang berafiliasi ke Golkar itu pun harus/wajib dilanggan para guru! Kalau guru tidak berlangganan koran itu, tahu sendiri akibatnya. Tapi itu dulu! Sekarang zaman sudah berganti...

Nah, yang saya ingat sampai sekarang adalah teori Daniken yang mengatakan: bahwa pada masa lalu planet Bumi kita ini dihuni oleh makhluk-makhluk pintar dari luar angkasa (alien) sehingga peninggalannya bisa dilihat di Bumi ini. Peninggalan alien itu antara lain (dan ini yang membuat marah sebagian orang): piramid dan sphinx di Mesir, coretan gambar/sketsa raksasa di lembah Nazca di Peru, peta bumi dan alat navigasi Piri Reis (pelaut?) yang meski sudah berusia 3.000-an tahun, tetapi peta dunia yang ada saat itu sama persis dengan peta bumi yang sekarang ada! Daniken beranggapan, peta itu hanya bisa dibuat seakurat mungkin hanya jika menggunakan pencitraan satelit atau pesawat ulang alik!

Daniken memprovokasi dengan sebuah pertanyaan: mampukah peradaban manusia ribuan tahun lalu membuat satelit atau pesawat ruang angkasa di saat peradaban manusia modern baru bisa mengorbit bumi akhir tahun 1950-an?

Dulu saya membacanya seperti itu, sekarang saya baru mengernyitkan dahi sambil mengurut-ngurut kepala, benar juga ya? Yang saya tahu, Daniken rajin menelusuri lukisan, kerajinan, dan ukiran-ukiran kuno ribuan tahun lalu. Anehnya, dia fokus pada bentuk-bentuk manusia aneh (alien) dan benda-benda terbang bersayap yang diduga pesawat ruang angkasa milik makhluk pintar yang disebut alien itu.

Siapa yang tidak tersengat kalau potongan piramid di Mesir itu dikerjakan oleh laser tajam dan bukan dipahat manusia Bumi? Daniken berteori: hanya makluk pintar dari angkasa luasr yang bisa memotong-motong batu itu seperti memotong kue lapis menggunakan pisau laser canggih! Terang saja, teori Daniken ini dianggap melecehkan peradaban manusia!

Jadi.... kembali ke batu di Cibangkong itu! Apakah penggalan batu yang terbagi dua secara simetris itu dikerjakan oleh laser canggih dari luar angkasa? Apakah manusia purba mampu membelah batu itu dengan alat pahat "modern" pada masanya sehingga menjadi rata satu sama lain seperti orang membelah kue lapis?

Untuk yang satu ini, mari kita diskusikan bersama dengan melihat foto-foto yang saya jepret dan di-sharing di sini. Syukur kalau ada arkeolog atau orang-orang dari Dinas Purbakala yang berminat mempelajarinya, siapa tahu batu itu bercerita banyak mengenai peradaban masa silam. Siapa tahu di balik batu itu ada tulisan yang bisa dibaca dan dimaknakan.

Yang jelas, keingintahuan manusia akan sesuatu yang sifatnya "belum terpecahkan" harusnya menjadi milik kita semua. Bagi mereka yang berminat menelitinya, saya bersedia mengantar Anda (jika punya waktu) sampai ke tempat batu itu berdiri dengan keunikan dan keanehannya, setidak-tidaknya bagi saya. (Courtesy Kompas/Antara)

Tuesday, January 20, 2009

Menikmati Kampung Wisata

Selain berbagai obyek di sepanjang aliran Ciliwung, Bogor juga memiliki alternatif tempat wisata yang relatif "baru". Tujuan baru ini diyakini mampu mengetuk hati dan menambah wawasan untuk bisa hidup lebih dekat dengan alam.

Tempat seru yang ditawarkan kali ini adalah Kampung Budaya Sindangbarang (KBS) dan Kampung Wisata Industri Cikaret (KWC). Kebetulan, lokasi keduanya tidak berjauhan satu sama lain, ada dalam satu jalur perjalanan ke arah selatan Kota Bogor. Sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Hujan itu, tepat di kaki Gunung Salak.

Untuk mencapai keduanya, sama-sama harus melalui Persimpangan Pancasan di Bogor Selatan, lalu masuk ke Jalan Raya Bogor-Ciapus, jalan yang melintasi Kelurahan Cikaret dan Desa Pasir Eurih. Jangan kaget jika jalan yang dilalui tergolong sempit dan padat kendaraan maupun perumahan.

KBS adalah kompleks wisata budaya Sunda Bogor yang berlokasi di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Di sini, dapat dilihat dari dekat sekaligus tinggal di dalam rumah-rumah bergaya arsitektur tradisional Sunda.

Lantunan irama klasik Sunda Bogor menyambut wisatawan saat memasuki kompleks kampung budaya ini. Hanya dengan membayar Rp 600.000-Rp 1,5 juta per malam, wisatawan dapat menginap di satu imah (rumah) yang dapat menampung maksimal 10 orang. Tersedia sarapan pagi gratis untuk empat orang.

Di tengah malam, saat udara jernih bebas kabut, gemerlap kota Bogor dan Jakarta terlihat jelas. Dengan luas lahan 8.600 meter persegi, di kompleks KBS saat ini ada 28 bangunan. Sejatinya, dalam sebuah kampung adat Sunda dahulu, bangunan-bangunan itu untuk dihuni dan digunakan pupuhu (kepala adat), panggiwa (pembantu ahli pupuhu), beserta kokolot (para tokoh adat).

Bangunan-bangunan itu dulu digunakan sebagai wadah aktivitas mereka (dan keluarga) sehari-hari, serta menjalankan roda pemerintahan masyarakat atau komunitas adatnya, termasuk menyelenggarakan ritual/ upacara-upacara adat.

Menurut Ahamat Mikami Sumawijaya, pupuhu KBS, setelah terputus lebih dari 32 tahun, tradisi adat yang menjadi daya tarik wisata kini mulai rutin digelar. Beberapa di antaranya adalah Seren Taun. Pekan lalu, KBS mengelar perhelatan Seren Taun untuk empat kalinya.

Selama menginap di KBS, wisatawan bisa menikmati sekaligus belajar kesenian Sunda Bogor klasik, pencak silat, atau mengikuti aktivitas keseharian penduduk desa, seperti bertani di sawah atau menumbuk padi. Yang menarik, ada paket wisata penelusuran situs-situs purbakala peninggalan Kerajaan Sunda (Pajajaran).

Menilik industri kecil

Dari KBS, lanjutkan perjalanan ke Cikaret di wilayah Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Lurah Cikaret Syarifudin mengatakan, meski masih terkesan padat dan belum tertata, Kampung Cikaret menyimpan banyak potensi wisata yang berbeda, yaitu wisata usaha rumahan.

Desk informasi wisata mereka ada di kantor kelurahan dengan nomor telepon 02518487219. Di Cikaret, sedikitnya ada 147 usaha rumahan yang siap dikunjungi.

Dengan membayar Rp 50.000 untuk satu orang atau satu keluarga atau satu rombongan wisatawan (maksimal 30 orang), akan diantar seorang pemadu wisata anggota Kompepar, berkeliling ke obyek-obyek wisata di kampung tersebut. Tentunya, dengan berjalan kaki, yang akan menghabiskan waktu antara dua sampai tiga jam dalam satu trip/ perjalanan wisata.

Kegiatan usaha atau bengkel kerja itu antara lain pembuatan produk alas kaki, tahu, tempe, tauco, wayang golek, kue ali, sablon, tas, tenda, ransel, dan pembuatan suvenir dari limbah produk alas kaki.

Saat berwisata ke bengkel- bengkel usaha kecil, wisatawan bisa belajar, bukan saja proses pembuatan produk tersebut, tetapi juga arti kehidupan dan keuletan para usahawan kecil menengah yang berjuang nyaris tanpa bantuan siapa pun, termasuk pemerintah.

”Kegiatan usaha mereka sudah berjalan belasan tahun bahkan puluhan tahun karena turun-menurun dari orangtuanya,” kata Syarifudin. Siapa tahu, setelah melihat aneka produk rumahan itu, Anda bisa memborongnya atau malah berbisnis. (Courtesy Kompas/Antara)

Pesona Taman Air di Bandung

Sejauh mata memandang, terlihat air berwarna biru. Sekali-kali muncul sembrurat cahaya hasil pantulan sinar matahari dari kolam. Semakin teduh mata ini kala melihat deretan cemara udang (Casuarina equsetifolia ) berdiri tegak, seolah menjadi batas tegas dua biru, yaitu air kolam dan langit.

Taman air (waterpark ) Karang Setra, demikian tempat menyejukkan itu dijuluki. Pada dasarnya, obyek wisata yang terletak di daerah Sukajadi, Kota Bandung, ini adalah kolam renang. Namun, jenisnya ada tujuh macam. Ada taman air-nya, water boom atau perosotan raksasa, kolam arus, hingga kolam pantai. Sepintas, mirip dengan fasilitas yang ada di Atlantis Water Adventure, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Tentunya, dengan skala berbeda.

Taman air ini sebetulnya adalah salah satu obyek wisata keluarga yang teramai di Kota Bandung. Letaknya yang strategis, hanya enam kilometer dari pusat kota, ditambah fasilitas yang lengkap, termasuk food court dan vide game, menggoda pengunjung untuk hadir. Di saat liburan, misalnya Lebaran lalu, tempat ini dipadati pengunjung. Satu hari, 12.000 orang bisa hadir di sini!

Kolam pantai adalah salah satu obyek yang menarik dari tempat ini . Satu-satunya yang ada di Bandung, bahkan Jawa Barat. Duduk di pinggiran kolam ini sambil bersantai, maka imajinasi akan membawa kita seolah-olah ke pantai betulan. Berpasir putih, namun berair je rnih dan biru. Hal yang jarang ditemui di pantai-pantai sungguhan. Hanya, tidak ada satu butir pun pasir di tempat ini. Efek pasir putih ataupun garis pantai ini muncul akibat bentuk kolam berubin putih yang cekung, landai di pinggiran.

Mengunjungi tempat ini, dijamin akan menyesal jika Anda sampai tidak mencoba water boom. Di sini terdapat sekaligus dua waterboom, sehingga Anda tidak perlu antre untuk mencobanya. Perosotan setinggi lebih dari 15 meter ini meliuk-liuk layaknya naga raksasa. Rasakan sensasi merosot dari puncaknya. Rasa takut saat menapaki menara yang tinggi akan sirna begitu tubuh kita meluncur dan membelah kolam.

Kompleks kolam renang ini dikunjungi wisatawan dari ragam umur, dari pelajar, mahasiswa, hingga atlet. Di tempat ini terdapat pula Kolam Prestasi yang biasa dipakai atlet-atlet renang dari Bandung. Namun, bagi Anda yang membawa anak-anak, janganlah berkecil hati. Sebab, tersedia pula kolam anak setinggi 50 - 85 centimeter. Ada rencana, ke depan akan dibangun kolam khusus air panas untuk makin melengkapi fasilitas di sini.

Lantas bagaimana dengan keamanan atau sanitasi di kolam ini? Irwansyah Hasan, dari Bagian Pemasaran dan Humas Taman Wisata Karang Setra, mengatakan, tiap hari, kolam ini dibersihkan. Jam 5 sore, endapan kotoran di dasar kolam disedot. Lalu, air pun diberi kaporit. Diendapkan semalaman, baru disaring lagi. Kami pun memiliki sumur bor untuk menjaga sirkulasi air setiap waktu paparnya. Pada tahun baru nanti, pengelola pun berencana menyiapkan hiburan live show di tengah-tengah areal Taman Air.

Terjun payung

Sensasi taman air yang unik juga ditawarkan Waterpark Bandung Indah, Kopo. Di tempat ini, jika beruntung-berada di waktu-waktu tertentu, Anda bisa menyaksikan terjun payung prajurit TNI Angkatan Udara langsung dari kolam renang. Seperti terlihat Jumat (12/12) pagi, langit di barat waterpark ini dihiasi formasi sejajar sembilan anggota terjun payung yang turun dari pesawat Hercules.

Letak Waterpark Bandung Indah yang bersebelahan dengan Lapangan Udara atau lanud TNI AU Sulaiman memungkinkan kita menyaksikan latihan terjun payung hanya dengan mata telanjang. Latihan terjun payung ini biasa dilakukan Jumat pagi hingga Pukul 11.00 WIB. Waterpark ini adalah satu-satunya wilayah terdekat lanud yang bisa diakses publik, meski sedikit tidak bisa leluasa sebab ada petugas yang kerap mengawasi di pintu masuk dekat lokasi taman air.

Wahana yang paling menarik di tempat ini adalah perosotan air ( waterslide) raksasa yang tingginya lebih dari 25 meter. Perosotan air ini memiliki tiga tingkat, yang tertinggi adalah 20 meter. Jika sampai di titik ini, jangan lupa layangkan pandangan Anda ke arah selatan. Dari sini, kita bisa menyaksikan pemandangan menakjubkan hamp aran perbukitan golf yang hijau. Lokasi ini bersebelahan dengan Padang Golf Bandung Indah. Padang golf ini berada dalam satu pengelolaan dengan waterpark ini.

Namun, yang disayangkan, perosotan air yang tertinggi (20 meter) itu tidaklah berfungsi saat Kompas berkunjung. Karena air tidak mengalir di perosotan, pengunjung tidak bisa meluncur. Namun, jangan lekas kecil hati. Pengunjung masih bisa menikmati perosot an serupa di ketinggian berbeda, namun dengan variasi lekukan serupa. Di tempat ini, anda bisa merasakan pula sensasi rainbow springkle atau alat percikan pelangi, yaitu sebuah wahana di tengah-tengah kolam dangkal yang menyemprotkan air dari pipa yang berwarna-warni.

Setelah letih berenang, sempatkan diri menikmati hidangan di waterpark corner. Berbeda dengan kafe atau tempat makan umumnya, pojok waterpark ini berada persis di pinggir salah satu kolam. Pengunjung bisa menikmati ragam burger, hotdog atau se kedar jus, meski masih berpakaian renang. Jadi, janganlah ragu mengisi waktu liburan akhir tahun Anda di taman-taman wisata ini! (Courtesy Kompas/Antara)

Mengenang Jenderal Soedirman di Pacitan

Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur, kini mempunyai obyek wisata sejarah berkelas internasional, menyusul diresmikannya Pengembangan dan Revitalisasi Kawasan Wisata Sejarah Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman, Senin (15/12) petang di Pakis Baru, Kecamatan Nawangan.

Di kawasan wisata sejarah ini, salah satu yang menarik adalah sebuah rumah yang dijadikan Markas Gerilya oleh Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman. Rumah milik Karsosoemito, seorang bayan di dukuh sobo ini, selama 3 bulan 28 hari (107 hari), sejak tanggal 1 April 1949 sampai 7 Juli 1949, digunakan sebagai markas oleh Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman.

"Sebelum sampai di rumah Karsosoemito, Jenderal Soedirman menginap di rumah Jaswadi Darmowidodo, Kepala Desa Pakis ketika itu, yang berjarak 7 kilometer dari Dukuh Sobo. Di Rumah Markas Gerilya ini Jenderal Soedirman bersosialisasi dan bergabung dengan masyarakat setempat," kata Direktur Permuseuman Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Intan, Senin (15/12) di Sobo.

Dikatakan, Jenderal Soedirman sampai di Pakis Baru, Nawangan, Kabupaten Pacitan, setelah hampir 7 bulan bergerilya keluar masuk hutan, naik turun gunung, dan menjelajah kampung. Kalau Anda berkunjung ke rumah bersejarah ini, Anda dapat menyaksikan dan merasakan betapa dahsyatnya perjuangan Jenderal Soedirman. Medan jalan yang berkelok-kelok, naik-turun pebukitan dengan jurang yang dalam di salah satu sisi jalan.

Tentu saja alam sekitar yang indah dan berudara sejuk, bahkan mungkin dirasakan sebagian orang sebagai sangat dingin. "Dari arah mana pun perjalanan menuju Pakis Baru, yang dirasakan adalah jalan yang penuh tantangan. Kita bisa merasakan betapa gigihnya perjuangan Jenderal Besar Soedirman, walau dalam kondisi sakit-sakitan," kata Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Markas Gerilya Jenderal Soedirman ini terletak 32 km arah timur dari pusat pemerintahan di Kabupaten Pacitan. Dapat ditempuh dengan kendaraan mobil selama satu jam perjalanan. Rumah ini juga dapat ditempuh dari Kota Solo, Jawa Tengah, dengan perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam. Atau melalui Yogyakarta selama 4 jam perjalanan. Tidak jauh dari Markas Gerilya ini, sekitar 2 km, terdapat kompleks Monumen Patung Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman yang sangat megah.

"Pada tahun 2008 telah dilakukan konservasi dan penyempurnaan terhadap patung Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman dan rumah bersejarah Markas Perang Gerilya ini," kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.

Selalu berkomunikasi

Tentang Markas Gerilya ini, Direktur Permuseuman Ditjen Sejarah dan Purbakala Depbudpar, Intan, mengatakan, Jenderal Soedirman menjadikannya sebagai tempat bersosialisasi dan bergabung dengan masyarakat setempat. Selain itu, beliau melakukan aktivitas secara teratur, serta dapat mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah di Yogyakarta.

"Kegiatan Beliau di rumah ini antara lain menyusun perintah-perintah harian serta petunjuk dan amanat, baik untuk tentara maupun masyarakat," katanya.

Dari rumah yang dijadikan Markas Gerilya ini, Jenderal Soedirman selalu berkomunikasi dengan para panglima dan komandan di berbagai daerah yang dilakukan melalui caraka (kurir). Menurut seorang saksi mata, Padi (66), anak dari Karsosoemito, pemilik rumah, yang ketika itu berusia 7 tahun, banyak komandan pasukan maupun pejabat pemerintahan yang datang ke Sobo untuk minta petunjuk "sesepuh".

"Masyarakat menyebutnya sesepuh atau orang sakti. Saya tidak tahu kalau yang tinggal di rumah itu Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman. Hampir setiap pagi, saya dipanggil 'sesepuh' untuk sarapan bubur. Karena dalam kondisi sakit, 'sesepuh' di luar kesibukannya mengatur strategi perang, dan memberi amanat, beliau setiap pagi berjemur sinar matahari. Ajudan beliau ketika itu Soepardjo Rustam dan Tjokro Pranolo atau waktu itu dipanggil Pak Noli," kata Padi mengenang. Ia sekarang jadi penjaga Markas Gerilya ini, dengan gaji bulanan total sebesar Rp750.000.

Lebih jauh Direktur Permuseuman Intan mengatakan, di Markas Gerilya ini Jenderal Besar Soedirman sibuk mengatur komunikasi dengan para petinggi militer. Melalui Letkol Soeharto, Jenderal Soedirman juga berkomunikasi intensif dengan Sri Sultan HB IX di Yogyakarta. "Setelah Perjanjian Roem-Royen disahkan pada tanggal 7 Mei 1949 dan Pemerintah Indonesia-Belanda sepakat untuk mengakhiri permusuhan, maka Panglima Besar Jenderal Soedirman merencanakan untuk kembali ke Yogyakarta. Akhirnya 7 Juli 1949, setelah dibujuk oleh berbagai pihak, Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman meninggalkan rumah ini, kembali menuju Yogyakarta," jelasnya.

Ada apa di Markas?

Sebagai rumah bersejarah, wisatawan bisa melihat situasi dan kondisi rumah yang dijadikan Markas Perang Gerilya ini. Rumah yang menghadap ke arah utara ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan yang disambungkan dengan bagian belakang. Rumah bagian depan berbentuk empat persegi panjang, berukuran 11,5 x 7,25 meter persegi, sedangkan rumah bagian belakang berukuran 10,2 x 7,3 meter persegi.

Rumah ini berlantaikan tanah liat. Rumah bagian depan dindingnya terbuat dari papan kayu (gebyok). Sementara rumah bagian belakang dindingnya terbuat dari anyaman bambu (gedhek). Pada ruangan depan terdapat 2 buah pintu, dan terdapat tiang-tiang kayu yang menyangga konstruksi atap. Di ruangan ini juga terdapat 4 buah kamar tidur, yang salah satunya merupakan kamar tidur Panglima Besar Soedirman. Kamar tidur lainnya pernah ditempati ajudan Beliau, yaitu Soepardjo Rustam dan Tjokro Pranolo.

Di masa gerilya di ruangan rumah terdapat satu set meja dan kursi tamu yang terbuat dari kayu serta balai-balai dari bambu. Ruang bagian belakang, yang diduga dimanfaatkan sebagai dapur dan tempat penyimpanan berbagai peralatan, tidak terdapat kamar. Pada rumah bagian belakang ini juga terdapat tiang-tiang serta terdapat sebuah pintu. Atap rumah berbentuk dua buah limasan yang disambungkan dengan talang di tengahnya. Genting penutup atap rumah terbuat dari tanah liat.

Untuk lebih memberikan informasi tentang arti penting rumah bersejarah Markas Gerilya ini, di dalam rumah kini dilakukan penataan berupa pemasangan papan informasi, foto koleksi, dan perabotan. Di depan rumah disajikan sekilas tentang sejarah dan rute Perang Gerilya, sejak berangkat hingga kembali ke Yogyakarta.

Di rumah bagian depan, dipamerkan kamar tidur Panglima Besar Soedirman, serta foto-foto Beliau ketika foto bersama dengan masyarakat di depan rumah bersejarah ini. Juga foto ketika berangkat bergerilya dan ketika Beliau pulang ke Yogyakarta.

Selain itu, di runag depan juga disajikan tiruan tandu, meja-kursi tamu, dan tempat tidur pengawal/ajudan Beliau. Di ruang bagian belakang terdapat peralatan audiovisual, untuk menyaksikan tayangan tentang Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman.

Juga bisa dilihat peralatan dapur, alat-alat memasak, tempayan, dan peralatan lainnya. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi rumah bersejarah ini, juga dipamerkan baju hangat yang dipakai Jenderal Soedirman, ikat kepala warna hitam, dan keris, yang dipinjamkan sementara dari Museum Jenderal Besar Soedirman. (Courtesy Kompas/Antara)

Seren Taun, Rasa Syukur yang Jadi Komoditas Wisata

Masyarakat adat Sunda punya tradisi tahunan yang dinamakan Seren Taun. Beberapa wilayah di Jawa Barat, seperti Sumedang, Indramayu, dan Kuningan, selalu menggelar ritual tersebut dari tahun ke tahun. Di Kuningan, khususnya Kecamatan Cigugur, Seren Taun dirayakan setiap tanggal 22 Rayagung 1941 S. Tahun ini, perayaan digelar selama 6 hari, dari 16 Desember hingga 21 Desember 2008. Setiap tahunnya pula, ritual ini selalu mengundang para wisatawan untuk menyaksikannya. Apakah Seren Taun hanya berhenti sebagai komoditas wisata tanpa makna?

Bagi masyarakat adat Karuhun Urang Cigugur, Seren Taun merupakan Gelar Budaya Tradisional Masyarakat Agraris Sunda sebagai wujud luapan rasa syukur kepada Tuhan. Itu diartikan juga sebagai upacara penyerahan hasil panen yang baru diraih dan memohon kebaikan untuk tahun selanjutnya.

Putra sesepuh masyarakat adat Karuhun Urang, Gumirat Barna Alam, menjelaskan, Seren Taun menjadi ritual syukur masyarakatnya atas panen hasil bumi seperti padi, jagung, dan sayur-sayuran. "Nanti semua hasil panen akan dikumpulkan, dan kami melakukan serangkaian upacara sebagai wujud rasa syukur," kata Gumirat.

Mengapa digelar setiap bulan Rayagung? Rayagung secara simbolis berarti merayakan ke-Agungan Tuhan. Dimulai dengan upacara ngajayak padi pada tanggal 18 Rayagung yang kemudian dilanjutkan dengan upacara penumbukan padi sebagai puncak acara pada 22 Rayagung dengan upacara penumbukan padi oleh ratusan petani.

Tanggal 22 Rayagung bukan dipilih tanpa makna. Angka 22 terdiri dari 20 dan 2. Angka dua puluh menggambarkan badan jasmani yang secara anatomis dianggap menyatukan organ-organ dan sel-sel dengan fungsi yang beraneka ragam. Bilangan dua mengacu pada sikap dasar kesatuan yang sudah menjadi hukum adikodrati, sebagai adanya siang malam, suka duka, susah bahagia, dan pria wanita.

Membawa Hasil Bumi dari Empat Penjuru

Puncak upacara Seren Taun serupa festival. Arak-arakan masyarakat terdiri dari 4 formasi barisan muda-mudi, ibu-ibu, bapak-bapak, dan rombongan atraksi kesenian yang membawa hasil panen dari empat penjuru Cigugur. Barisan terdepan, dua orang pemudi membawa padi, buah-buahan, dan umbi-umbian yang diikuti oleh seorang pemuda membawa payung janur bersusun tiga.

Di belakangnya, ada 11 orang pemudi membawa padi bibit dengan dipayungi para jejaka. Jumlah sebelas melambangkan simbol saling mengasihi (welas asih). Baris ketiga, terdapat rombongan ibu-ibu yang membawa padi di atas kepala (nyuhun); sedangkan baris keempat, rombongan bapak-bapak memikul padi dengan rengkong dan pikulan biasa.

Empat penjuru tersebut sebagai simbol yang melambangkan cinta kasih Tuhan terhadap umatnya di 4 penjuru. Melihat berbagai bentuk dan aksesori arak-arakan yang cukup kreatif, menggambarkan antusiasme masyarakat mempersiapkan diri untuk mengikuti ritual ini. Mereka membuat berbagai bentuk kotak kayu yang digunakan untuk membawa hasil bumi. Ada yang menghiasinya dengan patung ikan Kancra yang menjadi hewan khas Cigugur dan Harimau, serta menghiasi nampan dengan janur sehingga terlihat indah.

Tahun ini, perayaan Seren Taun juga dihadiri sejumlah kelompok masyarakat adat dari seluruh Indonesia. Suka cita dan kekhidmatan Seren Taun tak hanya dirasakan oleh masyarakat asli Cigugur, namun juga dirasa memberikan makna bagi yang menyaksikannya.

Seren Taun Tak Ingin Hanya Ditonton

Keragaman budaya Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia pariwisata. Namun, sesepuh masyarakat adat Karuhun Urang Rama Djatikusumah menilai, perhatian pemerintah selama ini sangat terbatas. Ia memahami, kurangnya perhatian pemerintah karena ketidakpahaman tentang nilai-nilai luhur dari ritual budaya pada masyarakat adat.

"Ya perhatiannya begitulah, seperti kita tahu. Tapi tidak apa-apa, mungkin karena kurang paham nilai-nilai budaya," kata Rama Djati.

Pemerintah, selama ini, hanya mempromosikan ritual budaya sebagai materi promosi wisata. Sejatinya, menurut dia, pemerintah tidak hanya berorientasi mengundang wisatawan datang ke suatu daerah.

"Boleh saja budaya dikenalkan sebagai industri budaya, tapi tidak sekadar itu, lihat juga, disampaikan juga bahwa budaya itu menggambarkan karakter masyarakat Indonesia. Kita punya kekhasan tersendiri, dan apa yang dilakukan masyarakat adat juga mengandung nilai-nilai," ujar Rama Djati.

Steering Committee Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) Emmy Sahertian mengatakan, memang tak bisa mengharap banyak dari pemerintah sebab pemerintah selama ini hanya sebatas menjadikan ritual budaya masyarakat adat sebagai komoditas wisata yang dimasukkan sebagai agenda nasional pariwisata.

"Masyarakat adatnya yang dipaksa memiliki ide brilian, bagaimana memanfaatkan agenda nasional dan mengadvokasi masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Khusus di Jawa Barat, saya melihat ada sesuatu yang baik, ada upaya advokasi kepada masyarakat Sunda Wiwitan. Masyarakat Sunda juga sebenarnya punya kekuatan kearifan lokal yang bisa dibawa untuk dipertimbangkan dalam setiap kebijakan Pemda," papar Emmy. (Courtesy Kompas/Antara)

Sawahlunto, Kota Arang yang Terjaga

KALAU ada kota tua yang masih terpelihara, Kota Sawahlunto adalah salah satunya. Memasuki pusat Kota Sawahlunto—sekitar 90 kilometer dari Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat—pemandangan kota tua yang masih terpelihara langsung menyeruak pandangan mata. Sejumlah bangunan tua peninggalan Belanda masih menjadi tempat tinggal penduduk, perkantoran, atau aneka kios.

Nama Sawahlunto mulai muncuat di dunia internasional setelah Belanda menemukan potensi batu bara di perut Sawahlunto pada abad ke-19. Batu bara mulai berkilat di Sawahlunto setelah ahli geologi Belanda, Willem Hendrik de Greve, melihat ada potensi batu bara di perut Sungai Ombilin, salah satu sungai di Sawahlunto.

Temuan itu dilaporkan ke Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1868-1872. Penelitian kedua gagal dilakukan lantaran Greve terseret arus Sungai Ombilin dan meninggal pada 22 Oktober 1872.

Penambangan batu bara mulai dikerjakan Belanda tahun 1880 di lapangan Sungai Durian. Tahun 1892, produksi perdana batu bara Sawahlunto mencapai 48.000 ton. Pengangkutan batu bara ketika itu menggunakan kereta api.

Hingga kini penambangan batu bara masih tetap ada di Sawahlunto. Selain penambangan oleh PT Bukit Asam, penambangan batu bara dalam skala rakyat ditemui di luar pusat kota.

Kejayaan tambang batu bara zaman Belanda masih tersisa dalam sejumlah bangunan, seperti silo. Silo berbentuk tiga silinder besar yang berfungsi sebagai penimbun batu bara yang telah dibersihkan dan siap diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur. Silo masih berdiri kokoh di tengah kota ini kendati tidak berfungsi apa-apa selain sebagai monumen yang mengingatkan kejayaan batu bara di Sawahlunto ketika itu.

”Sirene di silo masih berbunyi setiap pukul 07.00, 13.00, dan 16.00,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Kota Sawahlunto Tun Huseno. Bunyi-bunyi itulah yang menandakan jam kerja orang rantai atau narapidana yang dijadikan kuli pengambil batu bara itu.

Lubang Mbah Soero

Ekspansi tambang baru terus dilakukan Belanda pada tahun 1892. Lubang tambang baru dibuka di lorong bawah tanah pusat kota Sawahlunto. Lokasi tambang dinamakan Lubang Tambang Soegar. Gara-gara Mbah Soero menjadi mandor, lubang yang melintasi bawah tanah pusat Kota Sawahlunto itu juga dinamakan Lubang Tambang Batu Bara Mbah Soero.

Sayangnya, kondisi lubang tambang ini tidak terlampau baik. Kedekatan lubang tambang dengan Sungai Lunto menjadikan rembesan air mengalir begitu deras ke dalam lubang. Sebelum tahun 1930, Belanda menutup lubang ini.

Ketika Pemerintah Kota Sawahlunto hendak membuka kembali lubang tambang ini untuk kepentingan pariwisata, mereka mendapati lubang penuh dengan air. ”Butuh waktu 22 hari untuk menyedot air keluar dari tambang,” tutur Willizon (51), juru kunci lubang tambang Mbah Soero.

Tetapi, tunggu dulu. Ada satu versi lagi yang berkembang di masyarakat seputar penutupan Lubang Tambang Batu Bara Mbah Soero. Sebagian masyarakat meyakini penutupan lubang itu terkait dengan keinginan Belanda untuk menyimpan deposit batu bara untuk kelak kemudian hari.

Kepala Bidang Pertambangan dan Energi Kota Sawahlunto Medi Iswandi memperkirakan deposit batu bara di Lubang Mbah Soero itu masih tersisa sekitar 40 juta ton. ”Kita bisa melihat batu bara berwarna hitam di sisi-sisi terowongan. Batu bara ini yang ditambang saat proses penambangan masih berlangsung,” kata Medi.

Lubang tambang yang kembali dibuka Pemkot Sawahlunto pada pertengahan tahun 2008 itu memang masih menyimpan banyak kandungan batu bara. Sebagian dinding serta atap lubang tambang dipenuhi dengan batu bara. ”Batu bara yang ada mempunyai kualitas baik, yakni 6.000-7.000 kalori,” ujar Willizon lagi.

Kilatan cahaya pantulan dari senter kepala para pengunjung menjadikan batu bara ini tampak gemerlapan. Sebagian tembok menampilkan susunan batu bata yang merupakan peninggalan zaman Belanda.

Walaupun dipenuhi batu bara, Medi menjamin gas berbahaya, seperti metan, monooksida, atau belerang, tidak ditemukan di terowongan itu sehingga aman bagi pengunjung. Pemantauan gas-gas berbahaya dilakukan pemkot hampir setiap hari. Sebuah pipa besar berisi oksigen dimasukkan ke dalam terowongan agar pengunjung tidak sesak napas ketika melintas di terowongan.

Ramainya penambangan pada masa kekuasaan Belanda juga membutuhkan sebuah dapur umum yang bisa memproduksi makanan setiap waktu untuk ribuan orang. Tempat yang sekarang menjadi Museum Goedang Ransoem adalah dapur umum pada waktu itu. Beberapa replika peralatan masak menjadi pengisi museum ini. Terbayanglah betapa banyak kuli tambang yang dipekerjakan dan harus diberi makan setiap hari.

Sebuah tungku penghasil uap air bertekanan tinggi masih berdiri kokoh di samping bangunan dapur. Uap dari tungku ini dialirkan lewat pipa yang berhubungan dengan lantai dasar dapur, lalu berubah bentuk menjadi energi panas untuk mematangkan masakan.

Di dapur inilah, Belanda mempekerjakan para perempuan dan anak untuk memasak selagi suami atau ayah mereka bekerja, sementara anak- anak Belanda bersama orangtua mereka asyik menyaksikan pertunjukan di gedung societet—kini Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto—anak buruh tambang harus bersimbah peluh, mengupas bawang dan aneka bumbu lain di ruangan yang panas oleh uap untuk memasak makanan./* (Courtesy Kompas/Antara)

Berpetualang Jalan Kaki di Parapat

Berjalan kaki menyusuri Parapat banyak hal menarik didapat. Di balik jalannya yang berliku dan turun-naik, Parapat menyimpan begitu banyak bangunan tua berarsitektur menggoda.
Parapat adalah kelurahan di tepi teluk di Danau Toba, masuk Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Lebih dari 90 persen penduduknya beretnis Batak Toba, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Selebihnya, etnis Jawa, Sunda, Padang, dan China. Tak heran jika di kota kecil ini terdapat gereja Protestan dan Katolik, masjid, dan wihara.
Berjalan kaki menyusuri Parapat mengingatkan kita pada dahsyatnya letusan gunung api di sana ribuan tahun lalu. Letusan itu membentuk danau berukuran 100 km x 30 km dan berada 1.000 meter dari permukaan laut, dengan Pulau Samosir di tengahnya. Menakjubkan.
Rasa takjub sebenarnya sudah muncul jauh sebelum memasuki Parapat. Lepas dari Pematang Siantar, dari atas ketinggian tebing curam, kita sudah disuguhi keindahan Danau Toba yang menghampar biru di kejauhan. Hingga setengah jam kendaraan menuruni bukit terjal dan berkelok-kelok di bibir kawah Danau Toba, dapat disaksikan sisa muntahan bebatuan dan abu vulkanik yang menurut peneliti Universitas Teknologi Michigan, Amerika Serikat, sebagai bekas letusan maha dahsyat pada 75.500 tahun lalu. Letusan itu memuntahkan bebatuan dan abu vulkanik hingga radius 2.000 km² serta menimbulkan kegelapan selama dua minggu.
Petualangan jalan kaki saya mulai dari tengah kota, di perempatan jalan depan Inna Parapat. Hotel ini dibangun tahun 1911 dan menjadi hotel pertama di kota itu.
Dari sini saya menyusuri Jalan Marihat menuju kawasan Tanjung Sipora-pora hingga ke ujung barat. Jalan kecil berliku dan turun-naik cukup menguras tenaga. Di sepanjang jalan terdapat beberapa bangunan tua dengan arsitektur bergaya kolonial Belanda, sebagian besar kurang terawat.
Wisata arsitektur
Di kawasan paling ujung kembali saya menemukan hal menakjubkan. Sebuah bangunan kuno berdiri kokoh di ujung tanjung bertebing sangat curam. Di kejauhan, di depannya terlihat fatamorgana Pulau Samosir bertemu dengan daratan Sumatera. Jika cuaca cerah, pada sore hari dari gedung ini terlihat jelas proses matahari terbenam di fatamorgana Samosir.
Di tempat ini, pada 1 Januari 1949, Presiden Soekarno diasingkan Belanda. Bung Karno bersama Agus Salim dan Sutan Syahrir dipindahkan ke sana setelah sebelumnya diasingkan di Brastagi, Kabupaten Karo.
Pesanggrahan buatan tahun 1820 itu berukuran 10 meter x 20 meter, dikelilingi halaman seluas dua hektar. Bangunannya bergaya arsitektur neoklasik atau dikenal sebagai Indische Architectuur.
Dari pesanggrahan ini saya jalan memutar menuju timur. Di sisi kanan ada beberapa bangunan tua dan di sisi kiri Danau Toba menghampar. Sementara jauh di seberangnya terlihat mobil kecil-kecil melaju mengisi kesibukan lalu lintas Trans-Sumatera.
Dari sini saya kembali ke tempat awal dan langsung menuju kawasan timur Parapat melalui Jalan Bukit Barisan. Jalanan menanjak curam. Di sisi kiri-kanan jalan sangat banyak terdapat bangunan bergaya arsitektur kolonial. Beberapa di antara bangunan tua itu dijadikan kantor instansi pemerintah.
Kawasan ini tampaknya menjadi pusat kota tua Parapat. Soalnya dari seluruh tempat di Parapat hanya di kawasan ini cukup banyak terdapat bangunan bergaya arsitektur kolonial.
Gaya arsitektur bangunan di kawasan ini merupakan perpaduan selaras antara tiga unsur: tradisional, modern, dan tropis. Karya arsitektur yang ada umumnya menunjukkan perhatian besar pada iklim tropis Parapat terlihat pada jendela dan kisi-kisi ventilasi yang menjulang tinggi dari lantai ke langit-langit.
Meski Parapat kota sejuk, jendela dan kisi-kisi itu difungsikan juga sebagai corong pergantian udara dan juga agar penghuni dapat leluasa memanfaatkan cahaya matahari.
Di tempat ini terdapat beberapa bangunan dengan gaya arsitektur dipengaruhi aliran Delf. Hal ini terlihat dari upaya menggabungkan bangunan kotak dengan sistem kisi (grid) rasional, yang kemudian diperkaya dengan unsur pracetak untuk dinding luar.
Di bagian tengah kawasan timur ini terdapat bangunan gereja HKBP, mewakili arsitektur transisi klasik Eropa, terlihat modern tetapi tetap berciri tropis.
Di Parapat, bangunan tempat peristirahatan umumnya terinspirasi arsitektur vernakular Nusantara dengan adaptasi pada iklim. Ciri khasnya, halaman rumah adalah rerumputan yang menghampar luas.
Bagi orang Batak, rumah memang lebih dari sekadar tempat tinggal, tapi juga bangunan yang ditata secara perlambang, berkonteks dengan sosial budaya dan status kedudukan di dalam masyarakat.
Potensi besar
Meski Bung Karno sangat singkat bermukim di Parapat, tetapi dia menorehkan sejarah baru dengan memprakarsai berdirinya masjid di kota ini.
Pada tahun 1949, saat hendak melaksanakan shalat Jumat, Bung Karno tidak menemukan masjid di kota ini. "Di sini belum ada masjid. Dirikanlah masjid untuk shalat orang-orang Islam yang singgah," ujar Bung Karno.
Mendengar ucapan sang Proklamator, Abdul Halim Pardede mewakafkan sebidang tanahnya untuk pembangunan Masjid Taqwa.
Parapat tentunya tak hanya bersejarah bagi umat Muslim, tetapi juga sangat bersejarah bagi umat Nasrani Batak Toba. Pada tahun 1909 dilakukan proses permandian suci oleh Pendeta Theis terhadap 38 orang Batak di kota ini setelah pada 12 Februari 1900 Pendeta Samuel Panggabean dan Friederich Hutagalung diutus ke daerah sekitar Danau Toba untuk menyebarkan agama Kristen.
Dari sini terlihat Parapat memiliki wisata alam, wisata arsitektur, dan potensi wisata rohani, wisata sejarah, bahkan wisata kuliner.
Parapat memiliki kuliner yang menarik, seperti lomok-lomok (lemak), ikan naniura (ikan mas yang dimasak pakai asam), ikan naniarsik (ikan mas yang diarsik), lapet, dali (susu sapi), sop ikan danau toba (nila) asam pedas, ikan bakar hopar, dan ikan pora-pora goreng. Memang kuliner khas Batak ini baru bisa dinikmati di hotel-hotel berbintang dengan harga relatif mahal. Sementara sajian di kedai-kedai pinggir jalan saya agak meragukan kehalalannya.
Sayangnya Parapat dengan segala potensinya tak kunjung mampu menarik wisatawan. Parapat terlalu sepi jika dibandingkan dengan Bali. Sepanjang hari hanya saya seorang diri yang menyusuri kota wisata ini. (Courtesy Kompas/Antara)

Ayo, Ikutan Ekspedisi Ciliwung!

Seiring dimulainya Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009, 16-22 Januari 2009, Kompas juga mengundang masyarakat turut berpartisipasi. Meski tidak turut terjun menyusuri sungai, warga Jabodetabek, khususnya mereka yang berusia 15-20 tahun, diundang untuk mengikuti lomba mengarang bertema ”Ciliwung Impianku”.
Lomba mengarang ini dibuka sejak Kamis (8/1) dan batas waktu pengiriman karangan kepada panitia Lomba Mengarang Kompas, Redaksi Lantai III, Jalan Palmerah Selatan 22-28, Jakarta 10270, jatuh pada 15 Februari 2009.
Sebanyak 10 karangan terbaik akan dipresentasikan di Bentara Budaya Jakarta. Panitia akan menetapkan juara I, II, III, dan harapan I-III pada 28 Februari 2009.
Setiap pemenang akan memperoleh uang tunai sebesar Rp 5 juta, Rp 3 juta, Rp 2 juta, dan Rp 1 juta bagi masing-masing juara harapan.
Adapun dalam ekspedisi kali ini, tim Kompas akan menyusuri Sungai Ciliwung dari hulu di kawasan Puncak, Bogor, hingga ke muaranya di Sunda Kelapa, Jakarta Utara.
Saat menyusuri Ciliwung, tim ekspedisi akan menggali berbagai aspek sejarah sosial dan kemanusiaan serta memotret realitas sosial-budaya dan ekonomi di sepanjang Ciliwung, mulai dari daerah di sekitar mata airnya sampai ke muaranya. Termasuk berbagai realitas air mata yang mengalir akibat bencana yang diakibatkan luapan airnya.
Kegiatan ini dimulai di kawasan cagar alam Telaga Warna, Cisarua, Kabupaten Bogor. Di cagar alam ini terdapat Telaga Warna dan Telaga Cisaat yang diyakini sebagai dua dari sekian banyak mata air yang membentuk hulu Ciliwung.
Penyusuran Ciliwung menggunakan perahu karet akan dimulai dari Batu Layang, Cisarua, hingga Sunda Kelapa dan sebagian pantai Jakarta Utara.
Kegiatan jurnalistik ini berupaya memetakan bermacam masalah yang menyelimuti Ciliwung. Hasilnya, diharapkan akan ditemukan solusi atau sumbang saran yang tepat kepada pemerintah ataupun masyarakat untuk melestarikan sungai ini. (Courtesy Kompas/Antara)

Berwisata di Sungai Ciliwung, Mengapa Tidak?

Berwisata di Sungai Ciliwung, mengapa tidak? Sederet obyek menarik sampai ke restoran menyajikan makanan lezat siap dinikmati mulai dari hulu sungai di kawasan Puncak hingga badan alirannya di Bogor, Jawa Barat.
Silakan memilih, di bagian hulu Ciliwung, ada Cagar Alam Telaga Warna yang sejuk dikelilingi kebun teh. Di aliran badannya, ada penanda berupa kawasan Bendung Katulampa tinggalan zaman Belanda, tempat makan yang nyaman dan enak, hingga pusat belanja tas terbesar di Tajur.
Cagar Alam Telaga Warna terletak tidak jauh dari Puncak Pas dan dari Jalan Raya Bogor Cianjur, yang secara administratif pemerintahan termasuk dalam Desa Tugu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Tempatnya berada di hamparan perkebunan teh dan hutan yang masih cukup lebat.
Di taman wisata ini, terdapat danau alam yang permukaan airnya tampak berwarna. Warna hijau lumut terkadang diselingi merah coklat keemasan sering terlihat. Sebuah permainan warna di permukaan danau karena pantulan sinar matahari. Di atas danau, terdapat tebing dengan pohon-pohon besar sebagai kanopi.
Dalam kawasan yang sama, penjelajahan alam terus berlanjut. Setelah melewati jalan tanah yang diperkeras dengan tatanan batu di tengah kebun teh dan membelah bukit-bukit kecil, tiba-tiba terhampar lembah hijau yang amat luas. Di sini, ada telaga kecil yang disebut Telaga Cisaat dan di sekitarnya ada beberapa rumah perkebunan.
Duo Telaga Warna dan Cisaat serta kawasan sekitarnya sejak beberapa tahun terakhir telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Telaga Warna. Konon, taman wisata ini sudah dikenal sejak lima abad silam. Catatan penyair Bujangga Manik pada masa Kerajaan Sunda menyebut tempat ini Talaga Warena, secara keseluruhan berarti ’tempat yang menyenangkan’.
Tiket masuk ke areal wisata ini kurang dari Rp 10.000 per orang dewasa atau anak-anak. Selain sekadar menikmati keindahan alam dalam keheningan, kegiatan wisata alam yang dapat dilakukan di lokasi ini pun cocok untuk menyalurkan hobi fotografi, pengamatan burung, dan tentu saja lintas alam dengan berjalan kaki atau bersepeda.
Puas dan kelelahan berkeliling telaga? Dalam 15-20 menit perjalanan keluar dari kompleks taman wisata alam ini ada Melrimba Garden. Menyeruput teh hangat, kopi, atau aneka makanan di restoran di tengah taman ini tentu menyenangkan. Belanja tanaman, sekaligus belajar cara menanamnya turut menambah segar suasana. Bisa juga memilih Restoran Rindu Alam atau warung makan lain di sepanjang Puncak Pas.
Bermain di bendung
Perut kenyang badan segar kembali, tanda siap melanjutkan perjalanan lagi ke Bogor. Di Kota Hujan ini, ada satu tempat wisata yang nyaris selalu terlewatkan, yaitu Bendung Katulampa. Bendung ini terletak di Kecamatan Katulampa, Kabupaten Bogor, tepatnya sedikit masuk sekitar dua kilometer dari Bale Binarum, Jalan Padjajaran.
Jalan masuk menuju bendung memang sempit, dua mobil berpapasan harus saling hati-hati. Terlebih, banyak mobil angkutan umum sering berhenti sembarangan alias ngetem. Namun, begitu mencapai lokasi bendung, pemandangan yang ditawarkan cukup menarik.
Di sepanjang jalur menuju Katulampa, ada obyek wisata lain yang tak kalah terkenal, yaitu Tajur. Antara Katulampa, Tajur, dan sebagian Jalan Padjajaran ini lebih dikenal dengan sebutan Kawasan Katulampa Bantar Kemang. Di Bantar Kemang ini sejak puluhan tahun silam memang dikenal sebagai ikon industri dan pemasaran tas kulit Bogor.
Sekali mendengar namanya, ingatan langsung tertuju pada aneka produk tas model terbaru, berkualitas, dan tentu saja murah. Di kawasan ini mungkin ada sekitar 50 toko tas. Rata-rata toko kecil. Hanya dua toko yang cukup besar, yakni Terminal Tas di Jalan Raya Katulampa dan SKI Tas Tajur di Jalan Raya Katulampa.* (Courtesy Kompas/Antara)